Menuju konten utama

Bulan Ketujuh Pandemi, Strategi 3T Jokowi "Masih Jargon dan Wacana"

Testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (pengobatan) COVID-19 di Indonesia belum memuaskan meski sudah diwanti-wanti Jokowi.

Bulan Ketujuh Pandemi, Strategi 3T Jokowi
Petugas gabungan memanggul keranda berisi boneka "pocong" saat melaksanakan razia masker di Medan, Sumatera Utara, Selasa (29/9/2020). ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/Lmo/foc.

tirto.id - Sebelum vaksin ditemukan, 3T atau testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (pengobatan) adalah jurus ampuh mengatasi pandemi COVID-19 yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak Maret lalu. Pemerintah lewat gugus tugas pun mengatakan demikian April lalu, dua bulan sejak Corona masuk Indonesia.

Pernyataan serupa ditegaskan kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin 13 Juli 2020. Konsentrasi pemerintah untuk meredam pandemi COVID-19 adalah "memasifkan 3T", terutama di "8 provinsi", kata Jokowi.

Delapan provinsi yang dimaksud adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Papua. Di daerah itu angka penularan virus tinggi.

Memasuki bulan ketujuh pandemi dan bulan ketiga penegasan Jokowi, ternyata penerapan 3T di Indonesia masih mendapatkan rapor merah.

Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mengatakan 3T pemerintah "masih berkisar jargon dan wacana." Akibatnya, kata Masdalina kepada reporter Tirto, Rabu (30/9/2020), "teman-teman surveilans di lapangan jadi putus asa."

Misalnya soal tes. Tenaga kesehatan di puskesmas kerap diberikan target jumlah orang untuk dites, katanya, namun tidak diberikan kriteria siapa saja yang harus dites--semestinya tes diutamakan pada mereka yang kontak erat dengan pasien positif atau suspek.

Jika pun kontak erat sudah terlacak dan diminta untuk isolasi mandiri, tidak ada pengawasan terhadap mereka. Akibatnya, mereka masih bebas berkeliaran, dan dengan demikian bisa menularkan kepada orang lain.

"Selama ini yang kami urus kasusnya semua isolasi ke hotel, isolasi mandiri, isolasi rumah sakit, tapi kontak eratnya ini gimana? Disuruh karantina siapa yang awasi? Itu enggak pernah diurus," katanya.

Rapor Merah

Intensifikasi 3T yang sekadar "jargon dan wacana" terbukti lewat data. Pertama soal jumlah tes. Jumlah tes di Indonesia memang terus bertambah, 188.689 orang sepanjang 23-29 September. Tapi jumlah itu masih jauh di bawah standar WHO, yakni 1 orang per 1.000 penduduk selama satu minggu.

Dalam konteks Indonesia berarti harus ada 268 ribu penduduk dites dalam satu minggu.

Kondisi ini diperparah dengan ketimpangan tes antar provinsi. Dari 188.689 tes, 39,3 persen di antaranya, yakni 74.338 tes, disumbangkan oleh DKI Jakarta. Berdasarkan data Pusdatin Kementerian Kesehatan, pada minggu ketiga Agustus Sulawesi Tengah baru mengetes 74 orang per 1 juta penduduk; Lampung 106 orang per 1 juta penduduk; bahkan Nusa Tenggara Timur baru mengetes 29 orang per 1 juta penduduk.

Muhammad Kamil dari PandemicTalks, sebuah inisiatif warga untuk mengolah data terkait pandemi COVID-19 di Indonesia, mengatakan jumlah tes yang bertambah berbanding lurus dengan positivity rate (perbandingan jumlah orang yang positif dengan yang dites) menunjukkan bahwa penularan makin masif. Itu sekaligus menunjukkan "Indonesia belum bisa mengendalikan atau menghentikan pandemi," kata Kamil lewat keterangan tertulis, Rabu.

Pada Mei lalu, positivity rate Indonesia di angka 10,8 persen, sementara September (sampai tanggal 27) terdongkrak ke angka 16,5 persen, lebih dari tiga kali lipat target WHO yakni 5 persen.

Bagaimana dengan penjejakan kontak (tracing)? Idealnya, setiap ada kasus baru, petugas surveilans akan melakukan penjejakan riwayat kontak pasien tersebut selama dua minggu terakhir--sesuai masa inkubasi virus. Mereka yang terjaring akan diisolasi dan dites.

Berdasarkan rasio lacak dan isolasi (RLI), yaitu rerata jumlah orang yang dijadikan suspek setiap ada kasus positif yang dihitung KawalCovid-19, RLI 3/4 dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia masih berkisar di angka 1 sampai 9. Lagi-lagi angka tersebut di bawah standar WHO, minimal 30 orang terjaring dalam penjejakan kontak erat.

RLI DKI Jakarta bahkan terpuruk di angka 1,8--dalam satu kasus positif rata-rata kurang dari 2 orang yang dijaring dan dijadikan suspek. Bahkan ada daerah yang RLI nya berkisar di angka nol. Artinya, daerah itu hampir tidak menjaring satu pun kontak erat setiap ada kasus positif.

Salah satu pendiri KawalCovid-19 Elina Ciptadi menduga itu disebabkan tidak ada target jumlah orang yang dijaring per kasus positif, berbeda dengan pengetesan yang dipatok 1 per 1.000 penduduk selama seminggu.

"Kuncinya, kan, mereka yang punya komorbid terdeteksi dini sehingga kasusnya tidak terlanjur rumit; kedua, menjaring mereka yang tidak bergejala tapi menular. Nah, itu bisanya hanya dengan tracing. Jadi kalau misalnya banyak orang dites tapi tidak didasarkan pada kegiatan penelusuran kontak erat, ya OTG ini tidak terjaring," kata Elina.

Dari aspek treatment atau perawatan, menurut PandemicTalks yang datanya diolah dari Pusdatin Kemenkes, RS Online, dan BPS, per 7 September rasio ketersediaan tempat tidur RS COVID-19 mencapai 13 orang. Artinya, setiap 13 tempat tidur diperebutkan 100 ribu penduduk.

Belum lagi bed occupancy rate (BOR) yang mencapai 49,8 persen (dari 37.120 tempat tidur, yang dirawat mencapai 18.500). Menurut WHO, standar BOR itu maksimal 60 persen--tinggal 11 persen lagi.

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino