tirto.id - Indonesian Parliamentary Center (IPC) menilai enam poin keputusan DPR atas pemenuhan 17+8 Tuntutan Rakyat masih belum memenuhi harapan. Respons DPR itu dikeluarkan DPR dinilai hanya strategi meredam kemarahan publik ketimbang komitmen nyata terhadap transparansi.
Peneliti IPC Arif Adiputro, menyoroti bahwa tunjangan reses dan kunjungan daerah pemilihan (dapil) masih belum dipublikasikan secara transparan. Padahal, menurutnya, DPR sudah seharusnya melaporkan secara berkala aktivitas mereka di dapil serta penggunaan anggaran tersebut ke publik.
“Sehingga DPR perlu melaporkan secara berkala kepada publik, ngapain saja mereka ke dapil dan reses serta uangnya untuk kebutuhan apa saja. Nah saya rasa dalam tuntutan 17+8 belum sepenuhnya dilakukan, ini sebenarnya hanya strategi DPR untuk meredam amarah warga,” kata Arif Adiputro saat dihubungi Tirto, Sabtu (6/9/2025).
Arif juga menyoroti lambannya proses legislasi terhadap sejumlah RUU penting di legislatif seperti RUU Perampasan Aset, RUU Keadilan Iklim, dan RUU Masyarakat Adat. Ketiadaan pembahasan terhadap RUU tersebut memperlihatkan DPR belum menjalankan fungsi legislasi secara serius.
“RUU Perampasan Aset, RUU Keadilan Iklim, RUU Masyarakat Adat belum dimulai proses pembahasannya artinya DPR belum serius menjalankan fungsi legislasinya jangan sampai membuat produk UU yang kontroversial lagi tanpa proses partisipasi dan transparansi,” ujarnya.
Selain itu, Arif mewakili IPC juga menyoroti adanya perubahan sejumlah komponen tunjangan DPR. Tunjangan komunikasi naik dari Rp15 juta menjadi Rp20 juta, tunjangan kehormatan dari Rp5 juta menjadi RP7 juta, dan tunjangan pengawasan dari Rp3 juta menjadi Rp4,8 juta.
“Lantas apanya yang dipangkas? ini kan semua manipulasi budget. Oke tunjangan rumah dihapus tapi semua di distribusikan ke tunjangan lainnya agar tidak terlihat oleh publik,” tegas Arif.
Sebelumnya, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung DPR pada Jumat malam, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan, hasil keputusan rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi DPR RI yang dilaksanakan pada Kamis (4/9/2025). Total ada enam keputusan dari para wakil rakyat.
Enam poin tersebut, di antaranya adalah tunjangan perumahan dihentikan, moratorium kunjungan kerja luar negeri, pemangkasan tunjangan dan fasilitas, anggota yang dinonaktifkan tak lagi digaji, MKD DPR berkoordinasi dengan Mahkamah Partai tindaklanjuti penonaktifan dan DPR akan memperkuat partisipasi dan transparansi publik.
Konferensi pers DPR Jumat (5/9/2025) malam bertepatan dengan tenggat waktu pertama tuntutan masyarakat. Sebelumnya sejumlah masyarakat sipil merumuskan kumpulan tuntutan rakyat menjadi satu, yang kemudian dikenal dengan 17+8 Tuntutan Rakyat.
Beberapa tuntutan yang dialamatkan kepada DPR dan harus dipenuhi dalam waktu satu pekan sampai batas waktu 5 September 2025. Poin tuntutan itu di antaranya adalah membekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru, termasuk pensiun.
Publikasikan transparansi anggaran terkait gaji, tunjangan, rumah, dan fasilitas DPR. Serta dorong Badan Kehormatan DPR untuk memeriksa anggota yang bermasalah, termasuk yang diselidiki melalui KPK.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama
Masuk tirto.id


































