Menuju konten utama

Indonesia Darurat Pelecehan Seksual Saat RUU PKS Dipunggungi

Banyak korban kekerasan seksual bersuara di media sosial baru-baru ini. Ini semakin mempertegas bahwa RUU PKS penting disahkan.

Indonesia Darurat Pelecehan Seksual Saat RUU PKS Dipunggungi
Massa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Perempuan Anti Kekerasan berunjuk rasa di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Selasa (14/7/2020). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/hp.

tirto.id - Memasuki paruh kedua 2020, lini masa media sosial ramai kesaksian para korban kekerasan seksual. Kejadian yang menimpa mereka tidak berlangsung ketika kasus tersebut dikuak, melainkan jauh hari.

Pada 1 Juli, dua karyawan Starbucks di Jakarta Utara mengintip payudara seorang pelanggan melalui rekaman kamera pengawas (CCTV). Tindakan mereka viral setelah dikuak akun Twitter @redcherrydreams.

Pada 29 Juli, akun Twitter @m_fikris menceritakan pengalaman pahitnya dikerjai oleh mantan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) bernama Gilang. Gilang berdalih sedang riset dan meminta korban membungkus diri dengan kain jarik lalu direkam, padahal itu hanya untuk memenuhi fetish-nya semata.

Memasuki Agustus, tanggal 2, Laeliya Almuhsin menceritakan pengalaman sebagai korban pelecehan Bambang Arianto yang terjadi pada 2019 di Facebook. Bambang mencatut nama institusi UGM dan NU untuk menjerat para korban.

Pada 5 Agustus 2020, youtuber Turah Parthayana diduga melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa asal Indonesia di Rusia berinisial JA. Turah tercatat sebagai mahasiswa di Rusia. Kasus tersebut terkuak usai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kota Arkhangelsk, Sandi Saputra, membuat utas di Twitter. Kejadian tersebut berlangsung pada 2019. Turah berkilah dan melaporkan balik Sandi ke polisi.

Tiga hari kemudian, AF menguak kisah pemerkosaan terhadap dirinya yang dilakukan Raffi Idzamallah pada 13 Agustus tahun lalu. AF baru berani menguak kisahnya melalui Instagram karena takut dan merasa tak cukup bukti. Begitu kisah tersebut viral, kepolisian lekas bergerak dan pelaku kini ditangkap.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah menilai sikap para korban menguak kisahnya melalui sosial media tidak lain lantaran akses keadilan terhambat dan “sistem hukum yang tidak berpihak pada korban,” selain memang dorongan kesadaran di diri korban akan bahaya kekerasan seksual. “Membangun kesadaran publik, termasuk terhadap yang masih berpikir kekerasan seksual adalah kesalahan korban,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (11/8/2020).

Meski tampak banyak, Senior Independent Advisor on Legal, Policy, Human Rights sekaligus Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala berpendapat korban yang bersuara adalah puncak dari gunung es. Masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak berani menguak pengalaman tragisnya. Kondisi tersebut terjadi lantaran adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban.

“Masyarakat patriarki mengenakan sejumlah nilai atas seksualitas laki-laki dan perempuan berbeda. Korban perempuan cenderung malu mengungkapkan kekerasan yang dialaminya,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.

Sahkan RUU PKS

Keberanian para korban untuk menguak kenyataan pahit tidak dibarengi dengan penegakan hukum terhadap para pelaku. Siti Aminah mengambil contoh bagaimana Gilang hanya dijerat pasal dalam UU ITE. Hal itu menurutnya karena lemahnya perangkat hukum untuk menjerat pelecehan seksual non-fisik.

“Karenanya kami mendorong pelecehan seksual non-fisik ini untuk dijadikan tindak pidana dalam RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual),” ujarnya.

Valentina Sagala yang terlibat dalam Tim Ahli Pemerintah untuk DIM RUU PKS 2019 juga menilai hukum saat ini terbatas untuk memberikan keadilan bagi para korban. Selain itu, pemahaman aparat penegak hukum terhadap kekerasan seksual juga masih lemah. Hal itu akan berdampak pada penanganan sebuah kasus.

“Dari segi sosiologis, jelas korbannya banyak. Dari segi yuridis, ada kekosongan hukum. Dari segi filsafat, Pancasila dan UUD 1945 jelas tidak membenarkan adanya kekerasan,” katanya, lalu menegaskan, “jelas, RUU PKS tidak hanya dibutuhkan, tapi mendesak.”

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni juga menilai bahwa penanganan kasus kekerasan seksual yang merujuk pada KUHP “masih belum cukup untuk melindungi para korban.” Ia juga sepakat perlunya RUU PKS untuk memberikan keadilan bagi para korban.

Sayangnya, RUU PKS ditunda untuk dibahas. DPR sepakat tidak memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020.

Sahroni juga mengaku menyesali keputusan tersebut, meski dia juga merupakan anggota dewan. Sebagai bentuk komitmen perlindungan kepada para korban, Sahroni berjanji memberikan perhatian khusus dari segi penegakan hukum agar semua kasus segera ditindak oleh aparat.

“Saya juga menyampaikan kepada para korban untuk tetap speak up, jangan pernah takut atau merasa terintimidasi,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino