tirto.id - Tagar #JusticeForAudrey menghiasi berbagai linimasa media sosial. Para selebgram dan selebritas ramai-ramai angkat bicara menentang perisakan yang dialami AY. Bahkan muncul petisi yang telah ditandatangani oleh lebih dari 2,4 juta orang pada Rabu (10/04/2019), meminta pelaku diadili dan dikirim ke penjara, jika terbukti bersalah.
Kisah anak berumur 14 tahun itu dimulai pada Jumat terakhir di bulan Maret 2019, (29/03). Dua belas remaja putri menghampiri AY di rumah, mereka berkata ingin mengajaknya ngobrol di luar. Sebelumnya, AY tak pernah mengenal mereka, sampai akhirnya ia tahu bahwa pacar pelaku adalah mantan pacar kakak sepupunya yang berinisial P.
“Kakak sepupu AY ini perempuan, mereka sindir-sindiran di medsos,” jelas Lilik Meilani, ibunda korban, saat dihubungi Tirto, Rabu (10/04/2019).
Perang komentar di media sosial itu berbuah dendam. Semula pelaku menargetkan si kakak sepupu, tapi akhirnya, AY yang harus menerima getah dari masalah yang bahkan ia tak terlibat di dalamnya. Ia diduga mendapat pukulan, tendangan, dan benturan di perut, muka, kepala, serta pembengkakan di area genital.
Kejadian itu baru dilaporkan ke Polsek Pontianak Selatan pada Jumat (5/4/2019). AY sempat merahasiakan perundungan yang ia dapat karena takut dengan ancaman para pelaku. Akhirnya, Lilik bertanya penyebab sakit kepala yang dirasakan anaknya pada Rabu, (03/04/2019). Anak SMP kelas 2 itu akhirnya buka suara bahwa telah terjadi pengeroyokan pada dirinya di dua tempat berbeda.
“AY juga cerita ke kakak iparnya, P. Dia yang ngadu ke saya, saya marah dan langsung lapor polisi,” terdengar nada geram dari suara di seberang telepon sana.
Lilik tak kuasa menahan emosi ketika menceritakan tawaran damai yang diajukan orangtua pelaku saat mediasi di Polsek Pontianak Selatan. Baginya, para pelaku harus mendapat sanksi agar kejadian ini menimbulkan efek jera dan tidak terulang. Apalagi, ia mendapat info bahwa pelaku pernah melakukan hal serupa, tapi kasusnya selalu berakhir damai.
“Yang diperiksa sampai sekarang masih tiga orang. Padahal pelakunya ada 12, ditambah satu orang provokator, total 13. Kalau tidak ada provokator, tidak mungkin anak saya dipukul,” ucap Lilik.
Namun, menurut penuturan para pelaku yang direkam Tribun Timur,terdapat empat orang yang menjemput ke rumah. Di lokasi, terdapat 12 orang anak di tempat kejadian dan tiga di antaranya mengeroyok AY. Sisanya, 9 orang, menonton aksi pengeroyokan itu.
Akibat perisakan tersebut, AY menderita luka fisik dan psikologis. Hingga kini, ia masih mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Yang membikin reaksi bernada jengkel dari warganet, pelaku sengaja merekam perisakan, mengunggah wajahnya di Instagram, dan merekam dengan video saat menjalani pemeriksaan, serta menyatakan bahwa kabar perisakan yang mereka lakukan adalah hoaks belaka.
“AY sudah lima hari dirawat, dari hari kedua sudah mulai hipnoterapi untuk menyembuhkan trauma beratnya,” tutur sang ibunda, di akhir percakapan kami. Lilik meminta dukungan dari masyarakat dan pihak kepolisian agar terus mengawal dan menyelesaikan kasus ini secepatnya.
Anak Perempuan Merisak Perempuan Lain
“Remaja putri seringkali terlihat manis di depan orang dewasa, padahal mereka merundung, mengucilkan, dan memfitnah gadis lainnya.”
Kutipan dari Heather Rose, seorang penulis dari Australia nampaknya mewakili kondisi sosial yang terjadi di wilayah pertemanan remaja putri. Alih-alih saling menguatkan, perilaku perundungan antar-perempuan telah menjadi fenomena jamak.
Pada 2007 lalu, ada sebuah rekaman gambar sekelompok perempuan tengah menampar dan meludahi seorang remaja putri lain secara bergantian. Perundungan tersebut terjadi di Pati, Jawa Tengah. Kelompok remaja itu menyebut dirinya Geng Nero (neko-neko dikroyok).
Laman Girls Health yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan Amerika merangkum beberapa jenis perisakan yang lazim dilakukan perempuan. Mereka seringkali menyebarkan rumor atau gosip, mengucilkan, membuat komentar buruk/jahat, menghasut, membuat teror di surat, email, dan pesan, serta menyebar aib seseorang untuk dipermalukan.
Perisakan secara fisik memang cenderung lebih banyak dilakukan laki-laki, meski tak menutup kemungkinan perempuan juga melakukannya.
Dilansir Bullying Statistics, perilaku yang termasuk perundungan secara fisik adalah memukul, mendorong, menendang, menampar, meludahi, mencuri atau menghancurkan harta benda, termasuk buku, pakaian, meminta uang, pelecehan seksual atau kekerasan seksual.
Umumnya, perisakan secara fisik terjadi di sekolah, dan dilakukan pada tingkat usia sekolah menengah. Perisakan terjadi karena ketidakseimbangan kekuasaan, pelaku lebih menonjol, lebih kuat, atau memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dibanding korban.
Mereka melakukan aksinya karena menginginkan kontrol lebih besar terhadap korban. Perilaku ini diduga merupakan buah dari evolusi, dahulu kala, perempuan berlomba menarik perhatian pria guna mendapat perlindungan dan makanan untuk dirinya serta anak-anaknya.
“[Dianggap] terlalu cantik, pintar, baik juga bisa jadi alasan merisak korban karena pelaku jadi merasa minder. Ini soal persaingan dan perjuangan mencapai popularitas dan posisi kuasa,” kata Dr. Gail Gross, psikolog yang fokus menangani masalah keluarga, perilaku manusia, dan pendidikan.
Masih dari laman Bullying Statistics, pelaku perisakan diidentifikasi memiliki masalah dengan kontrol diri, sulit menaati aturan, kurang memiliki empati, dan berisiko lebih tinggi di kemudian hari menjadi pelaku kekerasan, berperilaku kriminal, atau gagal menjalin hubungan dan karier. Sementara itu, korbannya menjadi rendah diri, depresi, kesulitan belajar di sekolah, dan kadang berperilaku kasar.
Untuk mengatasi trauma, korban perundungan harus diberi perhatian dan dukungan. Orang-orang terdekatnya bertanggung jawab untuk menjelaskan bahwa perundungan bukan terjadi akibat kesalahan korban, melainkan perilaku salah para pelaku. Jangan pernah mendorong korban untuk melawan, cara terbaik menangani perisak adalah menghindarinya atau bereaksi sedikit mungkin.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk menghindari perundungan adalah berbaur dengan banyak teman, dan tinggal bersama orang dewasa. Orangtua dan sekolah harus bekerja sama mendorong langkah pencegahan seperti kampanye anti-perundungan, memberi pengawasan ketat, tidak memberi toleransi terhadap perundungan, dan menyediakan layanan konseling bagi mereka yang terlibat perundungan.
Editor: Aditya Widya Putri