Menuju konten utama

Intimnya Guatemala dan Israel

Guatemala menggalang suara dari negara-negara Amerika Latin untuk mengakui negara Israel.

Intimnya Guatemala dan Israel
Presiden Guatemala Jimmy Morales dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjabat tangan saat menyampaikan pernyataan kepada media selama pertemuan mereka di Yerusalem pada 29 November 2016. REUTERS / Abir Sultan

tirto.id -

Pada 24 Desember 2017, diberitakan pemindahan kantor Kedutaan Besar Guatemala dari Tel Aviv ke Yerusalem. Negara ini menjadi yang kedua memindahkan kedutaan ke Yerusalem setelah Amerika Serikat. Keputusan Presiden Guatemala Jimmy dipuji Donald Trump.

Sebelumnya, Guatemala ada di barisan delapan negara yang menentang resolusi PBB yang mengecam langkah pemindahan kedubes AS. Dilansir dari The Guardian, setelah berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Morales mengumumkan pemindahan kedubes melalui akun Facebook pribadinya.

Sementara itu, menteri luar negeri Guatemala mengatakan bahwa keputusan negaranya untuk memindahkan kedutaan besar sudah final dan mendesak masyarakat internasional untuk menghormati komitmen ini.

“Ini keputusan yang telah dibuat ... Ini tidak akan dibatalkan,” kata Sandra Jovel pada Jumat (29/12) seperti dilansir Al-Jazeera dari kantor berita AFP. Lebih lanjut ia mengatakan, “Pemerintah Guatemala sangat menghormati posisi yang diambil negara lain, dan karena kami menghargai keputusan tersebut, kami yakin pihak lain harus menghormati keputusan yang dibuat oleh Guatemala.”

Kedua pejabat negara saling memuji. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Emmanuel Nahshon mengucapkan terima kasih kepada Guatemala di akun Twitter pribadinya, “Berita indah dan persahabatan sejati!” tulisnya.

Jimmy Morales punya kemiripan latar belakang dengan Donald Trump. Sebelum menjadi presiden, mereka sama-sama bintang acara relity show di TV. Selama 16 tahun, Morales adalah pelawak yang lincah memainkan pelbagai karakter dalam komedi-komedi sketsa.

Menurut catatan Haaretz, awalnya tak seorang pun menganggap serius niat Morales untuk maju dalam pilpres 2015. Seperti halnya Trump, ia berada di kubu sayap kanan. Partainya, Front Konvergensi Nasional, mengkampanyekan nilai-nilai konservatif.

Keakraban Israel-Guatemala telah berlangsung lama. Dalam laporan Tablet Magazine pada 2012 lalu, sekolah bernama Instituto Guatemalteco-Israel telah didirikan sejak tahun 1967. Seragam sekolah tersebut dihiasi dengan Bintang Daud, khas bendera dan identitas Israel. Tak lupa dinding kantor memasang artikel berita yang merayakan kembalinya Gilad Shalit (seorang prajurit Israel yang ditawan di Palestina) lengkap dengan artikel lain yang mengecam Hamas.

Baca juga: Sekolah-Sekolah Palestina dalam Cengkeraman Israel

Lebih lanjut dijelaskan bahwa para murid dengan khitmad menyanyikan lagu kebangsaan Israel “Hatikva” di kelas dengan telapak tangan di dada. Padahal ini di Guatemala, di sebuah akademi Zionis evangelis ibukota dimana anak-anak dilatih untuk mencintai Israel.

Instituto Guatemalteco-Israel memang mengaku bahwa kedutaan besar Israel di Guatemala punya hubungan erat dengan institusi sekolah ini. Orang-orang kedubes Israel sering berkunjung ke sekolah tersebut, hingga memasok materi bacaan dan multimedia.

Nuansa Israel tak cuma terlihat di dinding-dinding sekolah pro-Tel Aviv. Para backpacker yang berpergian ke hutan bahkan mengenakan seragam ala militer Israel. Pom bensin dan toko swalayan dibanjiri dengan bahasa Ibrani seperti “Adonai” dan “Shalom”.

Jika ditilik ke belakang, hubungan Guatemala-Israel sudah terjalin sejak berdirinya negara Yahudi itu.

Seperti yang dilaporkan Tablet Magazine, pada tahun 1947, Guatemala memainkan peran krusial di balik berdirinya negara Israel. Jorge Garcia Granados, duta besar Guatemala untuk PBB, kala itu duduk sebagai anggota Komite Khusus PBB untuk Palestina yang berperan penting melobi suara atas nama pendirian negara Israel.

Baca juga: 50 Tahun Perang 6 Hari dan Pendudukan Israel atas Palestina

Langkah tersebut membuat Guatemala menjadi negara pertama di Amerika Latin yang mengakui negara Israel. Granados melobi negeri-negeri Amerika Latin untuk ikut mengakui Israel. Upaya Granados berhasil.

Orang-orang Guatemala rupanya cukup bangga akan peran historis mereka untuk Israel antara 1947-1948. Granados sendiri pada akhirnya menjadi duta besar pertama Guatemala untuk Israel. Granados diabadikan sebagai nama sejumlah jalan di Israel. Beberapa jalan di berbagai kota Israel, termasuk Yerusalem, juga dinamai “Guatemala Street”.

Electronic Intifada melaporkan, saat Guatemala dilanda perang sipil berkepanjangan antara 1960 sampai 1996, Israel terlibat memberikan pelatihan militer kepada kubu jenderal Angkatan Darat Guatemala Rios Montt yang memerangi pasukan pemberontak, petani, pekerja hingga suku Maya.

Baca juga: Bagaimana Seharusnya Amerika Mendeklarasikan Perang?

Selain itu menurut laporan Middle East Research and Information Project (MERIP), Israel juga memasok persenjataan, teknologi pengawasan dan menyediakan konsultan militer. Israel melirik keuntungan dari kerja sama militer dengan Guatemala. Pada 1977, Jimmy Carter menekan Guatemala setelah terjadi protes keras mengenai pelanggaran HAM selama Perang Sipil Guatemala berlangsung. Sebagai balasannya, jenderal-jenderal Guatemala menolak bantuan militer AS. Dari sanalah Israel masuk, mengisi kekosongan logistik militer Guatemala.

Komunitas Yahudi di Guatemala

Republik Guatemala berada di kawasan Amerika Tengah. Selain berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik, ia berbatasan dengan negara Meksiko, Honduras dan El Savador. Mayoritas penduduk Guatemala mayoritas adalah orang campuran Eropa dan penduduk setempat (Mestizo) serta penduduk asli, termasuk bangsa Maya.

infografik hangatnya israel guatemala

Menurut Jewish Virtual Library, komunitas Yahudi baru masuk ke tanah Guatemala pada pertengahan abad ke-19. Sebagian besarnya adalah imigran dari Jerman. Komunitas kecil ini praktis terisolir dari dunia Yahudi lainnya. Secara kultural, mayoritas orang Yahudi Jerman di Guatemala telah meninggalkan tradisinya.

Keluarga Stahl adalah salah satu yang menonjol dari komunitas Yahudi Jerman di Guatemala. Kesuksesan dan nama besarnya diperoleh dari pabrik kapas yang telah beroperasi selama 30 tahun.

Baca juga: Negara Israel Nyaris Didirikan di Uganda

Gelombang migrasi baru Yahudi terjadi pada awal abad ke-20. Mereka berasal dari Jerman, Timur Tengah, dan (pada tahun 1920) Eropa Timur. Gelombang terakhir ini semula bertujuan ke Amerika Serikat. Guatemala dan Kuba sekadar tempat transit.

Pada awal kehadiran imigran Yahudi, Guatemala menunjukkan sikap yang kurang bersahabat. Arus migrasi orang Yahudi dibatasi. Bahkan pada 1932, pemerintah mengeluarkan aturan untuk mengusir para pendatang Yahudi.

Disahkannya undang-undang yang membatasi ini membuat komunitas Yahudi di Guatemala berkurang menjadi sekitar 800 orang saja pada tahun 1939. Sejak Perang Dunia Kedua dan setelahnya, aturan ini jarang diberlakukan dan sejak itu banyak pengungsi Yahudi yang masuk ke negara tersebut. Mayoritas mereka tinggal di Guatemala City, sisanya di Quezaltenango dan San Marcos.

Baca juga: Zionisme ala Muslim di Pakistan

Masih menurut catatan Jewish Virtual Library, pada 2012 jumlah tercatat 900 orang Yahudi tinggal di Guatemala. Umumnya mereka tinggal di ibukota.

Khususnya sejak 1948, penerimaan Guatemala atas Israel (dan Yahudi) mengalami banyak perubahan. Terlebih saat Jimmy Morales menjadi kepala negara. Ia dibesarkan dalam keluarga Kristen evangelis, yang secara konsisten mendukung posisi bahwa Yerusalem harus berada dalam teritori Israel.

Dalam lawatan empat hari ke Israel pada November 2016 lalu, Haaretz melaporkan Morales mendapat gelar doktor kehormatan dari Hebrew University of Jerusalem.

Baca juga artikel terkait ISRAEL atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf