tirto.id - Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula merupakan karya sastra tembang macapat karangan KGPAA Mangkunegara IV. Serat ini hanya memiliki satu pupuh yakni Dhandanggula yang terdiri dari 7 bait.
Isi Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula adalah ajaran nilai-nilai luhur dari tiga tokoh pewayangan meliputi Patih Suwanda, Raden Kumbakarna, dan Adipati Karna.
Patih Suwanda melambangkan karakter setia kepada perintah serta rela berkorban jiwa dan raga. Raden Kumbakarna berkarakter pembela kehormatan serta cinta tanah air dan bangsa. Sementara itu, Adipati Karna menggambarkan sifat seseorang yang sadar diri untuk membalas budi.
Siapa Pembuat Serat Tripama?
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV adalah pembuat Serat Tripama. Sebenarnya tidak hanya Tripama, banyak serat-serat terkenal lain yang dihasilkan dari buah pikir KGPAA Mangkunegara IV seperti Serat Wedhatama dan Darmawasita.
KGPAA Mangkunegara IV merupakan putra ketujuh dari Pangeran Hadiwijaya I dan Bandara Raden Ajeng Sekeli, putri Mangkunegara II. Ia lahir di Surakarta pada 1 Safar Jumakir 1736 Jawa (1809 masehi). Nama kecilnya adalah Raden Mas Sudira.
Semenjak berusia belia, KGPAA Mangkunegara IV diyakini memiliki "kelebihan", yang kemudian membuatnya dijuluki pujangga linuwih. Ia pernah dapat diangkat menjadi prajurit Legiun Mangkunegaran. Berkat jasa-jasanya, KGPAA Mangkunegara IV mendapatkan banyak tanda jasa dan bintang kehormatan.
Tidak hanya itu, pangkat KGPAA Mangkunegara IV juga menanjak naik. Beliau pernah menjadi ajudan sekaligus Mahapatih urusan ndalem Praja Mangkunegaran. Selanjutnya, oleh Sri Mangkunegara III, KGPAA Mangkunegara IV dianugerahi nama KPH Gondokusumo.
KGPAA Mangkunegara IV mulai menjabat sebagai raja setelah ayahnya mangkat. Tugas kepala pemerintahan di tangannya dimulai sejak 16 Agustus 1857. Dalam kepemimpinan, KGPAA Mangkunegara IV dikenal sebagai seorang seniman dan filsuf yang penuh inisiatif serta daya cipta.
Isi Serat Tripama Dhandhanggula dan Terjemahannya
Sigit Nugroho dalam jurnal Nilai-Nilai Budi Pekerti Dalam Serat Tripama Karya Mangkunegara IV Sebagai Sarana Pendidikan Karakter (2020), menerjemahkan 7 bait isi Serat Tripama Dhandhanggula dalam tabel sebagai berikut:
No. | Transliterasi | No. | Terjemahan |
1. | Yogyanira kang para prajurit/ lamun bisa sira anulada/ duk ing nguni caritane/ andelira sang Prabu/ Sasrabau ing Maespati/ aran Patih Suwanda/ lalabuhanipun/ kang ginelung tri prakara/ guna kaya purune kang den antepi/ nuhoni trah utama// | 1. | Sebaiknya bagi para prajurit, sedapat mungkin kamu meniru, seperti cerita masa lalu, (tentang) andalan sang Prabu, Sasrabau di Maespati, bernama Patih Suwanda, (atas) jasa-jasa pengabdiannya, yang dipadukan dalam tiga hal, (yakni) kepandaian penghasilan dan keberanian (itulah) yang ditekuninya, menepati sifat keturunan (orang) utama// |
2. | Lire lalabuhan tri prakawis/ guna bisa saneskareng karya/ binudi dadya unggule/ kaya sayektinipun/ duk bantu prang Manggada nagri/ amboyong putri dhomas/ katur ratunipun/ purune sampun tetela/ aprang tandhing lan ditya Ngalengka nagri/ Suwanda mati ngrana// | 2. | Arti jasa bakti yang tiga macam itu, Pandai mampu di dalam segala pekerjaan, Diusahakan memenangkannya, penghasilan sesungguhnya, waktu membantu perang negeri Manggada, memboyong delapan ratus orang puteri, dipersembahkan kepada rajanya, (tentang) keberaniannya sudahlah jelas, Perang tanding melawan raja raksasa Ngalengka, (Patih) Suwanda gugur dalam perang// |
3. | Wonten malih tuladan prayogi/ satriya gung nagri ing Ngalengka/ sang Kumbakarna arane/ tur iku warna diyu/ suprandene gayuh utami/ duk wiwit prang Ngalengka/ dennya darbe atur/ mring raka amrih raharja/ Dasamuka tan keguh ing atur yekti/ dene mungsuh wanara/ | 3. | Ada lagi teladan yang baik, Satria besar negeri Ngalengka, Sang Kumbakarna namanya, padahal (ia) berwujud raksasa, namun begitu (ia) berusaha meraih keutamaan, sejak mulai perang Ngalengka (melawan Sri Ramawijaya), ia memiliki pendapat, kepada kakandanya supaya tenteram, (tetapi) Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapat baik, Karena hanya melawan kera// |
4. | Kumbakarna kinon mengsah jurit/ mring kang raka sira tan lenggana/ nglungguhi kasatriyane/ ing tekad tan asurud/ among cipta labuh nagari/ lan nolih yayah rena/ myang luluhuripun/ wus mukti aneng Ngalengka/ mangke arsa rinusak ing bala kapi/ punagi mati ngrana// | 4. | Kumbakaran diperintah maju perang, Oleh kakandanya ia tidak menolak, Menepati (hakekat) kesatriaannya, (sebenarnya) dalam tekadnya (ia) tidak surut, hanya untuk membela negara, serta mengingat ayah-bundanya, dan para leluhurnya, telah hidup nikmat di negeri Ngalengka, sekarang akan dirusak oleh barisan kera, (kumbakarna) bersumpah mati dalam perang// |
5. | Wonten malih kinarya palupi/ suryaputra nerpati awongga/ lan pandhawa tur kadange/ len yayah tunggil ibu/ suwita mring Sri Kurupati/ aneng nagri Ngastina/ kinarya gul-agul/ manggala golonganing prang/ Bratayuda ingadegken senapati/ ngalaga ing kurawa// | 5. | Ada lagi untuk dijadikan teladan, Suryaputera raja Ngawangga, Dengan Pandawa (ia) adalah saudaranya, Berlainan ayah tunggal ibu, (ia) mengabdi kepada Sri Kurupati, Dijadikan andalan, Panglima di dalam perang Bratayuda, (ia) diangkat menjadi senapati, Perang di pihak Korawa// |
6. | Den mungsuhken kadange pribadi/ aprang tandhing lan sang Dananjaya/ Sri Karna suka manahe/ de sarira pikantuk/ marga dennya arsa males sih/ ira sang Duryudana/ marmanta kalangkung/ dennya ngetog kasudiran/ aprang rame karna mati jinemparing/ sumbaga wirotama// | 6. | Dihadapkan dengan saudaranya sendiri, perang tanding melawan Dananjaya, Sri Karna suka hatinya, karena (dengan demikian) ia memperoleh jalan untuk membalas cinta kasih, Sang Duryudana, maka ia dengan bangga, Mencurahkan segala keberaniannya, berperang seru Karna mati dipanah (musuhnya), (akhirnya ia) mashur sebagai perwira utama. |
7. | Katri mangka sudarsaneng Jawi/ pantes sagung kang para prawira/ amirita sakadare/ ing lalabuhanipun/ haywa kongsi buwang palupi/ menawa tibeng nistha/ ina esthinipun/ sanadyan tekading buda/ tan prabeda budi panduming dumadi/ marsudi ing kotaman// | 7. | Ketiga (pahlawan tersebut) sebagai teladan orang Jawa, sepantasnyalah semua para perwira, mengambilnya sebagai teladan seperlunya, (yakni) mengenai jasa-bakti-nya, Janganlah sampai membuang teladan, Kalau-kalau jatuh dalam hina, Rendah cita-citanya, Meskipun tekad besar, Tidaklah berbeda usaha menurut takdirnya (sebagai) makhluk, Berusaha meraih keutamaan// |
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin