Menuju konten utama

Ingat, Vaksin Bukan Peluru Perak Atasi Pandemi COVID-19

Ingat bahwa vaksinasi bukanlah senjata pamungkas mengatasi pandemi. Upaya-upaya yang telah dilakukan perlu tetap berlangsung dan ditingkatkan.

Ingat, Vaksin Bukan Peluru Perak Atasi Pandemi COVID-19
Vaksinator memperlancar cairan vaksin pada alat suntik sebelum vaksinasi COVID-19 Sinovac ke tenaga kesehatan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat, Kamis (14/1/2021). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/foc.

tirto.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi menerbitkan izin penggunaan darurat (EUA) untuk vaksin COVID-19 bikinan Sinovac pada Senin (11/1/2021) lalu. Program vaksinasi nasional pun kini telah berjalan dan disambut gembira banyak kalangan. Kendati demikian, harus diingat kembali vaksin bukanlah 'peluru perak' yang dapat secara ajaib menghentikan pandemi.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan ini pada Agustus lalu. "Bagaimanapun, tidak ada peluru perak sekarang-dan mungkin tidak akan pernah ada," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Faktanya vaksin tak melindungi seseorang sepenuhnya dari virus. Vaksin Sinovac sendiri "mampu untuk menurunkan kejadian penyakit COVID-19 hingga 65,3 persen," kata Ketua BPOM Penny K Lukito. Artinya masih ada kemungkinan 30 sekian persen seseorang masih tertular setelah divaksin.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono menjelaskan sebenarnya semua upaya pencegahan pasti memiliki celah. Oleh karenanya semua cara tersebut semestinya terus diupayakan. Dalam konteks ini, vaksinasi harus dilapisi dengan tes massal, penelusuran kontak, isolasi, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.

"Vaksin itu hanya membantu mengatasinya, bukan berarti vaksinasi adalah senjata pamungkas dan semuanya boleh ditinggalkan. Enggak bisa. Semua upaya itu tetap dilakukan dan diperkuat sampai nanti pandemi terkendali," kata Pandu kepada reporter Tirto, Selasa (12/1/2020).

Upaya-upaya lain sampai saat ini belum maksimal. Misalnya, meski jumlah yang dites sudah melampaui standar WHO yakni 1000 per 1 juta penduduk dalam waktu seminggu, hampir setengah dari jumlah itu berasal dari DKI Jakarta.

Program vaksinasi pun bukan berarti akan berjalan mulus. Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman mengatakan banyak tantangan untuk menyelenggarakan itu.

Pertama soal pengadaan. "Bagaimana pemerintah bisa mendapatkan vaksin dari berbagai merek, dari berbagai negara. Karena bukan cuma Indonesia yang pesan tapi seluruh negara," kata Dedi kepada reporter Tirto, Selasa.

Untuk mencapai kekebalan komunitas--situasi di mana virus sulit menemukan inang--vaksinasi harus menjangkau 60-70 persen penduduk yang di Indonesia berarti jumlahnya 181 juta. Jika masing-masing membutuhkan dua dosis, pemerintah harus memastikan ketersediaan 362 juta dosis vaksin, plus 15 persen sebagai buffer sebagaimana disyaratkan oleh WHO. Diperkirakan Indonesia butuh 426 juta dosis.

Beberapa hari lalu tiba 15 juta bahan baku vaksin COVID-19 di Indonesia dari Sinovac. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan perlu satu bulan bagi PT Bio Farma untuk memproduksi vaksin itu.

Berdasarkan presentasi Menkes Budi pada 29 Desember lalu, Indonesia baru mengikat kesepakatan untuk 329.504.400 dosis vaksin dan potensi tambahan sebanyak 334 juta. Kesepakatan itu datang dari Sinovac sebanyak 125 juta dosis untuk kedatangan Desember 2020-Januari 2022, Novavax 50 juta dosis untuk Juni 2021-Maret 2022, AstraZeneca dan Pfizer masing-masing 50 juta dosis untuk Q2 2021-Q1 2022, dan COVAX/GAVI 54 juta dosis pada Q2 2021-Q1 2022.

Tantangan kedua adalah pelaksanaan. Dedi mengatakan perlu disiapkan mekanisme yang mumpuni agar tak ada yang tertinggal dalam vaksinasi mengingat begitu banyak orang yang harus disuntik sebanyak dua kali.

Vaksin juga harus ada dalam lingkungan yang dingin sehingga perlu mekanisme cold chain untuk distribusi ke seluruh Indonesia. "Yang kita khawatir rusak karena mungkin mati lampu atau yang lain," kata Dedi.

Untuk menjangkau seluruh Indonesia pemerintah di Jakarta tampak begitu mengandalkan puskesmas. Juru Bicara Program Vaksinasi Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan 13 ribu puskesmas, 2500 rumah sakit, dan 49 kantor kesehatan pelabuhan disiapkan menyelenggarakan vaksinasi massal yang rencananya hingga 15 bulan ini. Sebanyak 30 ribu vaksinator pun disiapkan.

Masalahnya, berdasarkan Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) tahun 2019, hanya 77,6 persen puskesmas yang memiliki pembeku. Selain itu ada 10 persen puskesmas yang tidak memiliki cold box dan kontainer vaksin yang masih berfungsi.

Berdasarkan survei Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) terhadap 674 Puskesmas pada Agustus-September, ditemukan 66 persen puskesmas kekurangan masker N95, 43 persen kekurangan gaun medis, dan 40 persen kekurangan masker medis untuk pelayanan pasien dengan gejala mirip COVID-19. Selain itu, sumber daya manusia di puskesmas pun terbatas untuk mengejar target vaksinasi, menegakkan 3T, dan menjalankan layanan kesehatan esensial.

"Kini di lapangan puskesmas sudah disiapkan untuk proses vaksinasi, sehingga upaya 3T mulai melemah," kata Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda kepada reporter Tirto, Selasa.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino