tirto.id - Climate & Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, menilai penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) pada 2025-2034 dalam bauran energi nasional bisa mengerek subsidi energi hingga 50 persen.
Perkiraan ini didasarkan pada hasil penelitian Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), yang menyebut bahwa masuknya 10,3 gigawatt (GW) PLTG dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 berpotensi membebani keuangan negara hingga 60 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp960 triliun.
“Ini untuk membeli bahan bakarnya. Jadi, kalau kita tadi bandingkan, Rp960 triliun dibanding 10 (tahun), jadi per tahunnya sekitar Rp96 triliun subsidinya untuk gas. Nah, kalau kita bandingkan dengan subsidi dan kompensasi bahan saat ini, itu ada di atas Rp117 triliun, di mana itu sudah naik 24 persen dari tahun lalu. Berarti, kira-kira akan naik lagi sekitar 50 persen lebih subsidinya,” kata Adila, dalam Cerah Insight Talk di Jambuluwuk Thamrin Hotel, Jakarta Pusat, Jumat (8/8/2025).
Sementara itu, kenaikan subsidi batu bara ini tak lain terjadi karena pada sekitar tahun 2037 atau lebih cepat, Indonesia akan menjadi net importir gas, seiring dengan kenaikan kebutuhan gas untuk proyek elektrifikasi. Sayangnya, sejak tahun 2016 hingga saat ini cadangan gas alam yang dimiliki Indonesia sudah mengalami penurunan signifikan, mencapai 85 persen.
Karena kondisi ini, Yayasan Indonesia Cerah menilai cadangan gas alam hanya akan bertahan hingga 14 tahun ke depan.
“Sementara, proyek-proyek yang kita bangun sekarang, masa operasinya 20-40 tahun. Artinya apa? Indonesia berpotensi jadi net importir gas, karena kita tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Karena udah habis cadangannya. Maka, satu-satunya jalan adalah impor,” tutur Policy Strategist Cerah, Sartika Nur Shalati dalam kesempatan yang sama.
Impor gas akan semakin berisiko karena harga gas dunia sangat volatile, tergantung pada stabilitas geopolitik global. Tika, sapaan Sartika mencontohkan, pada awal pecahnya perang Rusia-Ukraina, ketika gas menjadi penopang energi di Uni Eropa, kedua negara itu bahkan sempat membayar biaya gas hampir 700 persen dari biaya normal
“Dan kalau seperti itu terjadi di Indonesia, maka potensi pemerintah untuk meningkatkan subsidi juga besar. Atau kalau bukan subsidi, berarti harga listrik kita yang bakal naik. Dan belum lagi kalau kita lihat ada kompetisi antar per sektor. Jadi, pemerintahan gas ini bukan hanya di sektor ketenagalistrikan, tapi juga ada industri ekspor dan lain-lain,” tambahnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































