Menuju konten utama
Diplomasi Musik Amerika

Jaz, Musik yang Berkembang Bersama Perang

Sebelum Washington mensponsori konser jaz ke luar negeri untuk propaganda, jenis musik itu sudah dipopulerkan di banyak negara oleh musisinya sendiri.

Jaz, Musik yang Berkembang Bersama Perang
Duke Ellington dan orkestra jazznya tampil di Gedung Putih, Washington pada 27 Maret 1968. Sekitar tiga dekade sebelumnya, pada 1933, mereka sudah pernah memukau publik di luar negeri dalam konser di London. (Foto AP)

tirto.id - (Artikel sebelumnya: Amerika Pakai Musik Klasik untuk Propaganda Perang Dingin)

Selama era Perang Dingin, bukan hanya pertunjukan musik klasik yang diekspor oleh pemerintah Amerika Serikat ke luar negeri sebagai sarana propaganda untuk merebut hati dan pikiran publik dunia sekaligus memoles citra. Melalui program bertajuk Cultural Presentations, sejak 1954 Departemen Luar Negeri (Deplu) AS menyokong konser-konser musik ke berbagai negara termasuk jenis jaz.

Ada alasan khusus mengapa Washington mensponsori jaz. Jaz, musik yang dikembangkan oleh komunitas minoritas keturunan Afrika di New Orleans, Louisiana, didukung untuk menangkal narasi dari Uni Soviet tentang isu rasisme dan segregasi rasial di AS. Ide tersebut dicetuskan pada 1955 oleh anggota Kongres keturunan Afrika, Adam Clayton Powell, Jr.

Deplu mulai mensponsori pementasan musisi jaz ke luar negeri pada 1956. Pertama-tama mereka mengirim pemain trompet kulit hitam Dizzy Gillespie ke kawasan Timur Tengah sampai Amerika Latin.

Menariknya, jauh sebelum dimobilisasi oleh pemerintah, jaz sudah menyebar dan diterima sebagai bagian dari diplomasi publik yang bersifat spontan atau alamiah. Juru bicara alias diplomatnya tak lain musisi jaz itu sendiri, baik yang berkulit hitam maupun putih. Singkatnya, selama paruh pertama abad ke-20, musik jaz Amerika sudah meraup cukup “modal”: dikenal di seberang Atlantik dan didukung pasar yang antusias.

Jaz Paruh Pertama Abad ke-20

Pementasan musisi jaz Amerika di penjuru bumi marak setelah rekamannya pertama dirilis tahun 1917 di New York. Judulnya Livery Stable Blues, dibawakan oleh grup band kulit putih Original Dixieland Jass Band.

Penyebaran jaz terutama di Eropa juga tidak terlepas dari Perang Dunia I. Grup band militer yang beranggotakan serdadu-serdadu kulit hitam ikut andil memperkenalkan ragtime—musik yang kelak mempengaruhi perkembangan jaz. Mereka ke Benua Biru karena pada 1917 pula AS mulai berpartisipasi dalam Perang Dunia I dan para pemuda diboyong untuk bertempur di seberang samudra.

Grup band militer pimpinan James Reese Europe, yang pentas di Eropa pada 1918, dianggap paling berjasa memperkenalkan jaz terutama di teritorial Prancis.

Memasuki Perang Dunia II ada nama Glenn Miller, musisi kulit putih kelahiran Iowa yang menakhodai orkestra jaz. Konsernya di New York pada 1938 mencetak rekor 1.800 pemirsa, demikian rekaman lagunya terjual lebih dari 100 ribu keping pada minggu pertama rilis. Miller dan kawan-kawan kemudian juga pentas di gedung konser bergengsi Carnegie Hall.

Pada puncak karier musiknya tahun 1942, Miller memutuskan bergabung dengan militer AS. Di sana, dia menemukan posisi yang diminati dan dinikmatinya: memimpin grup band militer untuk menghibur sekaligus meningkatkan moral tentara Sekutu. Fifty Piece Army Air Force Band adalah grup musik yang dibentuk dan diajaknya terbang ke Inggris pada 1944. Sepanjang karier, mereka tampil sebanyak 800 kali. Miller, kelak posisinya mencapai gelar Mayor, juga difasilitasi untuk merekam lagu-lagunya di Abbey Road Studios—studio rekaman besar yang kelak menaungi band populer asal Inggris, The Beatles.

Selain Miller, diplomasi jaz pada dekade 1930-1940 juga dilakukan oleh Louis Armstrong. Pemain trompet dan pelantun lagu What A Wonderful World ini dijuluki Satchmo (kependekan dari satchel mouth—'mulut besar') dan kelak Ambassador Satch—'Duta Besar Satch' atas kontribusinya mengharumkan nama jaz di tingkat dunia. Pada 1932, ia menyeberangi Atlantik untuk tampil perdana di Inggris Raya. Setahun kemudian, dia konser di Copenhagen, Denmark kemudian menetap di Eropa sampai 1935.

Seusai Perang Dunia II, Armstrong sempat kembali sebentar ke Benua Biru untuk acara “festival jaz pertama di dunia” di Nice, Prancis, pada 1948 dan di Berlin Barat pada 1952. Tahun 1956, Armstrong juga melawat ke Afrika, tepatnya Ghana—kala itu masih jadi koloni Inggris—dalam konser yang disponsori oleh jaringan berita CBS. Pemirsanya di sana dilaporkan sampai 110 ribu.

Selain Armstrong, pianis-komposer kulit hitam Duke Ellington—bernama panggung “Duke Ellington and his Orchestra”—pernah memukau publik London pada 1933. Musik Ellington yang dipromosikan sebagai “harmoni-harmoni voodoo” dan “ritme hutan belantara” tersebut mendapat sambutan hangat.

Ellington terbuka tentang latar belakang leluhurnya dari hutan Afrika bahkan riwayat perbudakan mereka, juga bagaimana itu semua memengaruhi karya musiknya.

Tokoh lain yang berkontribusi penting bagi perkembangan jaz Amerika pada awal abad ke-20 adalah pemain klarinet kulit putih Benny Goodman. Anak dari imigran Yahudi asal Eropa Timur ini kelak dielu-elukan sebagai Raja Swing (swing adalah salah satu aliran gaya dalam jaz).

Melalui konser besar di Carnegie Hall, New York pada 1938, Goodman dipandang sukses mengubah jaz dari awalnya dimaknai sempit sebagai musik pengiring tarian jadi musik yang juga bisa dinikmati dengan cara didengarkan saja. Berkatnya, jaz semakin dihargai sebagai seni—setara dengan musik klasik yang selama ini didewakan sebagai musik superior.

Konser Goodman kala itu juga historis karena melibatkan pianis kulit hitam Teddy Wilson. Mereka diyakini sebagai musisi kulit putih dan kulit hitam pertama yang tampil sepanggung di acara konser besar dan dihadiri ribuan audiensi pada era segregasi rasial.

Pada 1950, Goodman dan rombongan melakukan tur pertamanya ke Eropa. Salah satu anggotanya adalah pemain trompet kulit hitam Roy Eldridge. Permainan mereka sempat direkam di Lausanne untuk Swiss Radio dan di Stockholm, Swedia.

Disukai Soviet, Dibenci Nazi

Pada awal abad ke-20, musik jaz Amerika disambut dengan tangan terbuka di Uni Soviet. Dilansir dari Russia Beyond, alasannya sederhana: rezim Soviet melihat jaz sebagai instrumen perjuangan politik dari minoritas kulit hitam yang ditindas di tanah Amerika. Sedininya pada 1926, Russian Philharmonic Society sudah mengundang pianis kulit hitam kelahiran Philadelphia, Sam Wooding, dan grup penyanyi-penari Chocolate Kiddies untuk tampil di Moskow dan Leningrad (sekarang St. Petersburg).

Pandangan Soviet terhadap jaz mulai berubah memasuki dekade 1930-an. Jaz malah dikritik sebagai produk budaya kaum borjuis. Akibatnya, musisi-musisi jaz dari luar negeri tidak lagi diperbolehkan tampil di wilayah Tirai Besi, sementara musisi jaz lokal masih boleh pentas meski dibatasi.

Situasi baru sedikit berubah ketika Soviet bersekutu dengan AS dalam Perang Dunia II. Sejumlah grup band jaz diizinkan tampil untuk menumbuhkan semangat juang para serdadu Soviet.

Infografik Jazz Pasca Perang Dunia 1

Infografik Jazz Pasca Perang Dunia 1. tirto.id/Fuad

Pada era yang kurang lebih sama, permainan musik jaz dibenci oleh rezim Nazi Jerman karena citranya lekat dengan orang kulit hitam dan musisi keturunan Yahudi. Selama Hitler berkuasa, jaz dibingkai sebagai musik berkualitas rendah yang menodai moral tinggi bangsa Arya.

Pemerintahan Hitler melarang pemutaran musik jaz di jaringan radio pada 1935. Penjualan dan pemutaran rekaman musik jaz Amerika juga dilarang seiring AS ikut ke dalam pusaran Perang Dunia II.

Meskipun terang-terangan memusuhi jaz, Nazi masih melihatnya sebagai alat efektif untuk menarik massa. Mereka sempat mensponsori musisi Jerman dalam grup band swing Charlie and his Orchestra yang membawakan lagu-lagu hits Amerika dengan lirik propaganda pro-Nazi.

Dengan semua ini, tidak heran jika nama-nama musisi jaz AS familier bagi penduduk Eropa, terutama menjelang akhir perang. Salah satu mediumnya adalah kompilasi lagu V-Discs (V merujuk pada victory: kemenangan pihak Sekutu) yang merupakan proyek Departemen Perang AS untuk menghibur tentaranya di luar negeri. Kepingan-kepingan V-Discs ikut dibawa oleh pasukan AS ketika mereka diterjunkan untuk membebaskan Belgia dari Nazi pada 1944.

Meskipun sasarannya terbatas untuk konsumsi kalangan militer AS, konten V-Discs menyebar juga sampai publik Belgia. Dari kepingan rekaman itulah mereka semakin akrab dengan permainan musik swing dari Benny Goodman dan berbagai musisi lain: band dansa The Dorsey Brothers, pianis-komposer Stan Kenton, konduktor Glenn Miller, pemain klarinet Artie Shaw, vokalis Cab Calloway.

Pada 1946, majalah musik Belgia bahkan mengulas sejarah V-Discs dan merekomendasikan beberapa album yang dibawakan oleh sederet musisi kulit hitam, seperti All Star Jam Session (menampilkan Louis Armstrong, pemain trompet kornet Bobby Hackett, gitaris Herb Ellis, trombonis Trummy Young), Duke Ellington and his Orchestra, Fats Waller and his Rhythm, dan Eddie Condon and his Town Hall jaz Orchestra.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait JAZZ atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino