tirto.id - Sebanyak 566 laboratorium memeriksa sampel swab dari 27.948 orang pada Senin (11/1/2021) kemarin. Dari jumlah tersebut, 8.692 di antaranya dinyatakan positif COVID-19. Dengan demikian, positivity rate mencapai 31,10 persen--satu dari tiga sampel dinyatakan positif. Jumlah ini merupakan yang tertinggi selama pandemi melanda Indonesia.
Ini adalah kali kedua positivity rate mencapai lebih dari 30 persen. Minggu (10/1/2021), dari 31.743 sampel yang diuji, 9.640 di antaranya positif atau setara 30,36 persen. Pada dua hari pertama 2021, positivity rate mencapai 29,45 dan 29,54 persen.
Positivity rate yang tinggi “menunjukkan wabah sudah tidak terkendali lagi,” kata Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Hamka Mouhammad Bigwanto kepada reporter Tirto, Senin. Sebagai gambaran, positivity rate dikatakan aman jika ia berada di angka 5 persen, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ia menduga tingginya positivity rate diakibatkan peningkatan mobilitas masyarakat pada libur Natal dan tahun baru.
Pendapat itu terkonfirmasi lewat temuan Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Sebanyak 33 kecamatan telah melaporkan adanya klaster keluarga setelah liburan. Total ada 111 klaster dan sejauh ini 351 orang terkonfirmasi positif. Sebanyak 55 klaster dengan 175 kasus positif punya riwayat bepergian ke Jawa Barat; 16 klaster dengan 53 kasus positif pernah ke Jawa Tengah; 9 keluarga dengan 29 kasus positif pernah ke Yogyakarta; dan 7 keluarga dengan 23 kasus positif pernah ke Jawa Timur.
Kondisi ini diperparah dengan masih rendahnya kapasitas tes. Memang, setelah 11 bulan pandemi, akhirnya jumlah tes mingguan mencapai standar WHO, yakni 269.638 orang. WHO menetapkan standar 1.000 tes per 1 juta penduduk dalam kurun waktu satu minggu atau setara 267 ribu dengan asumsi penduduk 267 juta. Namun perlu digarisbawahi, angka itu adalah rata-rata nasional. Sebanyak 118.315 orang atau 43,8 persen di antaranya hanya berasal DKI Jakarta.
Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-18, pada 6 Desember masih banyak daerah yang gagal memenuhi standar WHO tersebut, misalnya Jawa Timur, Banten, dan Sumatera Utara.
Selain soal ketimpangan wilayah, Bigwanto menilai harus diperhatikan juga berapa banyak orang yang dites dalam status sebagai kontak erat atau suspek, dan tes yang dilakukan dalam rangka pencarian kasus secara aktif yang menyasar orang-orang yang tanpa gejala dan tidak mengetahui riwayat kontaknya tapi ada kemungkinan positif.
Bigwanto mengatakan “selama ini tes kita sifatnya reaktif, kalau ada kasus, kontak erat, termasuk suspek, bukan pro aktif memenuhi rasio tes dan jumlah penduduk.”
Indonesia juga masih kewalahan soal penelusuran kontak, dibuktikan dengan rasio lacak isolasi (RLI) yang dikembangkan KawalCovid19. RLI membagi jumlah kontak erat per wilayah dengan jumlah kasus terkonfirmasi. Dari sini akan diketahui berapa rata-rata orang yang disaring menjadi kontak erat per satu kasus positif.
Hasilnya, per 8 Januari 2021, masih banyak wilayah di Indonesia yang rata-rata hanya menjaring kontak erat sebanyak 10 orang bahkan lebih rendah dari itu. RLI Kota Manado, misalnya, hanya 0,05; Surabaya hanya 0,35; Kota Bekasi hanya 0,74; dan Kota Semarang 0,03. Dengan kata lain, di kota-kota ini, dalam satu kasus positif belum tentu ada yang dijaring menjadi kontak erat.
Angkanya masih jauh dari standar: 20-30 orang per satu kasus positif.
Situasi ini tak menunjukkan progres berarti sejak berbulan lalu. Pada Oktober lalu, seorang epidemiolog menyimpulkan 3T (testing, tracing, treatment) yang merupakan kewajiban pemerintah “masih berkisar jargon dan wacana”.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menilai peningkatan positivity rate belakangan disebabkan tren kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan menurun. Karenanya, untuk meningkatkan itu, Satgas mengarahkan untuk mengaktifkan kembali posko COVID-19.
Walau begitu, tak ada target khusus terkait testing atau tracing. “Target kita menyesuaikan standar WHO,” kata Wiku, singkat.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino