tirto.id - Perusakan rumah doa di Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Minggu (27/7/2025) lalu, adalah pertanda masih buruknya iklim toleransi di Indonesia. Lebih dari itu, insiden tersebut kembali menguak bobroknya sistem pendidikan keagamaan di Indonesia yang masih meminggirkan minoritas.
Pasalnya, insiden terjadi ketika sekitar 30 anak tengah mengikuti mata pelajaran agama yang diampu Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang di rumah doa itu. Anak-anak itu harus menjangkau nilai mata pelajaran agama di luar sekolah, sebab sekolah mereka tidak menyediakan guru agama.
Sebagaimana diatur Peraturan Menteri Agama No 16/2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah. Pasal 4 angka (4) menyatakan jika jumlah peserta didik seagama pada satu sekolah kurang 15 orang, maka pendidikan agama dilaksanakan bekerja sama dengan sekolah lain, atau lembaga keagamaan yang ada di wilayahnya.
Dalam pasal sama menyebutkan, pendidikan agama wajib dilaksanakan di sekolah apabila peserta didik yang seagama pada sekolah paling sedikit 15 orang. Artinya, jika kurang dari 15 peserta didik seagama dalam satu sekolah, siswa dimungkinkan belajar pada lembaga keagamaan di luar sekolah. Ini yang terjadi dalam insiden perusakan rumah doa di Padang.

Kronologi Perusakan Rumah Doa
Dalam kronologi kejadian yang Tirto terima dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), peristiwa bermula sekitar Minggu sore pukul 16.00 WIB. Beberapa warga berdatangan membawa kayu, pisau, sembari melempar batu. Mereka juga bersorak, "bubarkan," ke arah rumah doa yang didirikan untuk pendidikan agama anak-anak Kristen jemaat GKSI.
Saat itu, rumah doa sedang digunakan untuk kebaktian orang dewasa dan pengajaran bagi sekitar 30 anak. Sejumlah warga kemudian memecahkan jendela kaca menggunakan kayu, melempar kursi, mematikan listrik, dan merusak barang-barang yang ada di dalam rumah doa tersebut.
Anak-anak yang sedang belajar di dalam rumah doa kemudian histeris dan berlarian keluar. Setidaknya dua orang anak berusia 11 tahun dan 9 tahun menjadi korban kekerasan. Terjadi dugaan pemukulan terhadap satu anak dengan kayu di bagian kaki dan satu anak lainnya di bagian bahu.
Polda Sumatera Barat menangkap sembilan orang diduga pelaku pengrusakan rumah doa. Wali kota Padang, Fadly Amran, juga sudah mengungkapkan permintaan maaf atas kejadian ini.
Sayangnya, Fadly bersikeras kejadian ini disebabkan miskomunikasi, bukan intoleransi terhadap kelompok minoritas maupun SARA.
“Peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan beribadah masih kerap terjadi dan akan terus berulang jika pemerintah tidak secara tegas hadir untuk melindungi warga,” kata staf Divisi Hukum KontraS, Azlia Amira Putri, kepada Tirto, Kamis (31/7/2025).
Peraturan yang Ada Masih Diskriminatif
Peristiwa di Padang ini terjadi hanya kurun waktu dua bulan usai pembubaran retret pelajar Kristen di Sukabumi. Dalam dua insiden ini tampak anak di bawah umur atau pelajar dari minoritas yang selalu menjadi korbannya.
Ironisnya, selain terjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan beribadah, insiden di Padang dan Sukabumi turut mengancam hak anak, khususnya hak atas rasa aman dan mendapatkan akses pendidikan. Semua berakar dari pendidikan keagamaan di Indonesia yang masih bias kelompok agama mayoritas dan berbau diskriminatif.
Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai Permenag 16/2010 masih menebalkan kesan diskriminatif dalam poin-poin aturan di dalamnya. P2G mengecam pemerintah daerah dan pusat yang abai melindungi siswa-siswi dari kelompok agama minoritas.
Kejadian ini amat disayangkan karena terus berulang tanpa pembenahan serius. Insiden di Padang, kata Iman, menunjukkan kegagalan sistem pendidikan keagamaan yang justru ikut meminggirkan peserta didik kelompok agama minoritas.
Seperti di Padang, siswa jadi harus mendapatkan pendidikan agama di rumah doa alih-alih di sekolah. Mestinya, rumah doa itu menjadi tempat aman dan penunjang pendidikan agama bagi siswa Kristen. Namun, pemerintah gagal mengantisipasi tindakan intoleransi warga dari kelompok mayoritas yang melarang kegiatan keagamaan lain di lingkungan tersebut.
Pasal 12 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Sementara Pasal 3 Permenag 16/2010 turut menegaskan setiap sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
Menurut Iman, insiden di Padang mencerminkan kegagalan pemerintah untuk menyediakan pendidik seagama di sekolah. Permenag 16/2010 justru menempatkan peserta didik agama minoritas berpeluang mendapatkan pendidikan di luar sekolah yang menambah kerentanan bagi mereka.
“Maka murid-murid ini tidak mendapatkan perlindungan, ini kegagalan kebijakan pendidikan kita yang mengakibatkan masalah sosial,” ucap Iman.
Peraturan pendidikan agama minimal untuk 15 orang perlu ditinjau ulang
Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania sekaligus pegiat kebebasan beragama, Ahmad Nurcholish, melihat seharusnya syarat wajib dilakukannya pendidikan keagamaan di sekolah dengan batas minimal 15 peserta didik seagama itu ditinjau ulang oleh pemerintah. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 18.
Syarat itu juga dinilai bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) dan (2) dan Pasal 29, yang menjamin hak setiap warga negara dalam memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Ia mencontohkan, sejumlah sekolah swasta bahkan bisa mendatangkan pengajar seagama ke sekolah meskipun hanya mengajar satu orang murid. Karena hal itu merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan dari sekolah untuk peserta didik dari beragam agama.
Menurutnya, penegak hukum serta pemerintah daerah tidak bisa terus-menerus mentolerir pelaku intoleransi dengan menyelesaikan kasus hukumnya ke arah kekeluargaan. Meskipun sudah meminta maaf dan korban memaafkan, proses hukum harus terus berjalan dalam aksi intoleransi untuk menciptakan efek jera bagi masyarakat intoleran.
“Selama ini sering kali berhenti hanya kesepakatan damai dan selesai. Justru hal ini yang membuat peristiwa intoleransi terus terjadi. Harapannya agar masyarakat ada pembelajaran,” ucap Nurcholish.
Perbaikan level struktural dan kultural
Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, berpendapat, syarat minimal pengajaran agama di sekolah apabila terpenuhi 15 siswa seagama, adalah tindakan diskriminatif. Jaminan konstitusional yang diberikan UUD terhadap kebebasan beragama itu semestinya berlaku perorangan.Pelaksanaannya, kata dia, tidak mesti satu siswa kelompok agama minoritas mendapatkan satu guru. Poinnya, negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) wajib memenuhi hak dasar atas pelajaran agama dengan tidak membedakan latar belakang agama siswa dan jumlah penganut agama di sekolah.

Karenanya, kata Halili, perbaikan mesti dilakukan pada lapis struktural dan kultural. Dalam lapis struktural, pemerintah perlu segera merevisi regulasi intoleran dan diskriminatif. Selain itu, perlu dilakukan mobilisasi sumber daya dan keberpihakan terhadap kelompok rentan dan korban intoleransi beragama.
Di lapis kultural, peningkatan literasi lintas agama, juga pengarusutamaan perjumpaan lintas agama harus didukung oleh semua stakeholder. Penegakan hukum dalam konteks kejadian intoleransi juga mesti dikawal agar memberikan efek jera pada pelaku dan memberikan rasa keadilan bagi korban.
“Pemenuhan layanan kepada seluruh siswa dalam hal pendidikan agama itu harus dibarengi juga dengan peningkatan toleransi dan respect dalam keberagaman di kalangan guru-guru,” ucap Halili kepada wartawan Tirto, Kamis (31/7).
Menteri Agama Tepis Tundingan Intoleransi
Terpisah, Menteri Agama (Menag) RI, Nasaruddin Umar, mengatakan, Kementerian Agama (Kemenag) menyimpulkan perusakan rumah doa di Padang sebagai kasus murni kriminal.
Namun ia menepis tudingan insiden itu sebagai kasus intoleransi. Hal itu berdasarkan hasil investigasi tim Kemenag di lapangan.
"Iya, kami sudah turunkan tim dan kita sudah selesaikan semuanya. Alhamdulillah, kan itu kan kita anggap kriminal murni lah dan semuanya harus bertanggung jawab dan kita berharap itu lah yang terakhir," ucap Nasaruddin di TMII, Jakarta Timur, Kamis (31/7/2025).
Nasaruddin menegaskan peristiwa perusakan rumah doa di Padang itu sudah diselesaikan. Kemenag akan menerapkan kurikulum cinta sebagai upaya pencegahan kejadian terulang.
“Mudah-mudahan kurikulum cinta ini beroperasi. Maka tidak ada lagi isu kayak gitu,” ungkap Nasaruddin.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































