tirto.id - Krisis kesehatan selama pandemi Covid-19 semakin mengguncang kepemimpinan Presiden Brasil Jair Bolsonaro. Sejak akhir Mei silam, politikus populis kanan ini jadi sasaran amarah rakyat. Pada awal Juli, demonstran bahkan mendesak agar ia segera mengundurkan diri, seiring munculnya kabar tentang dugaan korupsi pengadaan vaksin di tubuh pemerintahan.
Sampai menjelang akhir Juli, negara dengan populasi 213 juta jiwa ini mencatat lebih dari 545 ribu kematian akibat Covid-19—terbanyak kedua setelah Amerika Serikat.
Brasil mulai disorot sebagai episentrum pandemi karena kasus infeksi dan kematian yang meroket sejak Maret (Indonesia mendapat predikat serupa empat bulan kemudian). Berdasarkan temuan tim peneliti dari institut kesehatan Fiocruz, tingkat keterisian kamar tidur ICU di 15 dari 26 provinsi mencapai 90 persen atau lebih, sementara di provinsi lain 80 persen ke atas. Keadaan semakin parah dengan krisis tabung oksigen.
Fiocruz menggambarkan situasinya sebagai “kehancuran terbesar pada sistem layanan kesehatan yang pernah ada dalam sejarah Brasil.”
Sebulan kemudian, rumah sakit di Rio de Janeiro terpaksa menggunakan obat penenang, anestesi, dan pereda nyeri yang disediakan oleh pusat penyakit hewan. Meski pemakaian obat-obatan tersebut memang tidak terbatas pada binatang, tetap saja menunjukkan betapa kritisnya persediaan obat-obatan.
Sebagian kelompok mengalami dampak yang relatif lebih parah ketimbang yang lain, misalnya etnis minoritas yang termarjinalkan secara sosial dan ekonomi seperti keturunan Afrika yang populasinya sekitar 10 persen dari total penduduk. Menurut studi yang terbit di Journal of Epidemiology (2021), risiko kematian mereka akibat Covid-19 1,5 kali lebih besar.
Pun dengan suku tradisional Amazon yang populasinya tak sampai 1 persen dari total penduduk. Berdasarkan temuan Instituto Socioambiental, Covid-19 telah menewaskan lebih dari seribu orang dan memengaruhi kehidupan 163 kelompok suku. Selama puluhan tahun, komunitas suku tradisional tidak disokong oleh layanan kesehatan memadai sehingga rentan terhadap penyakit komorbid yang membuat mereka semakin berisiko gejala parah ketika terinfeksi Covid-19.
Angka kematian anak-anak juga memprihatinkan. Lembaga nonprofit Vital Strategies menemukan 2.200 korban jiwa Covid-19 di Brasil berusia di bawah 10 tahun. Lebih dari 900 di antaranya balita atau anak di bawah 5 tahun. Sebagai perbandingan, AS mencatat 113 kasus kematian balita akibat Covid-19.
Di sisi lain, program vaksinasi berjalan lamban. Sampai 20 Juli, Media negara tersebut melaporkan baru 16,22 persen populasi yang menerima dua dosis vaksin—di AS persentasenya nyaris mencapai 50 persen.
Selain itu, sebagaimana terjadi di setiap negara, ekonomi luluh lantak. Sampai kuartal pertama 2021, kekuatan ekonomi terbesar di Amerika Latin ini mencatat 14,7 persen angka pengangguran—tertinggi sejak perhitungan dilakukan 2012.
Bolsonaro Biang Kerok
Pemerintahan Bolsonaro dinilai bertanggung jawab atas segala karut-marut di atas. Menurut studi dari lembaga HAM Conectas yang bekerja sama dengan Universitas São Paulo, dirilis Januari lalu (PDF), pemerintah dianggap sengaja menghambat berbagai langkah pencegahan Covid-19. Mereka menyebut terdapat “strategi institusional untuk mengupayakan penyebaran virus yang didorong oleh pemerintah Brasil dan dipelopori oleh Kepresidenan Republik.”
Laporan ini mengungkap maraknya berbagai propaganda dengan tujuan mengerdilkan otoritas kesehatan. Menurut perhitungan Statista, Bolsonaro sendiri rutin melontarkan pernyataan bermasalah; antara berita bohong atau mendistorsi fakta-fakta tentang Covid-19. Rekor tertinggi terjadi sepanjang Maret dengan 191 pernyataan, atau kira-kira 6 pernyataan setiap hari.
Sejak awal pandemi Bolsonaro menganggap Covid-19 sebatas “flu biasa” yang isu-isunya tak lebih dari “fantasi” dan “histeria”. Soal tingginya kematian, ia mengatakan suatu hari nanti “semua orang di sini bakal mati.” Perkara vaksinasi, dia serampangan mengatakan itu bakal mengubah manusia jadi buaya. Tatkala akhirnya terinfeksi Covid-19 tahun lalu, dia sempat-sempatnya mempromosikan hidroksiklorokin sebagai obat—yang sebenarnya tidak teruji efektif.
Poin lain dalam laporan ini adalah bagaimana pusat menghalang-halangi usaha daerah dalam mengatasi pandemi. Cekcok kerap terjadi antara Bolsonaro dengan wali kota dan gubernur yang menerapkan pembatasan atau lockdown. Bolsonaro selalu berdalih pembatasan dapat menggerus pemulihan ekonomi nasional. Ketika tampil di depan massa pendukungnya, Bolsonaro bahkan menuding daerah yang pro-pembatasan sebagai “tiran”. Bolsonaro, yang terang-terangan menggemari kepemimpinan ala militer dan pernah menjabat kapten di Angkatan Darat, menjanjikan rakyat bahwa militer akan senantiasa “menjaga kebebasan dan demokrasi.”
Pada Maret, ketika sistem kesehatan semakin tertekan, Bolsonaro meminta aturan pembatasan di daerah diakhiri dan berkata, “Berhentilah merengek-rengek. Sampai kapan kalian mau menangisi [pandemi] ini?” Bolsonaro melanjutkan, “Kita menyesali kematian yang terjadi… Tapi Brasil mau dibawa ke mana kalau kita menutup semua [aktivitas]?” Pada waktu itu juga Bolsonaro mengganti Menteri Kesehatan untuk yang keempat kalinya selama pandemi. Orang yang dipilih adalah pakar jantung Marcelo Queiroga, yang dikenal sangat pro-Bolsonaro.
Akhirnya, di penghujung April, Senat memutuskan menyelidiki penanganan pandemi oleh pemerintahan Bolsonaro. Testimoni para saksi dalam sesi yang diliput televisi nasional ini menunjukkan bagaimana keputusan-keputusan politik yang diambil pemerintah telah berdampak pada gugurnya ratusan ribu korban jiwa. Misalnya, terungkap bahwa Bolsonaro tidak berminat membeli vaksin. Pertengahan 2020, pemerintah diketahui mengabaikan tawaran vaksin yang diajukan oleh Pfizer berkali-kali. Kemudian terkait lambannya respons pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tabung oksigen—yang bisa diimpor dari Venezuela—ketika krisis oksigen menghantam Manaus, kota terbesar di provinsi Amazonas.
Meskipun penyelidikan ini tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun, bukti-bukti yang terkumpul tetap dianggap penting untuk keperluan investigasi di masa mendatang, bahkan untuk bahan kampanye pemakzulan.
Seruan agar Bolsonaro dimakzulkan telah muncul di jalanan seiring penyelidikan berlangsung. Demonstrasi yang digelar akhir Mei ini diorganisir oleh partai-partai kiri, organisasi mahasiswa, dan serikat pekerja, lapor Reuters. Tampak juga sejumlah demonstran mengusung poster Lula da Silva, Presiden periode 2003-2010 dari Partai Buruh. Lula tampaknya berpeluang maju lagi tahun depan, setelah hakim baru-baru ini membatalkan vonis atas kasus korupsinya pada 2018.
Demo anti-Bolsonaro kembali terjadi pertengahan Juni lalu, ketika angka kematian akibat Covid-19 melampaui setengah juta, juga digerakkan oleh partai-partai kiri oposisi pemerintah. Para demonstran membawa poster protes bertuliskan “Bolsonaro pergi”, “500 ribu kematian”, “Genosida Bolsonaro”.
Tidak heran jika kemudian dukungan terhadap Bolsonaro dalam jajak pendapat semakin merosot. Menurut survei bulan Maret, hanya 30 persen responden yang merasa puas dengan kinerja Bolsonaro. Pada Mei, angkanya menciut jadi 24 persen—terendah sejak ia berkuasa pada 2018.
Situasi bertambah runyam pada akhir Juni, tatkala seorang perwakilan perusahaan penyuplai keperluan medis mengaku pada media Folha de São Paulo bahwa kepala logistik dari Kementerian Kesehatan Brasil, Roberto Dias, mencoba menawar pembelian 400 juta dosis vaksin AstraZeneca dengan biaya ekstra 1 dolar AS per dosis. Dias langsung dipecat pada hari berita itu keluar.
Kegaduhan tersebut muncul bersamaan dengan munculnya laporan tentang kejanggalan dalam rencana pembelian 20 juta dosis vaksin buatan India, Covaxin, senilai lebih dari 300 juta dolar AS. Dalam proses penyelidikan di Senat, staf divisi impor Kemenkes Luis Miranda mengaku menemui keanehan, yaitu ada tagihan uang muka sebesar 45 juta dolar AS yang harus dibayarkan kepada suatu perusahaan di Singapura. Ketika isu tersebut diajukan kepada Bolsonaro, ia berjanji untuk melaporkannya ke polisi—yang tak pernah menerima laporan itu.
Akhirnya, pada awal Juli, Jaksa Agung mengizinkan dibukanya investigasi kriminal terhadap Bolsonaro atas dugaan kejahatan “prevarication—menunda suatu tindakan yang merupakan kewajiban sebagai pegawai publik untuk kepentingan pribadi.” Bolsonaro menyangkal melakukan kesalahan dan bersikeras tidak ada kejanggalan, sementara pembelian Covaxin akhirnya ditangguhkan.
Masyarakat sudah terlanjur murka dengan respons pemerintah terhadap pandemi, lambannya program vaksinasi yang baru dimulai akhir Januari, dan beragam skandal yang mengiringinya. Pemerintah dipandang sudah membuang banyak waktu untuk menyelamatkan rakyat dari infeksi Covid-19.
Menurut studi yang dilakukan Pedro Hallal, dosen dari Federal University of Pelotas, 400 ribu nyawa bisa selamat apabila terdapat aturan lebih tegas tentang pembatasan jarak sosial dan program vaksinasi lebih awal. Hallal di penyelidikan Senat memperkirakan 95-145 ribu kematian terjadi karena negara tidak bertindak untuk memperoleh vaksin.
Pada 3 Juli, ribuan demonstran kembali memenuhi setiap sudut kota di penjuru Brasil untuk menuntut pemakzulan Bolsonaro dan percepatan program vaksinasi.
Beratnya Mencalonkan Diri Lagi
Selama pandemi Bolsonaro sebenarnya sempat mendulang popularitas sebentar berkat program bantuan langsung tunai yang alokasi anggarannya tidak main-main: 61,2 miliar dolar AS atau nyaris Rp900 triliun. Program ini dibuat untuk memulihkan perekonomian negara.
Anggaran ini disalurkan kepada sekitar 66 juta rumah tangga rentan. Masing-masing menerima 110 dolar AS (sekitar Rp1,5 juta) setiap sejak April 2020—meskipun nominalnya dikurangi separuh sejak September sampai diakhiri pada Desember. Program serupa dilanjutkan lagi pada April 2021 dengan nominal lebih rendah (rata-rata Rp600 ribu) yang menyasar sekitar 45 juta keluarga miskin.
Namun tingkat kemiskinan merangkak kembali seiring berakhirnya program—diperkirakan pada 2021 terus meningkat sampai 12,8 persen, lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, menurut badan pusat statistik Brasil.
Perkara ini erat kaitannya dengan langkah-langkah pencegahan Covid-19 yang dikesampingkan. “Masalah Brasil bukan karena mereka tidak punya respons finansial yang memadai, tapi justru karena hal itu tidak diiringi dengan usaha untuk betul-betul mengatasi virus,” ujar Neil Shearing, kepala ekonom di Capital Economics, London, kepada Bloomberg.
Pernyataan senada disampaikan oleh Alfredo Saad Filho dan Fernanda Feildalam dalam artikel “COVID-19 in Brasil: how Jair Bolsonaro created a calamity” (2021) di The Conversation. Meskipun Bolsonaro berkoar-koar menolak aturan ketat pembatasan semata-mata demi menyelamatkan ekonomi, hal tersebut pada akhirnya mustahil terjadi. Filho dan Feildalam menunjukkan sejumlah pengalaman negara lain—seperti Cina, Korea Selatan, dan Vietnam—yang mampu menekan angka kematian serta kontraksi perekonomian justru karena menangani pandemi dengan tegas. “Mereka yang menghindari lockdown justru memikul jumlah korban jiwa tertinggi dan guncangan-guncangan ekonomi terburuk,” tulis mereka.
Pada akhirnya, skandal korupsi vaksin yang mencuat belakangan ini sukses sudah menodai citra Bolsonaro, yang menang Pilpres 2018 berkat salah satu janji kampanye untuk memberantas praktik-praktik korup di pemerintahan. “Investigasi oleh kongres sudah betul-betul menggerus citra antikorupsi pemerintahan dan Presiden,” ujar anggota Senat di komite Covid-19, Humberto Costa, dikutip dari New York Times.
Berbagai penyelidikan terkait skandal vaksin ini dipandang bisa menggerus rencana Bolsonaro untuk kembali mencalonkan diri pada 2022 nanti, atau bahkan membuatnya dimakzulkan sebelum masa bakti selesai. Jika demikian, maka ia akan mengikuti jejak Dilma Rousseff, yang terpilih pada 2011 dan didongkel tak lama setelah memulai administrasi periode kedua karena tersandung skandal korupsi BUMN minyak Petrobas.
Editor: Rio Apinino