tirto.id - Nama PT Transportasi Jakarta atau TransJakarta, satu dari sekian banyak penyedia transportasi umum di Jakarta, akhir-akhir ini mencuat. Sebab, salah satu bis TransJakarta menabrak Pos Lantas Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur, pada 2 Desember 2021. Hal ini disampaikan oleh akun Twitter resmi Traffic Management Center Polda Metro Jaya, @TMCPoldaMetro.
13.23 Terjadi kecelakaan Bus Transjakarta menabrak Pos Lantas PGC Jaktim lalu lintas terpantau padat saat ini masih penanganan Polri pic.twitter.com/GrGJLCBegB
— TMC Polda Metro Jaya (@TMCPoldaMetro) December 2, 2021
Sebelumnya, kecelakaan Transjakarta juga terjadi pada 25 Oktober 2021 di sekitar wilayah Gatot Subroto, Jakarta Selatan, yang menyebabkan 3 orang meninggal dan 30 orang luka.
Kejadian-kejadian beruntun ini hanyalah tiga dari ratusan kecelakaan yang terjadi, yang melibatkan Transjakarta, tahun ini. Data PT Transjakarta, dilansir dari Kompas.com menunjukkan, jumlah kecelakaan yang melibatkan bus Transjakarta sepanjang Januari hingga Oktober 2021 sebanyak 502 kecelakaan.
Ketua Serikat Pekerja Transportasi Jakarta (SPTJ), Jan Oratmangun menilai pihaknya sangat prihatin dengan banyaknya kecelakaan tersebut. Pihaknya meminta untuk segera dilakukan evaluasi sistem manajemen moda transportasi tersebut.“Serikat pekerja menilai kualitas layanan menurun. Ini adalah dampak dari diberlakukannya berbagai kebijakan yang lebih mengutamakan profit-oriented dibandingkan pemberdayaan sumber daya manusianya,” kata Jan dalam keterangan tertulis, Selasa (7/12/2021).
Kecelakaan transportasi darat bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, di Jakarta saja, terdapat 4.729 kejadian kecelakaan lalu lintas pada 2020 dengan kerugian sekitar Rp 11 miliar. Kecelakaan ini berdampak terhadap 5.308 korban yang mengalami luka ringan, luka berat ataupun meninggal dunia.
Selain hilangnya nyawa, dampak kesehatan dan finansial, serta dampak lainnya dari kecelakaan-kecelakaan ini, studi Bank Dunia pada 2018 bahkan menemukan bahwa berkurangnya angka kematian dan cedera lalu lintas dapat menghasilkan pendapatan jangka panjang yang substansial bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Studi ini menemukan bahwa negara-negara yang tidak berinvestasi pada keselamatan jalan bisa kehilangan sekitar 7 persen hingga 22 persen potensi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita pada periode 24 tahun.Lantas bagaimana tren jumlah kecelakaan dalam beberapa tahun terakhir? Apa saja upaya-upaya pemerintah untuk mencegah kecelakaan lalu lintas? Kemudian, apa yang perlu dilakukan untuk mencegah adanya peningkatan jumlah kecelakaan di Indonesia?
Cenderung Naik?
Data Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di situs BPS mencatat, jumlah kecelakaan Indonesia cenderung meningkat sejak 1992, dengan peningkatan tajam terlihat sejak 2005. Pada 2019, jumlah kecelakaan mencapai 116.411 kecelakaan, naik hampir 500 persen jika dibandingkan 19.920 kecelakaan pada 1992.
Korban yang meninggal dunia akibat kecelakaan juga cenderung meningkat. Jumlah orang yang meninggal dunia pada periode 1992-2019 adalah sekitar 500 ribu orang atau rata-rata hampir 18 ribu kematian per tahun. Sebagai perbandingan, angka total ini hampir setengah populasi Gorontalo dan seperempat populasi Kepulauan Riau yang tercatat pada Sensus Penduduk tahun 2020.
Selain korban jiwa, kecelakaan di Indonesia juga telah mengakibatkan kerugian materi sebesar Rp 3,2 triliun pada periode 1992-2019 atau rata-rata hampir Rp 114 miliar per tahun. Angka kerugian ini juga cenderung meningkat dalam 20 tahun terakhir hingga mencapai Rp 254,7 miliar per 2019.BPS tidak mencatat data setelah 2019. Namun, melansir dari Beritasatu.com, Direktur Keamanan dan Keselamatan Korlantas Polri Brigjen Chryshnanda Dwilaksana, menyatakan bahwa pada tahun 2020, jumlah kecelakaan lalu lintas tercatat sebanyak 100.028, dengan korban meninggal dunia 23.529, luka berat 10.751 dan luka ringan 113.518 orang.
Sementara data kecelakaan lalu lintas sampai dengan Oktober 2021, jumlah kecelakaan lalu lintas mencapai 83.694, lalu korban meninggal dunia 20.728, luka berat 8.767, dan luka ringan 94.961.
Sementara data terpisah dalam situs Korps Lalu Lintas Polri, menunjukkan bahwa terdapat 292 kecelakaan di Indonesia berdasarkan laporan per Polda, per 8 Desember 2021. Jawa Timur memiliki jumlah kecelakaan dan korban tertinggi, sementara Sulawesi Selatan memiliki kecelakaan dengan nilai kerugian tertinggi.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi pun dalam konferensi daring pada 20 April 2021 mengatakan, 2 hingga 3 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas setiap jamnya di Indonesia, baik untuk transportasi umum maupun milik pribadi, mengutip data Polri.
“Jadi cukup besar sekali, dan ini kalau kita ingin melakukan perbaikan terhadap penanganannya perlu kerja sama semua pihak,” tegas Budi.
Melalui siaran pers, Budi mengatakan bahwa mayoritas (61 persen) kecelakaan terjadi karena faktor manusia, sedangkan sisanya akibat dari faktor sarana prasarana dan pemenuhan persyaratan laik jalan.
Senada, survei Adira Insurance terhadap 1.527 responden di 15 kota menemukan bahwa alasan yang membuat pengendara melakukan kebiasaan buruk di jalan “cukup klise”, yaitu karena terburu-buru (70,8 persen), tidak melihat rambu (49,4 persen), jalanan sepi sehingga menganggap aman untuk melanggar (48,8 persen), dan tidak ada polisi (44,9 persen).
Upaya Pemerintah?
Menanggapi masalah kecelakaan, Indonesia sejak 2011 memiliki Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan 2011 – 2035 yang berfungsi sebagai pedoman bagi para pemangku kebijakan untuk merencanakan dan melaksanakan penanganan keselamatan jalan secara terkoordinir dan selaras, mengutip dokumennya.
Penyusunan RUNK Jalan ini menggunakan pendekatan 5 pilar keselamatan jalan yang meliputi manajemen keselamatan jalan, jalan yang berkeselamatan, kendaraan yang berkeselamatan, perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan dan penanganan korban pasca kecelakaan.
“Pencapaian target RUNK ini menggunakan strategi sistem lalu lintas jalan yang berkeselamatan [...] yang diarahkan untuk memastikan bahwa kecelakaan lalu lintas jalan tidak mengakibatkan kematian dan luka berat,” tertulis dalam kata pengantar dokumen yang sama.
Hingga kini, Kementerian Perhubungan telah mengimbau bagi pengguna transportasi pribadi untuk menjaga kecepatan kendaraan maksimal 30 km/jam, khususnya di kawasan wisata dan pemukiman, seperti dilansir dari Bisnis.com.
Pemerintah telah menerbitkan pula peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat tentang Zona Selamat Sekolah. Zona ini adalah kegiatan manajemen dan rekayasa lalu lintas berupa kegiatan pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki di kawasan sekolah.
Budi dari Kementerian Perhubungan juga mengatakan bahwa pemerintah mengawasi secara ketat untuk angkutan ilegal, bus antar kota yang tidak masuk terminal, bus pariwisata yang tidak diwajibkan masuk terminal, dan truk over dimensi over loading (ODOL), mengutip siaran pers.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengevaluasi secara menyeluruh rentetan kecelakaan yang dialami bus Transjakarta, mulai dari para pekerja hingga keadaan bus Transjakarta.
"Kemarin tabrakan sekarang pos. Nanti akan kami evaluasi lebih lengkap dan menyeluruh apa sesungguhnya masalah yang terjadi sehingga terjadi tabrakan dan nanti kami carikan solusi terbaik," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (2/12/2021) malam.
Perlu “Komando” Presiden?
Pengamat Transportasi Universitas Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan kepada Tirto, Rabu (8/12/2021), bahwa kurangnya “komando” yang memimpin pelaksanaan Rencana Umum Nasional Keselamatan Jalan menjadi akar masalah kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
Kurangnya komando ini menyebabkan instansi-instansi yang terlibat untuk memiliki target sendiri dan menilai sendiri tingkat pencapaiannya. Djoko mengklaim bahwa pemerintah daerah pun seringkali tidak memahami isi RUNK sendiri.
“RUNK itu macan ompong,” ungkap Djoko.
Ia menilai, penanganan keselamatan jalan pun masih terpusat pada penanganan pasca kecelakaan, sedangkan upaya preventif dianggap “buang-buang duit”. Djoko mencontohkan sikap ini dengan keputusan dihilangkannya Direktorat Keselamatan Transportasi Darat di Kementerian Perhubungan.
Ia juga mengkritik oknum aparat penegak hukum di jalan raya yang sering mengabaikan pelanggaran aturan yang rawan kecelakaan seperti truk ODOL.
Oleh karena itu, ia mendorong presiden atau wakil presiden untuk mengambil alih “komando” RUNK dan memasukkan isu keselamatan jalan dalam isu strategis nasional. Alasannya, hanya presiden dan wakil presiden yang mampu mengecek upaya keselamatan jalan di masing-masing lembaga pemerintah serta melarang hal-hal yang kontraproduktif.
Misalnya, presiden mampu melarang penjualan motor dengan CC yang tinggi. Ia menilai bahwa banyaknya motor dengan kapasitas silinder atau CC yang tinggi menyebabkan peningkatan kecelakaan bagi korban berusia produktif.
Presiden pun dapat menegur instansi pemerintah yang tidak melaksanakan tugasnya dan menunjuk lembaga tertentu untuk melakukan tugas-tugas, termasuk untuk mengedukasi masyarakat terkait keselamatan di jalan.
“Untuk menekan angka kecelakaan di Indonesia, Presiden harus turun tangan. Jangan dibiarkan kalau korbannya semakin banyak,” ujar Djoko.
Editor: Farida Susanty