tirto.id - Pemerintah Inggris, pada Senin (20/07/2020), mengumumkan bahwa perjanjian ekstradisi kepada Hong Kong akan dihentikan. Hal itu dilakukan Inggris karena perselisihannya dengan Cina yang semakin tereskalasi setelah diterapkannya Hukum Keamanan Nasional Hong Kong dua pekan lalu.
Di depan parlemen, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyatakan, perjanjian dan embargo alutsista kepada Hong Kong harus segera dihentikan.
Raab mengatakan, pemberlakuan legislasi hukum keamanan nasional tersebut merupakan “asumsi kunci yang dapat melandasi perjanjian ekstradisi Inggris kepada Hong Kong.”
Menurut dia, tidak seharusnya ada pertimbangan atas dicabutnya perjanjian tersebut sampai ada perlindungan yang jelas dan kuat, sehingga dapat mencegah disalahgunakannya ektradisi Inggris berdasarkan UU Keamanan Nasional baru di Hong Kong.
Seharusnya, kata dia, embargo persenjataan kepada Cina dan Hong Kong harus diperpanjang. Sebab, alat persenjataan seperti borgol, bom asap, maupun gas air mata akan digunakan untuk melakukan represi internal, termasuk kepada demonstran Hong Kong yang menolak RUU ekstradisi Hong Kong kepada Cina tahun 2019.
Dilansir dari CNN, Raab mengatakan, hukum keamanan baru tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap Deklarasi Bersama Inggris-Cina. Hukum itu juga telah melanggar jaminan kebebasan dan UU independen yang telah membantu Hong Kong tetap menjadi salah satu pusat perdagangan terpenting sejak 1997.
Dari hukum keamanan tersebut, yang ia khawatirkan adalah pasal 55 sampai 59. Sebab, menurutnya, pasal ini akan memberikan kemampuan otoritas pemerintah Cina untuk mengambil yurisdiksi atas kasus-kasus tertentu. Selain itu, juga mencoba mengadili kasus tersebut di pengadilan Cina tanpa perlindungan hukum atau yudisial.
Oleh karena itu, terkait tawaran kewarganegaraan Inggris kepada 3 juta warga Hong Kong, Raab mengatakan, tawaran keimigrasian tersebut akan siap pada awal tahun depan.
Dilansir National Post dari Reuters, Australia dan Kanada juga sudah membatalkan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, sedangkan AS telah mengakhiri perlakuan preferensi ekonomi kepada Hong Kong awal pekan lalu.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan, hukum tersebut telah mengabaikan hukum dasar Hong Kong dan tingkat otonomi daerah dari Pemerintah Cina. Ia berencana memperpanjang visa penduduk Hong Kong di Australia dan mendorong relokasi pelaku bisnis dari wilayah tersebut.
Di sisi lain, seperti dilansir BBC, AS melihat hukum keamanan nasional tersebut sebagai ancaman atas kebebasan dan demokrasi Hong Kong di bawah perjanjian 1984.
Selain itu, diwartakan SCMP, Inggris bersama aliansinya termasuk Kanada dan Australia sepakat bahwa hukum yang diprakarsai oleh Cina tersebut akan membuka keran potensi penyalahgunaan atas perjanjian ektradisi.
Terkait hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Wang Wenbin mengatakan, tidak seharusnya Inggris terlalu ikut campur atas urusan dalam negeri Cina demi menghindari kerusakan hubungan Cina-Inggris. Sebab, menurutnya, Tiongkok akan mengambil langkah tegas bagi yang mengganggu urusan dalam negerinya.
Salah satu juru bicara Kedutaan Besar Cina untuk Inggris juga berpendapat bahwa upaya campur tangan negara-negara Barat terhadap urusan Cina dan Hongkong telah melukai hukum internasional dan norma dasar hubungan internasional. Ia menambahkan bahwa ke depannya Cina akan membalas perlakuan tersebut.
Penulis: Mochammad Ade Pamungkas
Editor: Alexander Haryanto