tirto.id - Gilang Aprilian Nugraha (22) tidak dijerat dengan pasal terkait pelecehan seksual. Polrestabes Surabaya menjerat pelaku fetish jarik ini dengan Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 45 ayat (4) dan/atau Pasal 29 juncto Pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau pasal Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
“Dugaan tindakan tersangka dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan pengancaman,” ujar Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Johnny Eddizon Isir, Sabtu (8/8/2020).
Kasus ini berdasarkan laporan polisi Tipe A Nomor:LP/A/08/VII/Res.1.24/2020/Jatim Restabes Sby bertanggal 31 Juli 2020.
Polisi menangkapnya di Dusun Margasari, Desa Terusan Mulya, Kecamatan Bataguh, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (6/8/2020). Barang bukti yang disita yaitu satu lembar jarik batik, selembar kain putih, dan dua benang (hitam dan putih).
Lima saksi korban, ahli bahasa, ahli pidana, ahli ITE, dan perwakilan Kominfo diperiksa dalam perkara ini. Kepolisian juga bekerja sama dengan pihak Universitas Airlangga, tempat pelaku sempat berkuliah, untuk mengungkap peristiwa.
Dari sana diketahui bahwa Gilang beraksi dari rumahnya karena pandemi COVID-19. Sementara lokasi salah satu korban, berdasarkan keterangan tertulis kepolisian, berada di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sebanyak 25 orang pernah jadi korbannya sejak lima tahun terakhir.
Dalam waktu dekat polisi akan mengecek kondisi kejiwaan Gilang.
Pentingnya RUU PKS
Isir menyatakan tindakan Gilang belum memenuhi unsur kekerasan seksual. “Ancaman terkait dengan perbuatan tersangka, belum bisa memenuhi anasir-anasir dari elemen Pasal 292 KUHP (Pasal 296-297). Karena korbannya bukan anak-anak, korban sudah dewasa dan sesama jenis. Jaraknya juga menggunakan alat (ponsel), divideokan kemudian ditransmisikan,” terang Isir.
Namun, menurut ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar, ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (10/8/2020), kasus ini sudah jelas pelecehan seksual. “Dalam konteks kasus Gilang sudah jelas, yang terjadi adalah pelecehan seksual atau pelanggaran kesusilaan,” ucap Ficar.
Dalam sebuah artikel di Hukumonline, dijelaskan bahwa dalam KUHP sebenarnya tidak terdapat istilah pelecehan seksual. Meski demikian, pelakunya tetap dapat dihukum. “Dapat dijerat pasal pencabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP).”
Ficar menegaskan UU ITE juga dapat dikenakan, “jika terbukti ada kesengajaan menyebarkannya melalui elektronik.”
Ia juga mengatakan jika perbuatan pelaku teridentifikasi sebagai penyakit, maka tidak mustahil ada alasan pemaaf baginya. Namun, Inez Kristanti menegaskan fetish“belum tentu” merupakan gangguan psikologis. Tidak masalah jika keduanya mau sama mau. Dalam kasus ini, Gilang melakukan pemaksaan dengan alasan penelitian.
Sementara menurut Kepala Biro Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Rivanlee Anandar, penggunaan UU ITE dalam kasus ini menandakan isu pelecehan seksual masih dianggap sebelah mata.
“Kasus kekerasan seksual ini tidak bisa dilekatkan semata-mata pada aturan normatif saja, tetapi harus ada tindakan afirmatif dalam penanganannya,” katanya kepada reporter Tirto.
“Di sisi lain, hal inilah yang mendorong masyarakat untuk [mendesak DPR] mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS),” imbuh dia.
Ada sembilan tindak kekerasan seksual yang akan dipidana, yang sebagiannya tidak diatur dalam KUHP atau peraturan lain. Komnas Perempuan akan memasukkan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) ke dalam naskah akademik dan draf.
Pada paripurna terakhir DPR 2014-2019, RUU PKS tidak masuk ke dalam RUU carry over. Artinya, pembahasannya harus diulang lagi dari awal oleh DPR periode selanjutnya. Masa depan peraturan ini makin suram ketika Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengirim surat kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR agar RUU PKS dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 sehingga pembahasannya tahun ini akan disetop. “Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit,” kata Marwan.
Direktur LBH Surabaya Abdul Wachid Habibullah juga berpendapat perbuatan Gilang adalah tindak kekerasan seksual. Selain itu, “patut ditelusuri juga jika ada korban anak-anak, maka bisa dikenakan UU Perlindungan anak,” katanya kepada reporter Tirto. Beberapa orang yang mengaku korban di Twitter bilang mereka masih SMA. Itu artinya mungkin masih anak (di bawah 18 tahun).
Berkaitan dengan pernyataan polisi soal sesama jenis, menurut Wachid kekerasan seksual tak memandang jenis kelamin. Laki-laki juga bisa jadi korban. Maka ia juga mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS sebab peraturan yang ada saat ini belum mumpuni untuk menjerat pelaku.
Pengenaan UU ITE tidak tepat karena menurutnya, UU tersebut hanya mengatur tindak pidana yang berasal dari media elektronik seperti penghinaan/pencemaran nama baik, pemerasan, muatan kesusilaan, perjudian, dan lainnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino