tirto.id - Gangster, mafia, kartel, yakuza. Kendati dikenal dengan berbagai nama, mereka punya satu kesamaan: kriminal yang ditakuti masyarakat, penegak hukum, hingga pemerintah. Beberapa dari mereka bahkan ada yang kebal hukum.
Pasukan Keamanan Nasional Meksiko pernah merasakan pahitnya buah dari penangkapan Ovidio Guzman Lopez. Dia adalah anak dari pemimpin kartel Sinaloa di Meksiko, Joaquin “El Chapo” Guzman. Ovidio ditangkap tanpa perlawanan dan tanpa pengawalan pada 17 Oktober 2019.
Mengetahui hal tersebut, kartel Sinaloa tidak tinggal diam. Bersenjatakan senjata berat khas militer, mereka membuat kerusuhan di kota Culiacan, Sinaloa. Baku tembak terjadi di seantero kota. Seorang polisi yang kabarnya ikut dalam penangkapan Ovidio turut menjadi korban: diberondong 150 peluru hingga tewas mengenaskan.
Sekian dari perang kota yang menyebabkan situasi mencekam tersebut, pemerintah Meksiko menyerah dalam arti sebenarnya: memutuskan membebaskan Ovidio. Padahal, pria yang terlibat dalam perdagangan narkotika itu sudah didakwa sejak Februari 2019. Sampai sekarang, tidak ada upaya yang berujung pada penangkapan Ovidio untuk kedua kalinya.
“Keputusan ini kami ambil untuk melindungi masyarakat. Tidak bisa melawan api dengan api,” kata Presiden Meksiko, Andre Manuel Lopez Obrador seperti dikutip Guardian. “Kami tidak menginginkan kematian, kami tidak ingin perang.”
Memang sulit untuk tidak mengasosiasikan kata gangster sebagai sebuah kejahatan. Hanya saja, terkadang gangster punya citra lebih baik daripada pemerintah di mata masyarakat. Sebagaimana yang terjadi di Brazil, tepatnya di Kota Tuhan, Rio de Janeiro, ketika situasi pandemi Corona (Covid-19) tengah melanda seperti sekarang.
Kebijakan Ekstrem Bolsonaro
Rio ditempati oleh tiga gangster kelas kakap. Pertama adalah Comando Vermelho (CV) yang muncul sejak akhir 1970-an atau 1979. Mereka menguasai daerah-daerah besar, termasuk perumahan Zona Norte.
Grup kedua adalah Terceiro Comando Puro (TCP) yang menguasai perkampungan Mare dan Azari. TCP adalah saingan terbesar dari CV yang berdiri tahun 2002. Mereka bahkan saling ancam melalui media sosial sebelum saling adu tembak memperebutkan wilayah.
Selain dua itu, ada pula Adios dos Amigos atau ADA yang dibentuk oleh Celso Luis Rodrigues setelah berpisah dengan CV. Luis diusir keluar dari CV karena telah membunuh anggota lainnya. Salah satu peristiwa yang membuat nama ADA mencuat adalah keberaniannya menembaki helikopter polisi sampai menghantam tanah. Pilotnya tewas seketika.
Dunia pergangsteran di Brazil mulai berubah sejak Jair Bolsonaro memenangkan pemilu presiden tahun 2018 dan menempati jabatan tersebut tahun 2019. Sejak itu, ia memilih perang dengan seluruh gangster di Brazil, tak terkecuali di Rio. Sikap ini, nantinya, secara ironis justru menimbulkan teror baru bagi masyarakat.
Medio Januari 2019, tak genap sebulan Bolsonaro menjabat, dia menandatangani Dekrit Presiden yang intinya mempermudah warga negara Brazil untuk memiliki dan menggunakan senjata api. Awalnya, pemerintah hanya memperbolehkan 50 senjata laras pendek per tahun untuk diperjualbelikan pada masyarakat. Dengan aturan baru, maka setiap tahun ada 5.000 senjata yang boleh dijual bebas, ditambah 1.000 senjata laras panjang.
Sebelumnya, polisi juga punya diskresi guna menentukan siapa saja yang boleh memakai senjata. Dekrit Bolsonaro menganulir kewenangan itu. Mereka yang berada di pinggiran kota, punya persentasi pembunuhan lebih dari 10 banding 100 ribu jiwa boleh memiliki senjata maksimal empat buah. Pemburu dan kolektor senjata juga masuk dalam kategori mempunyai izin membeli senjata.
“Untuk menjamin hak warga negara membela diri, saya, selaku presiden akan menggunakan senjata ini,” kata Bolsonaro sambil bersiap menandatangani Dekrit Presiden seperti dilansir Reuters.
Apa yang terjadi? Perang antara polisi dan gangster semakin intens. Di mana-mana, wabilkhusus Rio, terjadi baku tembak. Sebelumnya, gangster mendapatkan senjata laras panjang melalui selundupan. Dengan kebijakan ini, tentunya peluang mereka menambah senjata juga kian lebar.
Pengakuan salah seorang anggota gangster di Rio, seperti dilansir Sky News, menunjukkan bahwa perang antara gangster dengan polisi tidak akan tuntas karena korupsi juga belum diberantas oleh pemerintah Brazil. Perang ini justru merugikan masyarakat sipil yang terdampak.
Bolsonaro sendiri terus memberikan lampu hijau bagi polisi untuk melakukan tembak mati dalam perang terhadap gangster. Kekuasaan ini digunakan berlebihan oleh kepolisian. Bukan hanya gangster yang melawan, tetapi mereka yang sudah menyerah juga tetap akan mendapat timah panas.
Dalam sebuah operasi, polisi Brazil menumpangi helikopter dan menembaki delapan terduga pelaku yang terlibat dalam perang antar gang di Rio. Delapan orang meninggal dunia dalam operasi tersebut, empat di antaranya bahkan sudah tersudut sampai ke rumah. Dua di antara mereka sempat menyerah, tapi polisi menolak.
“Perintah kami adalah untuk membunuh,” catat Reuters seperti pengakuan seorang saksi. Dua orang lain ditemukan di atas. Mereka juga ditembak polisi tanpa ampun.
Salah satu peristiwa yang cukup membuat syok masyarakat Brazil adalah meninggalnya bocah usia delapan tahun, Ágatha Félix, padaSeptember 2019. Bocah kecil yang tinggal di perkampungan kumuh Rio itu tewas dengan luka tembakan di punggungnya.
Agatha jelas bukan anggota gangster. Saat kejadian, dia tengah berjalan kaki dengan ibunya dan satu sepeda motor tiba-tiba melintas. Polisi lantas menembakkan senjata pada dua orang yang berboncengan tanpa kehati-hatian sehingga peluru mengenai Agatha.
Kakek Agatha, Ailton Félix mengatakan tanpa ragu, peluru itu berasal dari polisi. Dan saat itu, tidak ada kontak senjata. Dua orang terduga anggota gangster yang mengendarai motor itu tidak menembakan apapun.
“Ibunya (Agatha) di sana dan tidak ada konfrontasi apapun… Mereka [polisi] menembak sebuah mobil dan membunuh cucu saya. Itu saja. Apa ini konfrontasi? Apa cucu saya bersenjata dan bisa ditembak? Dia hanya rajin belajar, dia tidak tinggal di jalanan,” kata Ailton seperti dikutip Guardian.
Bukannya mendapat simpati karena memberantas ganster, polisi dan pemerintah justru dirundung kritik. Musuh masyarakat kini bukan hanya gangster saja, tapi juga polisi. Politikus Brazil, Guilherme Boulos, kemudian mencuitkan bahwa biang perkara ini adalah kebijakan menembak mati Bolsonaro yang juga didukung oleh Gubernur Rio, Wilson Witzel. Tercatat dari Januari-Agustus 2019, polisi telah menembak mati 1.249 orang, 16 persen lebih banyak daripada tahun lalu.
“Dia (Wilson) bertanggung jawab untuk pembunuhan ini,” cuit Boulos.
Inisiatif Mengadang Corona
Kepemimpinan Bolsonaro yang kacau juga tampak saat pandemi Corona (Covid-19). Ketika jumlah penderita Corona mencapai angka ribuan di Brazil, Bolsonaro masih saja menganggap remeh virus tersebut dengan mendeskripsikannya sebagai flu biasa. Secara pongah ia juga menyebut, jika Corona menjangkiti dirinya, maka dia hanya akan sakit ringan karena punya rekam jejak sebagai atlet di masa muda.
Ketika gubernur di beberapa provinsi Brazil memutuskan agar melakukan pembatasan sosial secara fisik (physical distancing), Bolsonaro justru menuding tindakan itu membuat warga miskin dan kehilangan pekerjaan. Dia justru menyindir dan menyepelekan ajakan untuk pembatasan sosial, bahkan sampai sekarang.
Berbeda dengan Bolsonaro, Witzel tetap melarang warganya untuk pergi ke pantai, terutama Copacabana, spot paling ramai seantero negara tersebut, yang diwanti-wanti oleh Kementerian Kesehatan Brazil sendiri. Namun,apa yang terjadi? Bolsonaro justru mengkonfrontasi Wilson.
“Melarang orang-orang pergi ke pantai? Ya Tuhan! Pantai itu kawasan outdoor. Tidak ada masalah apapun pergi ke sana. Apa yang dia pikirkan?” kata Bolsonaro seperti dilansir Guardian.
Merasa Bolsonaro tidak melakukan apa-apa dalam mengatasi Corona, gangster di Rio akhirnya berinisiatif mengambil tindakan yang lebih bermanfaat bagi rakyat: melarang mereka keluar rumah selama pandemi berlangsung. Maklum saja, situasi pandemi ini juga merugikan pihak gangster karena perdagangan narkotika jadi terhenti sementara.
Di Meksiko, narkotika sudah mengalami peningkatan harga karena China, yang menjadi distributor bahan baku pembuatannya terdampak pandemi Corona. Gangster Brazil yang mungkin tak mau mengalami kerugian yang serupa kemudian turun ke jalan ramai-ramai mengimbau warga agar tidak terpapar Corona.
“Kami memberlakukan jam malam karena tidak ada yang menanggapi ini (pandemi) dengan serius,” bunyi pesan yang dikirimkan gangster Rio seperti dilansir Reuters. “Siapapun yang berjalan-jalan seenaknya akan menerima tindakan korektif dan dijadikan contoh. Lebih baik di rumah tidak melakukan apa-apa.”
Tindakan sporadis ini memang tidak berlaku di seantero Rio, pun dengan standar operasional prosedur yang sama. Di kawasan Morro dos Prazeres, misalnya, gangster menerapkan pembatasan keluar rumah mulai pukul 20.30. Sedangkan di kawasan Santa Marta, gangster membagi-bagikan sabun dan memasang tanda imbauan untuk mencuci tangan. Di kawasan Mare, gangster membatasi toko untuk beraktivitas. Hanya toko roti saja yang buka sampai jam 11 malam.
“Tidak ada yang mau keluar rumah. Pertama karena takut terpapar Corona dan sekarang ada perintah (dari gangster),” kata seorang warga di Mare.
Ketika warga mematuhi gangster, Bolsonaro yang terkesan lalai dalam penanganan Corona justru mendapat kritikan, terutama dari politisi sayap kiri Brazil. Dalam salah satu dokumen yang didapat Guardian, banyak politikus yang menuntut Bolsonaro untuk mundur dari jabatannya.
Dalam kondisi seperti sekarang, kepemimpinan Bolsonaro yang otoriter tidak bisa diharapkan. Setidaknya, gangster lebih mendapat apresiasi daripada Bolsonaro. “Bolsonaro lebih dari masalah politik – dia sudah menjadi masalah kesehatan sekarang… Dia harus mundur,” catat dokumen itu.
Editor: Eddward S Kennedy