Menuju konten utama

Bagaimana Seharusnya Amerika Mendeklarasikan Perang?

Di atas kertas terdapat sejumlah aturan yang perlu dipatuhi negara di dunia saat memulai dan berperang.

Tentara Amerika Serikat di Afghanistan. FOTO/Getty Images

tirto.id - Hubungan Amerika Serikat dan Korea Utara semakin memanas. Para pemimpin kedua negara kerap saling mengejek hingga melempar ancaman. Pada Senin (25/9/2017), Menteri Luar Negeri Korea Utara Ri Yong Ho menuding Amerika Serikat telah "mendeklarasikan" perang terhadap negaranya. Usut punya usut, ini terkait cuitan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang memperingati pemimpin Korea Utara Kim Jong-un bahwa kepemimpinannya "tidak akan bertahan lama".

Pernyataan Trump disambut dengan ancaman balik Korea Utara. Pemimpin Korea Utara menyatakan Amerika Serikat akan “membayar mahal” bila menghancurkan Korea Utara. Mereka juga akan siap menembak jatuh pesawat bomber strategis Amerika Serikat meski berada di luar wilayah udara Korea Utara.

"Seluruh dunia harus ingat bahwa Amerika Serikat lah yang pertama kali mendeklarasikan perang terhadap negaranya," kata Menteri Luar Negeri Korea Utara Ri Yong Ho kepada wartawan di New York usai menghadiri Sidang Umum PBB.

Baca juga: Rudal Antarbenua Korut Bisa Jangkau AS, Kim Jong-un Puas

Sekretaris Gedung Putih, Sarah Huckabee langsung menepis anggapan bahwa pernyataan Trump merupakan deklarasi perang. Ia juga menganggap perang bukanlah jalan keluar terbaik dari permasalahan kedua negara.

Selain itu, berdasarkan Konstitusi yang berlaku di Amerika Serikat kekuasaan satu-satunya untuk mengumumkan perang berada di tangan Kongres. Sejauh ini Kongres sudah mengumumkan perang pada 11 kesempatan, termasuk deklarasi pertama perang dengan Inggris Raya pada 1812. Deklarasi terakhir oleh Kongres saat Perang Dunia II.

Dari sisi Korea Utara, ini bukan kali pertama Korea Utara mengungkapkan soal deklarasi perang. BBC mencatat setidaknya sudah empat kali deklarasi perang dikumandangkan. Pertama saat PBB menjatuhkan sanksi terkait uji coba nuklir Korea Utara pada 2006 dan yang terakhir saat AS menjatuhkan sanksi pada Kim Jong-un terkait pelanggaran HAM 2016.

Mudahnya kedua negara mengungkapkan perang mengundang keprihatinan PBB. Melalui juru bicaranya, Stéphane Dujarric, PBB memperingati bahwa "pembicaraan yang berapi-api dapat menyebabkan kesalahpahaman yang fatal."

Masyarakat internasional jelas akan berharap perang kata-kata antara Korea Utara dan Amerika Serikat tak berubah menjadi tindakan nyata. Jika pecah perang, kedua negara hanya akan menambah deretan panjang perang.

Amerika Serikat dan Korea Utara boleh saja mendeklarasikan perang, tapi bukan berarti kedua negara bebas bertindak dalam perang. Terdapat sejumlah aturan internasional yang mengatur negara dalam bertindak dan penggunaan senjata.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/27/aturan-perang--MILD--rangga-01.jpg" width="860" alt="infografik aturan perang" /

Bagaimana Perang Diatur

Ketentuan soal aturan perang berawal saat sejumlah negara menandatangani Kongres Wina pada 1815. Praktik-praktik kebiasaan perang mulai diterapkan sebagai aturan bagi pihak yang berperang. Saat itu perang dianggap oleh aliran positivisme sebagai instrumen politik yang objektif dibandingkan teknik lainnya.

Dalam perkembangannya, perang atau konflik di abad ke-20 semakin tak mempedulikan keselamatan dari pihak yang bukan kombatan. Sehingga muncul hukum humaniter internasional yang terdiri dari dua cabang utama yaitu hukum mengenai tindakan saat peperangan dan mengenai senjata yang diizinkan. Konvensi Jenewa (1949) dan Den Haag (1899, 1907) menjadi landasan soal perang.

Baca juga: Uang yang Dibakar Kim Jong-un Demi Uji Rudal

Dalam buku Ambarwati berjudul Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional (2009:107) disebutkan beberapa peraturan utama dalam perang. Pertama, perang harus diumumkan lebih dahulu sebelum dimulai. Kombatan harus menggunakan seragam yang membedakan dengan yang bukan kombatan dan hanya sasaran militer yang dapat dibom atau dihancurkan.

Selain itu, tawanan perang tidak boleh dibunuh atau disiksa, melainkan harus diberi makanan dan pakaian. Para pekerja kemanusiaan harus bebas dari serangan militer. Tempat-tempat bersejarah, tempat suci hingga museum juga perlu dijaga dan dijauhkan dari serangan militer. Aturan itu juga melarang tentara untuk memperkosa perempuan dan anak-anak.

Sedangkan terkait penggunaan senjata, hukum internasional melarang penggunaan senjata-senjata pemusnah massal dan mematikan. Misalnya senjata kimia, bom curah, senjata nuklir hingga ranjau darat. Senjata-senjata tersebut dianggap sangat berbahaya.

“Efek serangannya mengerikan, menyebabkan sensasi terbakar di kepala, jarum panas di paru-paru dan tenggorokan yang seperti dicekik,” kata penulis buku The Pentagon's Wars, Mark Perry menjelaskan dampak bagi manusia jika terkena senjata gas kimia dalam perang.

Untuk memastikan penegakan hukum humaniter internasional atau yang juga dikenal hukum perang maka dibentuk International Criminal Court (ICC) dan International Court of Justice (ICJ). Perbedaannya, ICJ menangani perkara hukum antarnegara dan ICC menuntut dan mengadili individu yang melakukan kejahatan perang.

Aturan yang memberi rambu-rambu dalam perang dan mengikat negara-negara di dunia, tak berarti semua perang akan berjalan sesuai dengan ketentuan di atas kertas. Bahkan semakin hari, pelanggaran kian terjadi oleh negara yang terlibat konflik. Contohnya soal penggunaan senjata kimia dalam perang di Suriah, dan pemakaian senjata bom curah yang dilarang dalam Perang Georgia pada 2008. Konsekuensi mengerikan dari pelanggaran ini munculnya korban perang dari masyarakat sipil yang terus berjatuhan. Perang Bosnia misalnya, sekitar 100.000 orang tewas dan lebih dari 2,2 juta warga sipil kehilangan tempat tinggal.

Sulitnya mematuhi aturan perang menurut Ambarwati (2009:4) sebab berdasarkan teori Sigmund Freud, sifat menyerang atau agresif manusia merupakan insting yaitu dorongan dari dalam diri manusia. Agresif thananos, sebagai dorongan untuk mati. Freud untuk menjelaskan mengapa banyak orang suka pergi ke medan perang. Selain itu, adanya dorongan sosial dan politik, hadirnya sejumlah aktor non negara yang terlibat perang, pengembangan senjata penghancur massal serta perkembangan teknologi, komunikasi, dan transportasi membuat perang menjadi sulit dikontrol.

Ihwal semacam ini berpotensi terjadi bila Korea Utara dan Amerika Serikat terlibat perang terbuka. Potensi warga sipil yang menjadi korban serta infrastruktur publik pun rusak bakal tak bisa terhindarkan.

"Jika kehidupan orang-orang yang tidak bersalah di AS hilang karena serangan bunuh diri ini, Trump akan bertanggung jawab penuh," kata Ri Yong Ho.

Baca juga artikel terkait AMERIKA VS KOREA UTARA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Hukum
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra
-->