tirto.id - Bambang Soesatyo, Luhut Binsar Panjaitan, dan Joko Widodo sepakat pada satu hal: tidak ada intervensi Istana dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Masalahnya hanya satu: pernyataan ketiganya meragukan.
Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengundurkan diri dari bursa calon Ketua Umum Partai Golkar 2019-2024 Selasa (3/12/2019) kemarin. Dia mengaku “tidak meneruskan pencalonan” demi “menjaga keutuhan dan solidaritas partai.”
Faktanya, terutama Luhut, yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, berperan besar dalam keputusan Bamsoet itu.
Bamsoet memberikan pernyataan publik kalau dia mundur setelah bertemu Luhut di kantornya, Jakarta, beberapa jam sebelum mereka bertolak ke lokasi Musyawarah Nasional Partai Golkar di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Di tempat ini semestinya Bamsoet bertarung dengan kader lain memperebutkan kursi Golkar-1.
Dalam pertemuan itu hadir pula Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Airlangga berstatus petahana dan penantang terkuat Bamsoet. Keduanya bahkan terlibat adu komentar sejak berbulan-bulan yang lalu.
Kepada wartawan usai pertemuan, Bamsoet mengaku keputusan ini juga dibuat karena ada “lobi-lobi antara Pak Luhut dan Airlangga.” Ia lantas menyebut Luhut adalah salah satu senior di Golkar yang harus didengarkan sarannya.
“Ini cara kami menyelesaikan masalah. Ketika senior kasih pendapat, kami yang muda, patuh. Kami mematuhi Pak Ical (Aburizal Bakrie Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2014), Pak Luhut, dan Pak Akbar (Akbar Tandjung, senior Golkar).”
Baik Luhut dan Aburizal memantapkan dukungan untuk Airlangga dalam pertemuan bertajuk “Malam Silaturahmi” yang digelar satu hari sebelum pertemuan di kantor Luhut.
Pada malam itu hadir pula Ketua Umum Partai Golkar 1998-2004 Agung Laksono dan Akbar Tandjung.
Dengan dukungan tersebut, Airlangga sudah mengantongi setidaknya 50 persen dukungan faksi internal Golkar: Luhut, Agung, dan Ical, termasuk faksi Kosgoro, Soksi dan MKGR.
Luhut mengklaim dia turun tangan dalam urusan Partai Golkar tanpa instruksi dari Presiden Joko Widodo, bosnya di kabinet, tapi semata-mata arahan dari internal partai.
Hal serupa pernah diutarakan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, yang dituding oleh fungsionaris DPP Golkar Syamsul Rizal “telepon DPD I, DPD II, dan kepala-kepala daerah untuk pilih Airlangga.”
“Apa urusanku? Kacau kamu. Memang aku pernah jadi orang partai?” kata Pratikno, Jumat (29/11/2019).
Hal ini juga disampaikan langsung oleh Jokowi saat berpidato di Munas X Partai Golkar.
“Jangan ada yang berprasangka tidak baik. Kemarin ada yang sampaikan, 'istana intervensi.' Saya jaminkan tidak ada, enggak ada,” kata Jokowi.
Tapi Jokowi tidak mengelak jika ada bawahannya yang ikut campur. Ia hanya menegaskan itu adalah kapasitas mereka sebagai kader Partai Golkar, bukan sebagai perwakilan pemerintah.
“Pak Luhut, bisa saja,” ucap Jokowi. “Kalau ada menteri yang manggil-manggil DPD, ya, menterinya Golkar mestinya.”
Jokowi juga menyebut nama-nama lain seperti Agus Gumiwang Kartasasmita, Zainuddin Amali, dan Jerry Sambuaga--ketiganya pembantu Jokowi di kabinet dari Golkar.
Hanya Luhut yang disoraki peserta musyawarah.
"Tidak Mungkin Mundur Tanpa Ada Tekanan"
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai pernyataan Jokowi bahwa tak ada intervensi dari Istana, dan jika ada orang kabinet ikut campur itu dalam kapasitasnya sebagai kader Golkar, hanya dalih.
“Dari dulu selalu ada intervensi di Munas Golkar. Tidak mungkin Bamsoet mundur tanpa ada tekanan. Kalau [Jokowi] bilang tidak ada, faktanya ada,” tegas Ujang kepada reporter Tirto, Rabu (4/12/2019).
Sebelum bertemu Luhut, Bamsoet memang tampak tak akan mundur sejengkal pun. Pada 31 Oktober, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Elvis Junaedi menegaskan Bamsoet tidak akan mundur karena “tembok di belakangnya.”
Lalu kenapa Luhut yang menonjol?
Luhut sudah dikenal publik sebagai 'menteri segala urusan' pemerintahan Jokowi. Dia sudah 'menempel' Jokowi sejak Presiden ke-7 itu maju dalam pemilihan Wali Kota Surakarta.
Kedekatan dengan Jokowi dan kelihaiannya dalam konsolidasi politik membuat Luhut kerap dilibatkan dalam momen-momen penting, termasuk konsolidasi politik menjelang demo bela Islam yang dikenal dengan aksi 411 dan 212 pada akhir 2016.
Saat itu Luhutlah yang menemui Prabowo--ikon politik 411 dan 212.
Luhut juga jadi perwakilan resmi pemerintah menemui Ma'ruf Amin pada 1 Februari 2017 atau satu hari setelah persidangan kasus penistaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama. Saat itu Ma'ruf berstatus Ketua MUI dan jadi saksi BTP.
Peran Luhut lain yang barangkali paling monumental adalah mewakili Jokowi bertemu Prabowo pasca Pilpres 2019. Sedikit banyak itu punya pengaruh sehingga membuat Prabowo bersedia jadi bawahan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan.
Kepentingan Istana
Menurut Ujang, Istana jelas punya kepentingan menjaga Golkar agar tak terlibat konflik internal. Golkar penting karena mereka adalah juara dua Pileg 2019 di bawah PDIP.
Ketidaksolidan Golkar sedikit banyak akan mempengaruhi stabilitas pemerintahan, kata Ujang, yang sedikit banyak dibenarkan secara tidak langsung oleh Jokowi.
“Kalau Golkar goyang, perpolitikan nasional ikut goyang. Golkar dingin, perpolitikan ikut dingin,” kata Jokowi saat pidato.
Direktur Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah Putra mengatakan kenapa Airlangga yang dipilih karena dia relatif “punya relasi cukup baik dengan iIstana.”
Ini penting lagi-lagi atas alasan stabilitas politik. Bamsoet, kata Dedi, cenderung lebih banyak bermanuver
Dipilihnya Airlangga semakin masuk akal karena saat ini dia menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, sementara cita-cita Jokowi pada periode kedua adalah menggencarkan investasi. Jokowi bahkan meminta kader Golkar, terutama yang duduk di legislatif, membantu pengesahan omnibus law--regulasi 'sapu jagat'--soal investasi.
“Saya tetap minta ke Golkar agar memberikan dukungan terhadap omnibus law yang akan diajukan pemerintah,” kata Jokowi.
Salah satu yang pasti terlibat dalam pembahasan omnibus law adalah Komisi XI yang membidangi keuangan. Kader Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng, adalah Ketua Komisi XI.
“Golkar jadi alat back-up kepentingan Jokowi. Jadi intervensi itu harus dilakukan,” Ujang menegaskan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino