tirto.id - Sayang Mandabayan meninggalkan Sorong Papua Barat melalui Bandara Domine Eduard Osok menggunakan Wings Air IW 1612 dan menempati bangku nomor 17F pada 2 September 2019. Ia di udara kira-kira satu jam. Sampai di Bandara Rendani Manokwari hampir pukul 17.00.
Saat itu ia membawa satu koper berwarna merah muda berisi 1.496 bendera bintang kejora berukuran kecil yang terbuat dari kertas bertangkai lidi; empat kaus oblong putih dan bergambar monyet memegang bendera bintang kejora bertuliskan ‘lawan’; satu tas kulit oranye; dan satu noken. Selain pakaian, di dalam tas ia juga membawa tiga rim kertas dengan cetakan kalimat ‘Tanah dan Bangsa dari Ombak Besar (New Guinea)’ dan teks lagu ‘Hai Tanahku Papua’.
Sayang bilang segala atribut tersebut ia siapkan untuk dibagikan kepada para demonstran di Manokwari. Ketika itu aksi massa tengah menjalar di seluruh Papua, dipicu oleh tindakan rasis aparat ke para mahasiswa Papua di Surabaya para pertengahan Agustus 2019. Para mahasiswa itu dituduh merusak bendera merah putih--yang lantas tidak terbukti.
“Itu saya bawa sebagai bentuk kemarahan saya atas rasisme. Saya sendiri tidak tahu aksi di mana. Jika saya tiba di Manokwari, saya baru cari tahu,” tutur Sayang kepada saya, Minggu (7/6/2020) kemarin.
Baru saja menginjak ruang kedatangan, perempuan kelahiran 18 September 1985 mendengar pengumuman kalau jaket penyelamat dari pesawat yang ia tumpangi hilang. Imbasnya semua barang bawaan penumpang pesawat itu diperiksa, tak terkecuali Sayang. Ia meminta diperiksa di dalam ruangan. Saat itu ia dikelilingi aparat. Penggeledahan dan interogasi berlangsung 10 menit.
Aparat mempermasalahkan barang-barang yang ia bawa. Bintang kejora dianggap simbol dari orang-orang yang pro terhadap kemerdekaan Papua, padahal itu adalah simbol kultural--sebagaimana yang dinyatakan Gus Dur kala jadi presiden. Karena itu Sayang dibawa ke Polsek Bandara Rendani.
Tak sampai dua menit Sayang di mapolsek. Ia dialihkan ke Polres Manokwari menggunakan sebuah mobil. Ia duduk di bagian tengah, diapit oleh dua polwan dari Polda Papua Barat. Kasat Reskrim Polres Manokwari AKP Musa J. Permana jadi sopir. Di situ ia sempat menghubungi pengacaranya, Metuzalak Awom.
Ia ditahan di sel Polres Manokwari sejak 3 September 2019 sampai 17 Maret 2020. Kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Manokwari pada 18 Desember 2019 dengan tudingan makar (pasal 106 KUHP jo pasal 53).
Sudah Diatur
“Berdasarkan keterangan saksi di persidangan, saya menarik kesimpulan bahwa peristiwa itu sudah diatur. Sudah ada rencana penangkapan saya,” katanya.
Sayang mengatakan seorang petugas bandara bersaksi di Pengadilan Negeri Manokwari bahwa sebelum penggeledahan ia sempat dipanggil ke polsek. Saat itu polisi menunjukkan foto Sayang dan memberi instruksi.
“Kalau besok Ibu Sayang datang, dia harus diperiksa,” kata Sayang menirukan ucapan saksi tersebut. Pimpinan dan staf maskapai juga dipanggil ke polsek.
Sayang bilang saksi itu di-BAP polisi 23 jam sebelum ia di-BAP.
Kecurigaan Sayang makin tebal karena saksi mengklaim tidak tahu jaket penyelamat di bangku nomor berapa yang raib. Kemudian, di dalam berita acara pemeriksaan (BAP) saksi, tercantum rinci jumlah bawaan yang diangkut Sayang, padahal saat itu saksi hanya membuka koper dan melihat bendera, kemudian langsung keluar ruangan. Tak mungkin ia sempat menghitung jumlah bendera.
Saat ditanya Kuasa Hukum Sayang, saksi mengaku ia diberi tahu polisi berapa banyak bendera yang ada di koper tersebut.
“Keterangan saksi meyakinkan saya dan terbukti memang saya jadi target untuk ditangkap,” katanya.
Ibu tiga anak ini menduga ia telah dipantau polisi sejak mengikuti demonstrasi antirasisme di Sorong pada 19 Agustus. “Berdasar keterangan saksi, dari peristiwa (aksi) itu saya dalam pantauan kepolisian,” katanya.
Ia sadar kalau tindakannya itu membahayakan karier politiknya yang berstatus Ketua Dewan Perwakilan Daerah Perindo Kota Sorong, partai milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo. Dan benar saja, ia langsung dipecat karena “merugikan nama baik partai,” kata Sekjen Perindo Ahmad Rofid pada 3 September 2019.
Tapi ia tidak peduli dengan itu, sebab menurutnya, “apa arti jabatan ketua partai kalau kemanusiaan tidak dihargai?”
Sayang, yang juga aktif dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sorong, tak terbukti melakukan makar. Dia divonis Pasal 160 KUHP juncto Pasal 53 ayat (1) KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Dia dihukum sembilan bulan penjara dan sudah bebas murni pada 3 Juni lalu.
“Menyatakan Terdakwa Sayang Mandabayan tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘percobaan menghasut secara lisan dan tulisan di muka umum’ sebagaimana dakwaan kedua subsidair,” tulis Putusan Nomor 14/Pid.Bs/2020/PN.Mnk.
Sayang kini sudah kembali di rumah. Namun ia mengaku “tetap saja ketakutan itu ada” karena ia dan orang-orang sepertinya, yang berjuang memperbaiki tanah kelahiran dari diskriminasi ekonomi dan etnis, dihantui jeratan hukum dan kriminalisasi. Ia mengatakan semestinya di dalam negara demokrasi tak boleh ada orang dituding makar hanya karena mengekspresikan pikiran.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino