tirto.id - “Dia harapan Brazil! Cahaya di ujung lorong! Cakrawala baru!” kata Fernando Viera sebagaimana dilaporkan Tom Phillips dari Guardian.
Viera tidak sendirian. Ratusan orang turut heboh menyambut kedatangan Jair Bolsonaro di Bandara Amazon, Roraima, April 2018. Pengawal Bolsonaro kerepotan mengamankan sang calon presiden dari Partai Sosial Liberal (PSL). Situasi serupa terjadi di tiap politisi berusia 63 tahun itu mendatangi lokasi kampanye.
Enam bulan berselang hasilnya di luar dugaan: Bolsonaro benar-benar memenangkan Pemilihan Presiden Brazil 2018 putaran pertama. Mengutip CNN World, Bolsonaro meraup suara 46 persen. Di urutan kedua ada Fernando Haddad dari Partai Buruh (PT) dengan 29 persen.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan hasil ini mengingat kontroversi yang digulirkan Bolsonaro, terutama yang keluar dari mulutnya, sejak awal kampanye. Sebagai figur politisi sayap kanan, reputasi Bolsonaro sudah terbangun sejak terjun ke dunia politik di era 1980-an.
Jair Bolsonaro lahir pada 21 Maret 1955 di Glicero, Sao Paulo, Brazil bagian tenggara. Ia keturunan pendatang asal Italia dan Jerman. Menurut Bolsonaro sendiri, kakek buyutnya adalah tentara Nazi Jerman. Katanya si kakek buyut terpaksa masuk militer, sebab jika tidak ia akan dibunuh.
Bolsonaro masuk Angkatan Darat Brazil usai menamatkan sekolah menengah atas. Di lembaga ini pendirian sayap-kanannya mulai terbentuk. Sikapnya ambisius dan agresif. Ia pernah menulis secara kritis soal gaji tentara. Akibatnya ia dipenjara selama 15 hari. Namun, sejak saat itu ia meraih popularitas.
Popularitas itu ia gunakan dengan baik untuk maju sebagai anggota dewan kota Rio de Janeiro untuk Partai Demokrat Kristen pada pemilihan tahun 1988—dan berhasil.
Pada 1990, ia terpilih sebagai anggota kongres federal dari partai yang sama. Ia terus memenangkan pemilihan-pemilihan setelahnya, bersama partai yang berbeda-beda, dan memegang jabatan yang sama hingga 2014.
Selama 26 tahun bekerja di Kongres Nasional Brazil, Bolsonaro mantap berdiri di jalur konservatif. Ia mendukung kebijakan ekonomi pro-pasar dan pendalaman nilai-nilai kekeluargaan sesuai ajaran Kristen Evangelis.
Walhasil, ia mewakili oposisi paling kuat terhadap kebijakan-kebijakan yang dipromosikan politisi tengah dan kiri, dari sosialis hingga liberal. Ia menentang legalisasi pernikahan sesama jenis. Kebenciannya pada kaum gay mendarah daging, sampai-sampai mengklaim bahwa ia tak sudi punya anak gay. Ia bahkan secara serampangan pernah mengaitkan gay dengan pedofilia.
Bolsonaro memang punya mulut yang kerap melahirkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Itu sebabnya, di luar kesamaan platform politik, ia dijuluki sebagai “Donald Trump-nya Brazil” atau “Donald Trump-nya Negara Tropis”.
Trump dan jajaran administrasinya di Partai Republikan termasuk golongan pembela kepemilikan senjata api. Sama halnya dengan Bolsonaro. Saat berkampanye, beberapa kali ia berjanji akan melonggarkan aturan kepemilikan senjata api di Brazil.
Glenn Greenwald dan Andrew Fishman, dua jurnalis The Intercept, secara terang-terangan menyebut Bolsonaro sebagai “pejabat negara paling migoninis dan penuh kebencian di dunia yang demokratis”. Ia dinilai tidak punya rasa hormat kepada kaum perempuan.
Bagi Bolsonaro, laki-laki dan perempuan tidak seharusnya menerima gaji yang sama sebab perempuan bisa hamil. Dan aturan cuti hamil yang berbayar, menurutnya, bisa berpengaruh terhadap produktivitas kerja.
Layaknya politikus konservatif di berbagai belahan dunia, Bolsonaro anti-aborsi. Ia tidak setuju dengan kebijakan pro-minoritas atau korban diskriminasi yang berbasis “affirmative action. Ia menentang reforma agraria. Ia juga sebal dengan yang namanya “political correctness” (kepatutan politis), yang dianggapnya sebagai mainan orang-orang sayap kiri.
Menimbang banyaknya atribusi negatif yang melekat pada Bolsanaro, mengapa ia begitu populer hingga hampir menjadi orang nomor satu di Brazil?
Sejak satu dekade belakangan Brazil sedang mengalami krisis ekonomi. Ada banyak elite Partai Buruh yang berkuasa terjerat skandal korupsi. Rakyat Brazil muak. Salah satu efeknya adalah kekalahan Haddad di pemilihan putaran pertama, yang secara mengejutkan meraup persentase suara jauh lebih kecil ketimbang perkiraan para analis.
Memanfaatkan situasi ini, Bolsonaro bersalin diri sebagai politisi di luar lingkaran rezim penguasa yang berjanji memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya jika terpilih nanti. Berbeda dengan hampir separuh anggota kongres yang terjerat kasus korupsi, Bolsonaro tergolong bersih dari tuduhan tersebut.
Dilma Rouseff mengundurkan diri dari jabatan presiden Brazil usai menghadapi pemakzulan pada Agustus 2016. Namun penggantinya, Michel Temer, membuat situasi di Brazil kian memburuk. Jalanan dipenuhi orang-orang yang menggelar demonstrasi menuntut perbaikan nasib. Mereka juga menuntut Temer mundur. Namun, politikus Partai Gerakan Demokrasi Brazil (MDB) itu menolak.
Akibat krisis berkepanjangan tersebut, kasus kriminalitas (terutama pembunuhan) terus meningkat. Rasa keamanan warga benar-benar terusik. Angka pengangguran pun meroket. Mereka menginginkan pemimpin yang bisa mengatasi dua masalah pokok tersebut.
Bolsonaro pun masuk gelanggang dan mengisi harapan warga dengan janji ketegasan dan penegakan hukum. Rupanya, kampanye ini sangat efektif.
Kembali ke laporan Tom Phillips dari Guardian, beberapa warga yang diwawancarai benar-benar yakin jika Bolsanaro akan memberantas kriminalitas dengan tangan besi.
Retorita Bolsonaro cukup meyakinkan. Mengutip BBC News, jika terpilih, ia akan kembali memberlakukan hukuman mati. Di Twitter ia menulis “kita mesti keras dalam penegakan hukum agar para kriminal paham bahwa mereka tidak akan menikmati impunitas.”
Sekilas Bolsonaro tidak hanya mirip Trump, tapi juga Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Duterte menerjemahkan slogan “tough on crime” sebagai lisensi untuk membantai para pecandu dan pengedar narkoba. Korbannya sudah ribuan sejak ia menjabat pada Juni 2016. Mengerikan, tapi ia mendapat dukungan dari warga Filipina yang sudah bosan dirundung kriminalitas akibat narkoba.
Faktor pertama yang membuat kampanye “tough on crime” Bolsonaro sukses, sekaligus yang tak dimiliki Haddad, adalah latar belakang militer. Warga Brazil masih berpikir sederhana: mantan prajurit lebih bisa diandalkan untuk soal ketegasan saat menjadi pemimpin.
Faktor kedua, Bolsonaro punya cita-cita kontroversial: ia ingin mengembalikan Brazil ke era diktator militer sepanjang 1 April 1964 hingga 15 Maret 1985 yang dipimpin oleh Presiden Joao Goulart.
Arsip New York Times menyebutkan Bolsonaro terang-terangan bilang “aku mendukung sistem pemerintah kediktatoran”. Bolsonaro menjadikan era otoritarianisme di Brazil sebagai contoh dari bagaimana seharusnya negara menegakkan hukum untuk menekan angka kriminalitas.
Analis politik mengkhawatirkan masa depan Brazil, selaku negara demokrasi terbesar di Amerika Selatan, jika Bolsonaro menang di putaran kedua. Lainnya berpendapat bahwa Bolsonaro adalah produk gelombang kemunculan tokoh-tokoh ultra-nasionalis sekaligus populis, mulai dari AS, Filipina, hingga negara-negara di Eropa.
Satu hal yang pasti: pilpres telah membelah rakyat Brazil. Fanatisme pendukung sampai melahirkan kasus penusukan Bolosonaro pada September lalu. Sebuah kasus yang ironisnya membuat elektabilitas Bolsonaro naik tajam dan membantunya memenangi pilpres putaran pertama.
Bolsonaro dan Haddad akan bertarung di pilpres putaran kedua pada 28 Oktober 2018. Setengah bulan ke depan akan menjadi masa di mana rakyat Brazil makin terpolarisasi dan mengalami konfrontasi yang kian menajam.
Editor: Windu Jusuf