tirto.id - Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyinggung masa-masa kelam parpol berlambang pohon beringin, mulai dari dualisme kepengurusan hingga kasus korupsi yang menjerat mantan ketum Setya Novanto.
Menurut Airlangga sebelum dirinya ditetapkan sebagai ketua umum pada Munaslub Golkar pada 2017, Golkar sempat terbelah tak hanya di tingkat pusat, tapi juga di tingkat daerah.
"Dalam situasi semacam itu, konsolidasi, kaderisasi dan pembinaan tidak berjalan semestinya," kata Airlangga dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada acara Munas Golkar di Ballroom Hotel Ritz-Carlton, Jakarta Selatan, Rabu (4/12/2019).
Akibat adanya dualisme, Golkar menurut Airlangga sempat tidak bisa mengusung calon di Pilkada 2015 karena tidak ada kesepakatan antara dua pengurus partai.
Sampai akhirnya melalui Munaslub 2016 di Bali, dualisme pun berakhir dengan menetapkan posisi politik Golkar semula di luar pemerintahan berubah menjadi pendukung pemerintah Jokowi-JK (Jusuf Kalla).
Namun, usai Novanto terpilih menjadi ketua umum, Golkar kembali diguncang badai karena kasus korupsi yang menjerat mantan ketua DPR RI itu. Menurut Airlangga, elektabilitas partai merosot tajam dan berita-berita pun seluruhnya bernada negatif.
"Karena pucuk pimpinan partai pun ditimpa [kasus] hukum. Ketika itu Golkar menjadi bulan-bulanan media terutama berita negatif di media sosial sehingga citra dan elektabilitas Golkar merosot cukup tajam," kata Airlangga.
Airlangga pun mengklaim dirinya berhasil membangun kembali Partai Golkar dan mengembalikan kepercayaan publik. Klaim ini didasari hasil Pemilu 2019 yang membuat Golkar berhasil menjadi pemenang ketiga suara nasional.
"Ibarat kapal yang oleng [dihantam] badai besar Golkar menemukan nahkoda menyelamatkan kapal tersebut sehingga penumpang selamat sampai tujuan," kata dia.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz