tirto.id - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUPH) menuai banyak kontroversi. Pemerintah dan DPR melakukan pembahasan dan menyelesaikan pembahasan tahap pertama di tingkat Panja RKUHP pada 15 September.
Pembahasan akhir dikebut sangat singkat, hanya dua hari mulai 14 hingga 15 September 2019 di Hotel Fairmont, Jakarta. Aliansi Nasional Reformasi KUHP (koalisi 40 LSM) menilai pembahasan itu dilakukan secara 'diam-diam' dan menghasilkan draf yang memuat sejumlah pasal bermasalah.
Namun, politikus PPP dan anggota Panja RKUHP Arsul Sani membantah bahwa rapat digelar secara diam-diam.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menyatakan "RUU KUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus ditunda."
Setelah didemo mahasiswa di sejumlah daerah, Presiden Joko Widodo akhirnya meminta DPR RI agar menunda pengesahan RKUHP menjadi undang-undang.
Dalam RKUHP tersebut terdapat beberapa pasal yang dianggap merugikan perempuan. Pasal-pasal tersebut dinilai bermasalah dan memantik demo ribuan mahasiswa, aktivis hingga masyarakat umum.
Berikut daftar sejumlah pasal kontroversial yang dianggap merugikan perempuan. Rincian pasal-pasal ini sesuai isi RKUHP versi siap disahkan yang diunggah situs reformasikuhp.org.
1.Pasal RKUHP terkait Alat Kontrasepsi
Pasal kontroversial di RKUHP yang dianggap merugikan perempuan ialah pasal 414.
Pasal ini berbunyi "Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak maksimal Rp1 juta (kategori I)”.
Dalam keterangannya, terdapat pengecualian jika dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular, kepentingan pendidikan , dan untuk ilmu pengetahuan. Tidak dipidana jika yang melakukan hal tersebut adalah relawan yang kompeten yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Merespons hal ini, Anastasia Kiki, aktivis dari Jaringan Perempuan Yogyakarta mengatakan Pasal 414 sangat merugikan.
Sebab setiap perempuan atau setiap orang yang ikut mengadakan serta melakukan pendidikan kesehatan reproduksi justru akan terancam penjara.
“Anak ini kan di bawah 18 tahun, kondisinya saat ini ada banyak yang di bawah 18 tahun sudah seksual aktif. Yang perlu dilakukan kan mengedukasi mereka, pencegahannya akan lebih efektif dengan mengedukasi. Mengedukasi itu bukan ngajarin mereka agar melakukan seks ya itu beda,” ujar Kiki.
Kiki menambahkan, permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini sosialisasi soal kesehatan reproduksi masih kurang. Sementara dengan adanya pasal ini justru NGO, atau siapapun yang melakukan sosialisasi kesehatan reproduksi terancam dibui.
“Kenapa kok enggak percaya, kami juga punya aturan bagaimana sosialisasi yang baik untuk anak-anak,” tambah Kiki.
Senada dengan Kiki, Aliansi menganggap Pasal 414 juga menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program KB pemerintah.
Apalagi, pasal ini bisa menjerat pengusaha retail yang memajang alat kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis konten soal alat kontrasepsi pun bisa terkena pidana.
Sekalipun Pasal 416 mengecualikan 'pejabat berwenang' dan aktivitas pendidikan, pidana ini dinilai tidak sesuai era keterbukaan informasi.
Sedangkan jika akses untuk mendapatkan kontrasepsi dibatasi, maka potensi penularan penyakit menular seksual akan meluas.
Di sisi lain, di Indonesia terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS yang memuat aturan “kampanye penggunaan kondom” yang isinya mengizinkan penyebaran luas info soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung (tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah mendekriminalisasi perbuatan ini mengingat kondom menjadi salah satu alat efektif untuk mencegah penyebaran HIV.
2. Pasal RUU KUHP soal Aborsi
Pemidanaan terkait aborsi diatur Pasal 251, 415, 469 dan 470. Misalnya, Pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun bui.
Orang yang menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga bisa dibui maksimal 5 tahun, sesuai isi Pasal 470 RUU KUHP.
Kiki mengatakan, pasal ini dinilai tumpang tindih dengan UU Kesehatan Pasal 75 ayat 2 yang mengatur tindakan aborsi jika dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan sebab perkosaan.
“Pasal ini tumpang tindih dengan UU Kesehatan, selain itu pasal ini sangat merugikan bagi perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual yang hamil dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kehamilannya,” ujar Kiki.
Pasal ini semakin mengancam perempuan dan mengabaikan fakta bahwa banyak perempuan mengalami kehamilan tidak direncanakan terpaksa kehilangan nyawanya akibat aborsi yang dilakukan dengan tidak aman.
Senada dengan Kiki, Aliansi Reformasi KUHP juga mengatakan pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya.
“Kondisi mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah melakukan kriminalisasi,” tulis Aliansi Reformasi KUHP dalam siaran persnya, 12 September lalu.
3. Pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi
Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan resmi.
Pasal 417 mengatur hukuman bagi mereka yang berzina maksimal hukuman penjara 1 tahun atau denda Rp10 juta. Pidana ini diatur sebagai delik aduan dari suami, istri, orang tua dan anak.
Sementara Pasal 418 mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara 6 bulan dan denda Rp10 juta. Pidana ini delik aduan. Kepala desa termasuk yang bisa mengadukan tindak kohabitasi ke polisi.
Menurut Kiki pasal ini juga berpotensi besar mengancam perempuan terutama privasi soal hak seksualitas.
“Soal seksualitas ini kan hak hakiki bagi setiap orang ya, soal kohabitasi ini kan harusnya bisa diselesaikan dengan mekanisme sosial, kita kan punya norma sosial, kayak kita enggak punya norma sosial saja. Kalau sampai pemerintah tidak percaya dengan norma sosial ini berarti ada yang salah,” kata Kiki.
Selain itu, menurut Kiki pasal ini juga mengancam mereka yang sudah nikah secara adat atau secara agama dan belum menikah secara resmi (negara).
Kiki mencontohkan, bagi mereka penganut kepercayaan tertentu yang belum diakui negara, maka mereka akan susah untuk melegalkan pernikahannya, mereka juga terancam dengan adanya pasal ini.
Bagi mereka yang belum memiliki biaya untuk melegalkan pernikahannya, juga terancam dengan pasal ini. Menurut Kiki seharusnya pemerintah lebih peduli dengan hal-hal seperti ini dan justru bukan mengkriminalisasi mereka.
Dua pasal itu juga dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat adat dan warga miskin yang masih kesulitan mengakses dokumen perkawinan resmi.
“Ini kan tidak adil, misal buat mereka yang kepercayaannya belum terdaftar atau bagi mereka yang menikah secara adat atau bagi mereka yang belum mendaftarkan pernikahannya karena masalah jarak, Indonesia kan bukan cuman Jawa saja, soal jarak, biaya, ini kan juga harus jadi perhatian,” pungkas Kiki.
Senada dengan Kiki, kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara konsensual dan tanpa paksaan) dinilai mengancam privasi warga. ICJR pun khawatir delik aduan terkait kohabitasi yang memasukkan kepala desa sebagai pihak pelapor bisa memicu kesewenang-wenangan dan praktik kriminalisasi berlebihan.
Editor: Abdul Aziz