Menuju konten utama

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Gagal Disahkan DPR Periode Ini

Alasannya: masa kerja DPR periode sekarang sudah sangat mepet dan RKUHP juga ditunda, dalih Ketua Panja.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Gagal Disahkan DPR Periode Ini
Massa Kolaborasi Nasional yang didominasi perempuan menggelar aksi yang mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pada hari Selasa (17/9/19) di depan gerbang Gedung DPR-MPR, Jakarta. Saat menggelar aksinya, tiba-tiba kedatangan massa dari laskar FPI dan sejumlah mahasiswa KAMMI yang menolak RUU P-KS. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id -

Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) Marwan Dasopang memastikan RUU PKS tidak akan disahkan pada DPR periode ini.

Pasalnya, masa kerja DPR periode 2014-2019 tinggal hitungan jari. Mereka terakhir akan menggelar rapat paripurna pada 30 September 2019 nanti.

"Ya tidak mungkin dong [selesai periode ini], enggak mungkin lagi," ujar Marwan usai menggelar Rapat Panja RUU PKS di ruang rapat Komisi VIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2019).

Di sisa waktu ini, Panja RUU PKS bersama pemerintah baru menyepakati dibentuknya Tim Perumus (Timus). Nantinya, Tim Perumus bertugas membahas seluruh daftar inventarisasi masalah dan seluruh pasal dalam draf RUU.

Tentu saja, kata Marwan Tim Perumus baru akan efektif bekerja pada periode 2019-2024 mendatang. Hal ini karena mereka harus membahas lebih detail tentang substansi pasal per pasal pada RUU PKS serta harus tercapai pula kesepakatan antara DPR dengan pemerintah.

"Kami [selama ini] belum sampai kesepahaman substansi, baru kesepahaman untuk percepatan tata cara membuat, maka dibentuk timus (tim perumus)," ucap Politikus PKB itu.

Timus nantinya akan merumuskan perbandingan antara ketentuan pidana dalam RUU PKS dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Salah satu yang belum mencapai kesepakatan mengenai pasal tentang tindak pidana kekerasan seksual yang juga diatur dalam RKUHP, yaitu pemerkosaan dan pemaksaan aborsi.

Sementara itu RKUHP sendiri mengalami penundaan pengesahan dan akan kembali dibahas, sehingga RUU PKS sebagai undang-undang lex specialis harus selaras dengan ketentuan dalam RKUHP, terutama dengan bobot pemidanaan.

"Itu kesepakatannya tadi. Sehingga nanti kita bila membuat ini sebagai UU lex specialis kami menambah pembobotan pidananya di mana," jelas Marwan.

Pembahasan sejauh ini, kata Marwan sudah menyelesaikan tiga bab dalam draf yakni bab pencegahan, perlindungan dan rehabilitasi. Untuk itu, tiga bab tersebut tak akan lagi dibahas oleh Timus.

"Tiga bab sudah tidak ada masalah. Pencegahan, perlindungan dan rehabilitasi. Sudah disepakati tidak diutak-atik lagi. Tinggal pidana nanti kita bandingkan dengan KUHP, tinggal pemidanaan ya," kata Marwan.

Dalam kesempatan yang sama Deputi Perlindungan Hak Perempuan Vennetia Danes yang mewakili pemerintah bersyukur telah dibentuknya timus RUU PKS, meskipun kecil kemajuannya.

"Kita senang ada progress walaupun baru timus," kata Vennetia.

Menurut Vennetia selama ini pembahasan RUU PKS terkesan memakan waktu karena pemerintah tak kunjung diundang rapat oleh DPR. Untuk itulah, timus diperlukan agar RUU ini segera selesai pembahasannya.

"Jadi nanti setelah ada timus, setiap pasal yang ada di dalamnya yang kontroversi atau mungkin diragukan, DPR bikin begini, pemerintah bikin begini, kita satukan, penyamaan persepsi, sehingga betul-betul UU ini hadir untuk menjawan kebutuhan korban kekerasan seksual," pungkas Vennetia.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Irwan Syambudi