Menuju konten utama

Israel Klaim Bunuh Penerus Pemimpin HIzbullah, Hashem Safieddine

Israel mengeklaim membunuh pemimpin lain di kelompok Hizbullah dan mengajak warga Lebanon merebut negara mereka dari tangan Hizbullah.

Israel Klaim Bunuh Penerus Pemimpin HIzbullah, Hashem Safieddine
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyah di Dewan Uni Eropa di Brussels, Belgia, Senin (11/12/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/Francois Lenoir

tirto.id - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengeklaim bahwa mereka telah menewaskan calon penerus pemimpin Hizbullah, Sayeed Hassan Nasrallah, meski tidak menyebut nama yang dimaksud.

“Kami telah menurunkan kemampuan Hizbullah. Kami telah membunuh ribuan teroris, termasuk pemimpin Hizbullah, Sayyed Hassan Nasrallah, dan penggantinya, Hashem Safieddine – dan para pengganti lainnya,” kata Netanyahu dalam sebuah pidato kepada warga Lebanon, Selasa (8/10/2024) sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (9/10/2024).

Netanyahu menyebut Hizbullah yang didukung Iran saat ini lebih lemah daripada sebelumnya usai Israel membunuh Nasrallah. Dalam pidato tersebut, Netanyahu mengajak rakyat Lebanon merebut negara tersebut dari Hizbullah dan mengembalikan negara tersebut ke masa ketenangan.

Di sisi lain, Hizbullah memukul mundur pasukan Israel pada Selasa (8/10/2024) setelah menyeberang ke Lebanon di dekat pos penjaga perdamaian PBB (United Nations Interim Force in Lebanon atau UNIFIL). Aksi ini juga berkaitan pengumuman Israel bahwa mereka akan melakukan serangan darat pada pekan lalu.

Berdasarkan keterangan yang dikutip dari VOA Indonesia, pejuang Hizbullah menembaki pasukan Israel yang menyusup dari belakang posisi pasukan internasional di Labboune, sebuah desa yang dekat pantai. Kelompok Hizbullah telah memaksa pasukan musuh untuk mundur ke garis perbatasan.

Aksi Israel mendekati lokasi operasi UNIFIL sempat disampaikan oleh Juru Bicara Militer Israel, Nadav Shoshani, mengatakan bahwa mereka meminta UNIFIL tidak terlibat dalam kontak Israel dengan Hizbullah.

“Kami sedang melakukan pembicaraan dan kontak dengan UNIFIL untuk memastikan mereka tidak berada di garis tembak antara Hizbullah dan kami," kata Nadav.

Hizbullah sendiri telah memerintahkan pejuang mereka untuk tidak menyerang pasukan Israel yang berada dekat posisi UNIFIL di dekat perbatasan Maroun al-Ras.

Sementara itu, UNIFIL, pada Minggu (6/10/2024), telah memperingatkan Israel bahwa operasi mereka di dekat posisi Maroun al-Ras berbahaya dan membahayakan keselamatan mereka. Sehari sebelumnya, UNIFIL menegaskan tidak akan berpindah meski Israel meminta mereka pindah.

Israel telah meningkatkan operasi militernya terhadap Hizbullah sejak 23 September lalu, menewaskan lebih dari 1.150 orang dan memaksa lebih dari satu juta orang meninggalkan rumah mereka, menurut angka resmi. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701, yang mengakhiri perang tahun 2006 antara Israel dan Hizbullah, menetapkan bahwa hanya tentara Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB yang boleh dikerahkan di antara perbatasan Israel dan Sungai Litani.

Kondisi Lebanon sendiri semakin memprihatinkan. Saat ini, Lebanon mengalami krisis kemanusiaan dan pemerintahan mereka mengalami kebangkrutan sejak 2020. Bantuan internasional pun dinilai belum mampu memperbaiki situasi negara tersebut.

Kini, desa-desa di dekat perbatasan Lebanon selatan berubah menjadi kota hantu dalam setahun terakhir. Setidaknya 200 warga Kafr Sin di Nabatieh, daerah sisi selatan Lebanon, menjadi tempat tinggal 500 pengungsi.

Salah satu warga Lebanon selatan yang sempat menjadi pengungsi di Kafr Sin, Fatima Rammal, mengaku mengungsi bersama keluarganya ke Nabatieh. Mereka berharap bisa kembali ke rumahnya.

“Saat pertama kali datang ke sini kami masih yakin bahwa kami akan dapat kembali ke rumah dalam 1-2 bulan ke depan. Tetapi kini sudah menginjak bulan ke-12, dan kehidupan sulit. Kami sangat rindu rumah dan ingin segera kembali,” sebutnya.

Keluarga pengungsi lainnya, seperti keluarga Mahmoud Mowassi, mencari perlindungan di sekolah-sekolah yang telah diubah oleh pemerintah Lebanon menjadi pusat penerimaan pengungsi, seperti yang ada di kota Tyre di bagian selatan. Rumah mereka di kota perbatasan Aitaroun hancur akibat serangan udara Israel. Mahmoud mengatakan masa depan mereka suram.

“Kami mendapat paket pangan, tetapi tidak ada bantuan keuangan dari pemerintah. Kami merasa diabaikan. Saat perang tahun 2006, kehadiran negara lebih terasa,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait KONFLIK TIMUR TENGAH atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz