tirto.id - Dua pemimpin negara yang sempat saling beradu mulut dan mengancam perang bertemu kembali untuk kedua kalinya di Vietnam. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Vietnam yang mempertemukan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi dihelat pada 27-28 Februari 2019 di Hanoi.
Pada Selasa (26/2) atau sehari sebelum acara, Kim Jong-un sudah hadir di Hanoi setelah melakukan perjalanan panjang menggunakan kereta api seperti diwartakan The Korea Times. Rombongan Kim tidak datang ke Vietnam menggunakan pesawat, melainkan memakai kereta api yang melintasi Cina sepanjang sekitar 4.000 km.
Kim berangkat dari Pyongyang menuju Beijing ibukota Cina pada Sabtu (23/2). Dari Beijing, perjalanan menggunakan kereta api berlanjut sampai menuju Vietnam yang berbatasan langsung dengan Cina. Setelah kurang lebih 65 jam atau 2,5 hari perjalanan, gerbong kereta bercat biru dengan garis kuning yang ditumpangi rombongan Kim tiba di Kota Dong Gang, Vietnam. Di sana, Kim disambut dengan karpet merah dan mendapat kehormatan dari otoritas Vietnam. Perjalanan Kim ke ibukota Hanoi dilanjutkan menggunakan mobil Mercedes Benz sejauh 170 km.
Tidak jelas kenapa Kim datang ke Hanoi memutuskan dengan naik kereta api yang membutuhkan waktu lama. Padahal saat KTT Singapura 2018, Kim terbang menggunakan maskapai Air China. Namun jika ditengok ke belakang, perjalanan pemimpin Korea Utara ke negara lain menggunakan kereta api adalah hal lumrah. Kakeknya, Kim Il-Sung pernah berkunjung ke Hanoi pada 1958. Kala itu Il-Sung naik kereta hanya sampai Beijing dan setelahnya menggunakan pesawat yang disediakan Cina. Namun saat kunjungan kedua Il-Sung ke Vietnam pada 1964, ia memakai kereta api.
Sedangkan Kim Jong-il ayah Kim Jong-un, pergi ke Cina pada Juni 1983 menggunakan kereta api. Ada spekulasi yang berkembang kemungkinan Kim Jong-il takut naik pesawat lantaran pada 1982 saat bersama Kim Il-Sung menyaksikan pesawat jet yang meledak di udara. Diwartakan The Chosunilbo, Kim Il-sung pernah melakukan perjalanan ribuan kilometer naik kereta api ke Uni Soviet dan negara-negara anggota Pakta Warsawa lainnya di Eropa Timur. Namun Kim Il-sung masih sesekali naik pesawat.
Donald Trump diperkirakan baru sampai di Vietnam pada Selasa sore. Namun rombongan dari AS sudah lebih dahulu sibuk mempersiapkan kedatangan Trump sejak seminggu terakhir.
Dalam waktu kurang dari setahun, KTT Vietnam adalah pertemuan kedua antara Trump dan Kim. Saat KTT Singapura 2018, pertemuan itu disorot dunia karena bersejarah setelah hubungan AS – Korea Utara dingin selama berpuluh-puluh tahun dan sempat saling adu mulut dan melontarkan ancaman antara Kim dan Trump.
Menurut pernyataan Gedung Putih dikutip dari Reuters, Trump akan bertemu dengan Kim di Metropole Hotel, bangunan era kolonial Perancis di Hanoi pada pukul 6:30 malam. Keduanya saling bercakap selama 20 menit dan dilanjutkan makan malam selama lebih dari satu setengah jam.
Denuklirisasi Mengambang
Agenda pembahasan dalam KTT Vietnam tidak dipublikasikan secara rinci. Diperkirakan pembahasan seputar kelanjutan denuklirisasi dan harapan mengakhiri status Perang Korea 1950 – 1953.
Selama bertahun-tahun Korea Utara akrab dengan berbagai sanksi internasional termasuk dari Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) karena kegiatan pengembangan senjata nuklir dan rudal balistik.
Dari 2016 sampai 2017 Kim meningkatkan intensitas percobaan senjata nuklirnya termasuk memamerkan miniatur bom atom yang siap ditempatkan di rudal balistik. Korea Utara juga menguji coba lebih dari selusin tembakan rudal balistik termasuk satu rudal balistik antarbenua.
Sanksi ekonomi dikeluarkan Trump dengan memerintahkan Departemen Keuangan untuk memblokir semua akses keuangan ke AS kepada setiap unit bisnis maupun individu asing yang memfasilitasi perdagangan dengan Korea Utara, dikutip dariCouncil on Foreign Relations.
Di saat sanksi makin mencekik, Korea Selatan menawarkan bantuan dan negosiasi yang kemudian berujung pada sederet pertemuan bersejarah antara Kim dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in hingga KTT Singapura.
Pada KTT Singapura yang bersejarah itu, kesepakatan soal denuklirisasi memang disinggung, tapi tidak jelas seperti apa definisi dan mekanismenya. Pembicaraan setelah KTT Singapura terbilang macet. Pasalnya Korea Utara bersikeras bahwa AS harus terlebih dahulu meringankan sanksi ekonomi. Namun Washington enggan menuruti permintaan Korea Utara lantaran lewat sanksi itulah AS dapat memiliki kuasa atas negara kecil itu.
Trump setelah KTT Singapura memang mengendorkan aktivitas militernya dengan mengumumkan penghentian latihan militer bersama dengan Korea Selatan. Meski latihan bersama skala besar ditangguhkan, namun tetap ada latihan militer bersama dalam skala kecil yang membuat pemerintah Korea Utara dalam beberapa bulan terakhir menegur.
Washington menuntut agar Pyongyang meninggalkan semua program nuklir beserta misilnya. Sementara Korea Utara ingin dibatasi saja dan bukan pemusnahan senjata nuklir. Meski begitu, Trump tetap memuji Korea Utara karena dianggap sudah ada kemajuan. "Para sandera kami telah pulang, pengujian nuklir telah berhenti, dan belum ada peluncuran rudal dalam 15 bulan," ujar Trump di awal Februari 2019.
"Sejauh ini, Korea Utara tampaknya hanya mau mengambil langkah-langkah yang membatasi kemampuan nuklir dan misilnya, Korea Utara tidak memiliki indikasi bahwa mereka ingin mundur atau mengurangi persenjataan nuklir atau arsenal rudal yang ada," kata Tong Zhao dari Carnegie-Tsinghua Center for Global Policy kepada CNBC pada Selas (26/2).
Sedangkan satu minggu menjelang KTT Vietnam, Trump menyampaikan kembali bahwa pihaknya tidak ingin terburu-buru soal masalah denuklirisasi Korea Utara. “Saya berkata kepada Mike Pompeo (Sekretaris negara), saya berkata ‘Mike jangan terpaku dengan waktu’,” kata Trump seperti dikutip The Guardian.
“Saya pikir kita sedang melakukan sesuatu yang sangat penting [tentang denuklirisasi] tapi ini bukan tentang waktu. Kalau butuh dua atau tiga tahun, atau lima bulan, itu tidak masalah. Tidak ada tes nuklir dan tidak ada tes roket,” tambahnya. Trump melihat tidak adanya tes nuklir di Korea Utara merupakan sebuah prestasi bagi AS.
Bagi negara tetangga dan terdekat seperti Jepang dan Korea Selatan, mereka masih khawatir jika Korea Utara hanya menghentikan program rudal antarbenua dan bukan rudal jarak dekat. Kekhawatiran dua negara ini muncul seiring dengan pernyataan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo yang hanya menyiratkan perlindungan kepada warga AS terhadap ancaman serangan nuklir.
Beberapa analis skeptis bahwa Korea Utara akan benar-benar melucuti seluruh senjata nuklir mereka. Dilansir dari NBC News, Direktur Intelijen Nasional Dan Coats mengatakan pada akhir Januari 2019 bahwa tidak mungkin Korea Utara akan mencoba melakukan denuklirisasi. Para peneliti dari lembaga pertahanan think tank Center for Strategic and International Studies, menemukan adanya pangkalan rudal balistik yang dirahasiakan tempatnya dan jumlahnya kemungkinan sebanyak 20 lokasi.
Sedangkan para peneliti lainnya berharap penghancuran komplek nuklir utama di Yongbyon bisa jadi penanda langkah denuklirisasi berjalan yang kemudian pada gilirannya memperbolehkan Badan Energi Atom Internasional PBB untuk memverifikasi penyingkiran senjata nuklir.
Mengakhiri Perang Korea?
Jika program denuklirisasi tampaknya masih mengambang dan penuh ketidakpastian, tampaknya kesepakatan yang lebih mungkin disetujui adalah soal mengakhiri Perang Korea. Perang terjadi dari tahun 1934 – 1935 dengan Korea Utara dibekingi Cina dan Rusia sementara Korea Selatan dibekingi AS. Setelah itu, status perang turun ke gencatan senjata dan secara teknis perang masih berlangsung sampai hari ini.
"Kemungkinannya terbuka (mengakhiri perang)," ujar Kim Eui-kyeom selaku juru bicara presiden Korea Selatan Moon Jae-in. "Kami masih belum tahu persis format deklarasi akhir perang apa yang akan diambil, tetapi ada kemungkinan besar Korea Utara dan Amerika Serikat menyetujui deklarasi semacam itu."
Tidak hanya Korea Selatan saja yang berharap adanya perdamaian di Semenanjung Korea. Korea Utara telah lama mengusahakan deklarasi perdamaian. Namun selama ini AS menolak keras permintaan itu lantaran dapat mengurangi alasan penempatan sekitar 28.500 tentara AS di Korea Selatan. Dilansir dari The New York Times, sejumlah analis AS dan Korea Selatan berspekulasi bahwa jika perang diakhiri, peluang Kim untuk menuntut AS menarik puluhan ribu pasukannya dari semenanjung Korea menjadi terbuka dan bisa saja Kim sekaligus masih tetap mempertahankan kepemilikan senjata nuklir.
Trump sejak sebelum KTT Singapura memang sudah merencanakan ingin menarik pasukan dari Korea Utara. Alasannya, selama ini AS menanggung biaya besar untuk operasional militer di sana dan merasa justru tampak melindungi Jepang secara cuma-cuma dalam beberapa dekade sejak gencatan senjata Perang Korea. Kehadiran militer AS selama ini juga dirasa tidak menyurutkan ancaman nuklir Korea Utara.
Belum lagi hal tersebut bertepatan dengan negosiasi alot antara AS dan Korea Selatan terkait pembiayaan pasukan militer. Berdasarkan perjanjian yang berakhir pada akhir 2018, Korea Selatan membayar sekitar setengah biaya operasional prajurit AS (lebih dari 800 juta dolar per tahun). Sedangkan pemerintahan Trump menuntut agar Korea Selatan membayar hampir seluruh biaya operasional yang ada.
Sejumlah pejabat Korea Selatan menilai deklarasi damai mengakhiri perang malah akan membuat Korea Utara jinak lantaran selama ini mereka membangun sistem pertahanan dan senjata nuklir karena permusuhannya dengan Korea Selatan yang dibekingi AS.
Pertanyaannya, apakah KTT Vietnam sanggup menekan Korea Utara melakukan denuklirisasi seperti yang diharapkan AS, mengakhiri status perang Korea, dan AS menarik pasukannya dari semenanjung Korea?
Editor: Suhendra