tirto.id - “Cuma satu hal yang bisa mengusir saya dari jalanan di negeri ini, yaitu kematian saya sendiri!”
Orasi itu disampaikan oleh presiden paling tenar dalam sejarah Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, pada 2018 silam. Kala itu politikus Partai Buruh (Partido do Trabalhadores) ini tengah terjerat kasus korupsi dan suap. Persoalan hukum tersebut menghalanginya mencalonkan diri lagi sebagai presiden.
“Sampai tiba waktunya mati, saya akan perjuangkan masyarakat yang lebih adil. Apa pun nanti hasil putusan dalam sidang, saya akan lanjutkan perjuangan demi harkat dan martabat bangsa ini,” demikian ia berjanji.
Meskipun kemudian hakim menjebloskannya ke penjara dan terseok-seok menjalani proses hukum yang panjang nan berliku, pria yang besar dalam tradisi serikat buruh berusia 76 ini ternyata teguh menjaga janji. Awal Mei ini, Lula kembali turun ke jalanan kota industri São Paulo untuk mengampanyekan pencalonannya sebagai presiden dalam pesta demokrasi yang dijadwalkan berlangsung pada 2 Oktober nanti.
Masih Populer
Brasil di bawah kepemimpinan Lula (2003-2011) mencatat kemajuan ekonomi pesat. Sekitar 30 juta warga diangkat dari kemiskinan. Layanan kesehatan dan akses pendidikan anak meningkat berkat program-program yang progresif. Hasilnya turut berdampak pada mayoritas kelompok penduduk berkulit hitam yang selama ini lebih lemah secara sosio-ekonomi daripada kelompok kulit putih.
Lula, yang pernah dipuji Barack Obama sebagai “politikus paling populer sedunia,” mengakhiri masa jabatan dengan apik. Survei menyebut 80 persen responden puas terhadap kinerja administrasi pemerintah. Sementara popularitas Lula sendiri menembus 87 persen.
Rekam jejak tersebut mungkin bisa menjelaskan mengapa sampai sekarang Lula masih dapat dukungan publik yang tinggi, bahkan lebih daripada sang petahana, Jair Bolsonaro. Menurut survei CNT/MDA awal Mei kemarin, jika pemilu berlangsung sekarang, Lula diprediksi menang dengan perolehan suara 50 persen—14 poin di atas Bolsonaro.
Popularitas Lula juga tak bisa dilepaskan dari situasi Brasil di bawah pemerintahan Bolsonaro. Masyarakat suku asli, misalnya, mendukung Lula dengan alasan pemerintahan saat ini merugikan mereka. Proyek ekspansi lahan perkebunan, pertambangan mineral, sampai eksplorasi minyak bumi menggerogoti lahan adat dan menyebabkan deforestasi.
Kembalinya Lula ke panggung politik juga disambut riuh oleh pekerja dan serikat buruh, kelompok yang mengalami kesulitan sosio-ekonomi hebat selama pandemi.
Tahun lalu, ketika Bolsonaro nyaris digulingkan massa karena penanganan Covid-19 yang amburadul dan inflasi yang meroket sampai dua digit, senat Brasil sampai mengeluarkan laporan setebal 1.200 halaman untuk mendesak agar pemuja Donald Trump tersebut dijatuhi tuntutan kriminal, termasuk kejahatan kemanusiaan, karena tidak kompeten mengatasi pandemi.
Keburukan Bolsonaro ini juga turut dieksploitasi Lula. Terkait dengan penanganan pandemi, ia berkoar betapa “bodoh” kebijakan kesehatan Bolsonaro—yang pernah membual bahwa vaksin bisa mengubah manusia jadi buaya. Ketika angka kematian menembus 266 ribu jiwa—tertinggi kedua setelah Amerika Serikat—tahun lalu, Lula menyatakan bahwa Brasil “tak punya pemerintahan.”
Saat berkampanye, Lula menyinggung betapa pemerintahan hari ini sudah diwarnai “ketidakmampuan dan otoritarianisme.” Menurutnya, berbagai masalah sosio-ekonomi dari layanan kesehatan, upah, pendidikan, sampai kaum muda, sudah diabaikan oleh para penguasa.
Skandal Korupsi yang Masih Segar
Di mata para pengkritiknya dan kalangan sayap kanan, Lula tetaplah seorang penjahat. Ini terkait dengan kasusnya di masa lalu.
Tahun lalu, Bolsonaro menyebut Lula “maling dengan sembilan jari” (kelingking Lula putus karena kecelakaan kerja sewaktu muda). Bahkan, politikus tengah-kiri Ciro Gomes yang pernah bekerja untuk kabinet Lula dan berambisi nyapres juga menyebut mantan bosnya itu “koruptor terbesar dalam sejarah modern Brasil.”
Segelintir grup politik konservatif menyebut Lula “maling komunis”, “pengkhianat tanah air”, dan “bandit” dalam spanduk-spanduk di pinggir jalan. Di Twitter, meme dan unggahan bertagar #LulaLadrao (Lula maling) beredar luas.
Bagaimana sesungguhnya duduk perkara kasus korupsi yang menjerat Lula?
Semua berawal dari Operasi Cuci Mobil (Lavo Jato), sebuah investigasi kasus korupsi senilai miliaran dolar. Disebut dengan “cuci mobil” karena penelusuran oleh kepolisian federal pada 2014 lalu memang berawal dari sentra jasa cuci mobil di ibu kota.
Polisi sebenarnya sekadar berupaya mengungkap kasus pencucian uang oleh gerombolan pengedar mata uang kelas teri. Namun yang tersingkap ternyata jauh lebih besar: kasus korupsi yang melibatkan elite pemerintah, BUMN minyak Petrobras, dan korporat konstruksi Odebrecht. Kasusnya cukup lazim: perusahaan menyuap pejabat supaya proyek-proyeknya dipermulus.
Peristiwa ini berujung pada 295 penahanan dan 278 vonis hukuman.
Hakim Sérgio Moro menjatuhkan vonis penjara pada Lula selama 9,5 tahun—yang lantas dinaikkan jadi 12 tahun—pada 2017 lalu. Ia disimpulkan menerima suap berupa bangunan apartemen—yang menurut pengakuan Lula bukanlah miliknya.
Para pejabat di sekitar Lula dari Partai Buruh juga disikat, tak terkecuali murid kesayangannya, Presiden Dilma Rousseff, yang dimakzulkan pada 2016 meskipun tidak terlibat korupsi langsung.
Tak hanya menyenggol Lula dan dua presiden Brasil lain, pihak berwenang juga menghukum para presiden, menteri, serta pejabat di belasan negara Amerika Latin.
Tak hanya divonis penjara, pukulan telak bagi Lula juga larangan mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu 2018, padahal dalam berbagai jajak pendapat ia selalu unggul. Pemilu itu sendiri dimenangkan oleh Bolsonaro yang dalam kampanye banyak berjanji tentang pemberantasan korupsi.
Setelah mendekam di balik jeruji besi selama satu setengah tahun, Lula dibebaskan pada November 2019 karena Mahkamah Agung memutuskan bahwa para terdakwa bisa bebas sampai seluruh proses banding selesai.
Kelak terungkap beberapa fakta yang cukup mencengangkan terkait kasus ini. Sebelum Lula bebas, tepatnya pada Juni, media investigasi The Interceptmelaporkan bahwa hakim yang memvonis Lula sudah “melewati batas etika” dengan memberikan serangkaian saran kepada jaksa penuntut.
Dalam laporan terpisah, penelusuran Intercept juga mengungkap bagaimana tim jaksa penuntut kongkalikong untuk mencegah Lula dan Partai Buruh kembali berkuasa. Kecurigaan semakin kentara setelah Hakim Moro diangkat jadi Menteri Hukum (2019-2020) oleh administrasi Bolsonaro.
Akhirnya, persis setahun yang lalu, Mahkamah Agung membatalkan putusan hukum terhadap Lula karena menilai hakim sudah bertindak bias. Lalu, baru saja Komisi HAM PBB menyatakan bahwa hak Lula untuk mendapatkan persidangan yang adil sudah dilanggar, tak terkecuali hak terkait privasi dan hak politik untuk nyapres.
Tantangan untuk Lula
Seiring drama hukum yang membelitnya berakhir, juga sokongan kuat dari komunitas serikat dagang, organisasi sosial, dan sejumlah partai tengah-kiri, apakah artinya Lula dapat menemukan jalan mulus kembali ke Palácio da Alvorada di Brasilia? Sayangnya, jawabannya adalah tidak.
“Ada risiko tinggi rakyat Brasil akan memenangkan lagi pemerintahan fasis Bolsonaro. Bersatunya kekuatan progresif untuk melawan kejahatan memang suatu momen yang historis, tapi segalanya bisa terjadi,” ujar Douglas Belchior dari Black Rights Coalition, salah satu pendukung Lula, kepada Al Jazeera awal bulan ini.
Tudingan “fasis” memang kurang tepat bagi Bolsonaro. Para pakar politik lebih sering mengasosiasikannya dengan otoritarianisme. Namun pandangan politik kanan ekstrem memang trademark Bolsonaro—yang kerap melontarkan pernyataan rasialis, homofobik, dan misoginis.
Ia bahkan tidak malu-malu mengekspresikan itu. Tahun lalu, misalnya, pemuja era kediktatoran militer Brasil ini sempat bersua hangat dengan politikus Jerman dari partai sayap kanan jauh Alternative for Germany, Beatrix von Storch, cucu dari Lutz Graf von Krosigk alias Menteri Keuangan-nya Adolf Hitler.
Pada era Bolsonaro pula ideologi kanan jauh kian menguat dan bermekaran dalam wujud grup Neo-Nazi. Dipetik dari Brasil de Fato, riset menunjukkan terdapat sedikitnya 530 pusat ekstremis Neo-Nazi di Brasil yang menaungi 10 ribu anggota. Jumlahnya naik 270,6 persen dari Januari 2019 sampai Mei 2021. Temuan lain juga menunjukkan bahwa tindakan kriminal memproduksi dan menyebarkan materi tentang Nazisme mengalami peningkatan pada 2019 dan 2020.
Basis pendukung Bolsonaro yang luas dan mapan juga tidak bisa diremehkan, dari mulai grup-grup pelobi agrobisnis atau pemain besar di sektor pertanian dan perkebunan, kalangan gereja Kristen Evangelis, elite bisnis yang prokebijakan ekonomi neoliberal, sampai sejumlah rakyat yang muak dengan berita tentang skandal korupsi di bawah 14 tahun pemerintahan Partai Buruh dan kecewa dengan resesi ekonomi yang mengiringi setelah itu.
Kelompok-kelompok ini, tentu saja, dapat menjadi penghalang Lula.
Jajak pendapat sejak Desember 2021 juga menunjukkan selisih dukungan untuk Lula dan Bolsonaro kian menipis. Salah satu argumen yang cukup kuat untuk menjelaskan situasi ini adalah usaha perbaikan ekonomi dari Bolsonaro.
Bolsonaro sadar dukungan untuknya kian merosot karena kekacauan sosio-ekonomi selama pandemi yang gagal ia atasi. Kalangan bisnis juga dilaporkan lelah dengan sikap-sikapnya yang tidak bisa diprediksi dan ketidakmampuannya memerintah. Maka dari itu, sebagaimana lazim dilakukan para politikus, Bolsonaro memperkenalkan program bantuan langsung tunai untuk memutar cepat roda ekonomi sekaligus mengambil hati publik terutama kalangan miskin.
Melansir Financial Times, tunjangan yang disebut Auxílio Brasil ini diberikan pada 50 juta masyarakat miskin atau seperempat dari total populasi. Nominalnya 18 persen lebih tinggi dari rata-rata tunjangan bulanan yang pernah diberikan oleh program era Lula, Bolsa Familia.
Desember silam, Bolsonaro berhasil mendapatkan dukungan kongres untuk menambah nominal tunjangan yang berlaku sampai dua bulan setelah pilpres. Sebelumnya, pada awal pandemi, administrasi Bolsonaro juga sudah menggencarkan program kesejahteraan serupa yang nilainya mencapai 11 persen dari Produk Domestik Bruto.
Di samping perlu mewaspadai lawan, ancaman juga berasal dari strategi yang mereka ambil sendiri. Sabrina Fernandes dalam tulisan di Jacobinmenjelaskan bagaimana pendukung dari sayap kiri kecewa karena Lula menggandeng politikus kanan sebagai wakil. Dalam pilpres 2018 silam, Partai Buruh memilih Manuela D’Ávila, politikus kiri moderat dari Communist Party of Brazil (PCdoB), untuk mengisi posisi tersebut.
Politikus tersebut adalah Geraldo Alckmin, gubernur São Paulo empat periode. Selama tiga dekade Alckmin menjadi bagian dari partai tengah-kanan Social Democracy Party, sebelum hengkang ke Partai Sosialis awal tahun ini. Ia sedari dulu memusuhi Partai Buruh, terus membingkai Lula sebagai penjahat korup, dan sempat gencar mengadvokasikan “kudeta” terhadap penerus Lula, Presiden Rousseff.
Di bawah kepemimpinan Alckmin pada 2012, ribuan keluarga digusur secara brutal dari permukiman di kawasan Pinheirinho. Anak-anak, ibu-ibu hamil, dan lansia menjadi sasaran kekerasan aparat. Sedikitnya terdapat 500 laporan kekerasan oleh polisi di sana.
Fernandes menyebut strategi tersebut dipakai Lula dalam rangka menarik dukungan elite bisnis yang dikecewakan oleh administrasi Bolsonaro. Alckmin memang bisa membantu Partai Buruh mendulang suara dari mereka, juga kalangan sentris dan sayap kanan, tapi pada waktu sama juga mempersulit untuk mendapat dukungan dari kelas pekerja di São Paulo, negara bagian dengan performa ekonomi terkuat di Brasil.
Lula juga dikritik karena masih sekadar menggaungkan nostalgia tentang kemakmuran Brasil di bawah kepemimpinannya dulu: upah lebih tinggi, pengangguran rendah, dan bahan bakar murah.
“Lula belum benar-benar menawarkan rencana tentang masa depan. Sampai sekarang, yang diandalkannya hanyalah ide bahwa ia pernah jadi presiden yang lebih baik daripada Bolsonaro,” ujar konsultan politik Thomas Traumann, dikutip dari Time.
Lula sendiri, dalam wawancara dengan Time, bersikeras tidak mau membahas kebijakan ekonomi sebelum dirinya resmi menang pilpres. “Karena saya sudah jadi presiden dua kali,” ujarnya. “Kalian harus paham, alih-alih bertanya apa yang akan saya lakukan, lihat saja apa yang sudah pernah saya lakukan,” tandasnya.
Masalahnya, menurut pengamat, tantangan ekonomi yang kelak dihadapi Lula jika menang jauh lebih berat daripada situasi ketika ia berkuasa pada 2003.
Salah satunya terkait industri minyak. Dulu, Partai Buruh mampu mempertahankan harga yang murah karena cadangan melimpah berkat temuan Petrobas. Namun kini harga minyak meroket dan mendorong inflasi dalam negeri.
Upaya perlindungan iklim juga diprediksi membayangi masa depan sektor minyak, yang mewakili lebih dari 11 persen komoditas ekspor Brasil.
Jalan Lula, ringkasnya, akan selalu berliku, baik saat bertanding atau ketika misalnya menang nanti.
Editor: Rio Apinino