tirto.id - Korea Utara (Korut) kembali melakukan uji coba peluru kendali balistik pada Selasa (29/8/2017). Peluru kendali itu dilepaskan dari Sunah, dekat Pyongyang, melewati wilayah Jepang dan jatuh di Samudera Pasifik di lepas Pantai Hokkaido, Jepang.
Uji Coba yang kesekian kali ini membuat tetangga Korea Utara seperti Jepang berang. Ketegangan di wilayah Asia Timur itu kian meningkat. Pemerintah Jepang menyatakan akan mengambil langkah tegas demi keselamatan warga Jepang. Reaksi keras Jepang ini bukan tanpa sebab, untuk kali pertama uji coba peluru kendali atau rudal Korea Utara melewati wilayah Jepang.
Sepanjang 2017, Korea Utara sudah melakukan uji coba rudal balistik sebanyak 21 kali. Jumlah ini mendekati total uji coba peluru kendali sepanjang 2016 yang mencapai 24 kali. Selama Kim Jong-un memimpin, Korea Utara kerap melakukan uji coba rudal balistik. Setidaknya lebih dari 20 kali uji coba setiap tahun, jumlah itu sudah termasuk uji coba yang gagal.
Uji coba rudal balistik sudah menjadi aktivitas rutin Korea Utara sejak kepemimpinan Kim Il Sung (1984-1994). Secara keseluruhan, Kim Il Sung melakukan 15 kali uji coba. Sedangkan uji coba rudal balistik di masa kepemimpinan Kim Jong Il (1994-2011) hampir sama dengan masa Kim Il Sung yaitu 16 kali uji coba.
Baca juga:Cara Korea Utara Mengakali Embargo PBB
Dalam pengembangan senjata rudal balistik, Korea Utara kian meningkatkan teknologi dan jangkauan sasaran. Hwosang yang menjadi versi pertama dari rudal Korea Utara mampu meluncur hingga radius 1.000 km. Rudal itu mampu membawa hulu ledak konvensional, kimia hingga biologis.
Lalu Korea Utara meningkatkan kapasitas jangkauan di versi Nodong yang dapat menjangkau 1.300 km atau mampu menjangkau seluruh Korea Selatan dan sebagian besar Jepang. Secara bertahap rudal Korea Utara dikembangkan hingga yang terakhir disebut-sebut mampu menjangkau Amerika Serikat yaitu versi KN-08 dengan jarak maksimum 11.500 km.
Biaya Mahal Uji Coba Rudal
Uji Coba rudal pada masa Kim Jong-un sudah seperti aktivitas bulanan dan belakangan ini semakin intens. Dalam wawancara dengan BBC, Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara, Han Song-ryol menyampaikan pihaknya akan terus melakukan uji coba rudal meskipun dikecam dunia Internasional.
“Kami akan melakukan lebih banyak lagi uji coba setiap minggu, bulan dan tahun,” kata Han Song-ryol.
Berapa biaya uji coba yang dilakukan Korea Utara? Pada dasarnya biaya setiap roket atau rudal balistik berbeda-beda. Laporan The Economist yang dikutip media Cina Global Times mengambil contoh rudal Tomahawk milik AS yang memiliki radius jangkauan 1.300 km hingga 1.700 km atau sekelas dengan Nodong milik Korea Utara yang beradius 1.300 km
dapat menelan biaya 1,5 juta dolar AS.
Bila Korea Utara meluncurkan satu rudal sejenis Tomahawk atau Nodong setiap minggu, maka Kim Jong-un harus mengeluarkan biaya 78 juta dolar AS setiap tahunnya (pada tahun 2017 terdiri dari 52 minggu). Namun, ini baru biaya manufaktur, belum termasuk pemeliharaan harian, biaya penelitian dan pengembangan. Sehingga biaya yang dibutuhkan tentu akan lebih dari 78 juta dolar AS.
Baca juga:Perseteruan Abadi Korea Utara-Korea Selatan
Pada 2012 CNN sempat membuat laporan soal rudal balistik Korea Utara di tahun pertama Kim Jong-un berkuasa menelan 1,3 miliar dolar AS. Biaya itu terdiri dari; biaya manufaktur dua roket uji coba itu menelan dana 600 juta dolar AS; biaya uji coba menelan dana 400 juta dolar AS. Korea Utara juga harus mengeluarkan 300 juta dolar AS untuk fasilitas peluncuran dan lainnya. Dana itu untuk dua kali uji coba rudal balistik. Hasilnya hanya satu yang sukses dalam uji coba.
Kementerian Pertahanan Nasional Korea Selatan juga melakukan estimasi biaya uji coba dan peluncuran rudal balistik Korea Utara. Dikutip dari CNBC, biaya rudal untuk jenis Scud atau dikenal dengan jenis Hwasong di Korea Utara mencapai 1 juta dolar AS hingga 2 juta dolar AS per unit.
Biaya uji coba untuk jenis Musudan yang memiliki radius 3.500 km diperkirakan mencapai 3 juta dolar AS hingga 5 juta dolar AS. Korea Utara juga pernah meluncurkan rudal dari kapal selam dan diperkirakan menelan biaya sebesar 5 juta dolar AS hingga 10 juta dolar AS.
Estimasi lain dari program pertahanan Korea Utara adalah soal senjata nuklir. Korea Selatan memperkirakan biaya pengembangan program nuklir Korea Utara sebesar 1 miliar dolar AS hingga 3 miliar dolar AS. Sedangkan untuk tipe intercontinental ballistic missile (ICBM) yang disebut-sebut memiliki jangkauan hingga Amerika Serikat, belum ditemukan data soal biaya pengembangannya.
Namun jika melihat beberapa negara yang sudah mengembangkan ICBM, besaran biaya ICBM sangat variatif dan lebih mahal dari yang jenis Scud atau Hwasong. Misalnya India membangun ICBM pada 2012 dengan biaya Rs2500 crore atau setara 372 juta dolar AS. Sedangkan biaya program ICBM yang sedang dikembangkan Amerika Serikat sebesar 85 miliar dolar AS.
Korea Utara tentu dengan besaran biaya program ICBM yang berbeda. Pada intinya, menurut laporan CNBC, Korea Utara mengeluarkan 10 miliar dolar AS per tahun untuk anggaran pertahanan dari GDP yang hanya sebesar 40 miliar dolar AS. Jumlah ini memang cukup ironis, artinya anggaran pertahanan mereka sudah setara dengan 25 persen GDP.
Di saat Kim Jong-un menggelontorkan miliaran dolar AS untuk program rudalnya, laporan Relief Web Maret 2017 memaparkan penderitaan 18 juta penduduk Korea Utara. Mereka hidup hanya bergantung pada bantuan makanan dari pemerintah. Hal ini menyebabkan banyak warga kekurangan gizi dan diperparah dengan minimnya akses pada layanan kesehatan. Jutaan lainnya juga berisiko terdampak banjir dan kekeringan. Anak-anak pun ikut menjadi korban.
Baca juga:Rudal Tak Berhasil Membunuh Kemanusiaan di Semenanjung Korea
Kondisi seperti ini sudah berlangsung lama. Pemerintah Korea Selatan pernah menyindir Korea Utara agar dana 1,3 miliar dolar AS yang digunakan untuk program rudal 2012, sebaiknya dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan warga Korea Utara.
“Jumlah ini (1,3 miliar dolar AS) setara dengan 4,6 juta ton jagung,” kata pejabat Korea Selatan. “Jika ini digunakan untuk memecahkan persoalan kekurangan pangan, warga Korea Utara tak perlu khawatir soal makanan selama empat sampai lima tahun.”
Kondisi warga Korea Utara yang memprihatinkan tersebut menyebabkan negara itu menempati urutan ke-98 dari 118 negara dengan skor 28,6 dalam Laporan Kelaparan Global 2016. Hal ini menandakan jika kebutuhan pangan menjadi isu serius yang dihadapi penduduk Korea Utara saat ini. Sayangnya, Kim Jong-un lebih memilih urusan yang lain.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra