tirto.id - Isi pasal 324 sampai 327 KUHP mengatur tentang unsur-unsur dan sanksi pidana untuk pelaku pidana perdagangan orang.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP merupakan induk peraturan yang mengatur urusan pidana positif di Indonesia.
KUHP juga merupakan landasan bagi penegakan hukum pidana untuk bisa mengadili perkara-perkara pidana demi melindungi kepentingan dan ketertiban umum.
Di dalam KUHP terdapat peraturan-peraturan mengenai tindak pidana yang dapat berdampak buruk terhadap ketentraman, keamanan, kesejahteraan, dan ketertiban masyarakat umum.
Sistem penegakan hukum pidana merupakan bentuk upaya terakhir atau ultimum remedium terhadap penyelesaian perkara. Hal ini membuat segala sanksi yang terdapat dalam hukum pidana bersifat memaksa.
Pada awalnya, induk peraturan hukum pidana yang berlaku pada zaman kolonial Belanda adalah Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang dibuat pada 15 Oktober 1915 dan diresmikan pada 1 Januari 1918. Di dalam WvSNI masih terdapat beberapa unsur kolonialisme seperti peraturan kerja rodi dan pembayaran denda dengan mata uang gulden.
Pasca kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, WvSNI diubah menjadi KUHP pada tanggal 26 Februari 1946 melalui UU No.1 Tahun 1946 yang juga menghapuskan unsur-unsur kolonial yang terdapat dalam WvSNI.
KUHP sendiri terdiri dari 3 buku. Buku 1 berisi tentang Aturan Umum (Pasal 1-103), Buku 2 berisi tentang Kejahatan (Pasal 104-488), dan Buku 3 berisi tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Isi Pasal 324-327 KUHP Tentang Perdagangan Orang
Pasal 324-327 KUHP masuk ke dalam Buku 2 tentang Kejahatan dan masuk ke dalam Bab XVIII tentang Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang.
Pasal tersebut berisi tentang definisi, unsur, dan sanksi perihal tindakan kejahatan yang berkaitan tentang perdagangan orang atau manusia. Berikut adalah isi pasal 324-327 tentang perdagangan orang.
Pasal 324
Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 325
(1) Barangsiapa sebagai nahkoda bekerja atau bertugas di kapal, sedang diketahuinya bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan perniagaan budak, atau dipakai kapal itu untuk perniagaan budak, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Bilamana pengangkutan itu mengakibatkan kematian seorang budak atau lebih, maka nahkoda diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 326
Barangsiapa bekerja sebagai awak kapal di sebuah kapal, sedang diketahuinya bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan atau keperluan perniagaan budak, atau dengan sukarela tetap bertugas setelah mendengar bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan atau keperluan perniagaan budak, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 327
Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain, secara langsung atau tidak langsung bekerja sama untuk menyewakan, mengangkutkan atau mengasuransikan sebuah kapal, sedang diketahuinya bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan perniagaan budak, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
Menurut Yudanto (2021) dalam skripsi berjudul "Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang", individu yang rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang antara lain:
1. Orang miskin;
2. Orang dengan pola hidup konsumtif;
3. Orang yang tidak mempunyai keterampilan;
4. Orang yang berpendidikan rendah;
5. Orang yang buta aksara;
6. Orang yang memimpikan gaji tinggi dengan bekerja di luar daerah atau negeri tanpa informasi yang jelas;
7. Korban kekerasan dalam rumah tangga;
8. Orang yang kehilangan anggota keluarga;
9. Korban konflik;
10. Korban bencana; dan
11. Pengangguran.
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Yulaika Ramadhani