Menuju konten utama

Bungkamnya Korban Kekerasan Seksual demi Nama Baik Gereja Katolik

Korban pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik bungkam selama puluhan tahun karena tembok tebal otoritas.

Bungkamnya Korban Kekerasan Seksual demi Nama Baik Gereja Katolik
Ilustrasi kekerasan Seksual di Gereja Katolik. tirto.id/Lugas

tirto.id - [Peringatan: Cerita berikut bisa memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan.]

Meski terjadi 27 tahun lalu, Sisca, yang minta namanya disamarkan, masih ingat ketika ia murid kelas lima di Sekolah Katolik Sang Timur, Jakarta Barat, sewaktu ia diraba-raba oleh seorang pastor yang sangat dihormati di Gereja Maria Bunda Karmel.

“Dia meraba-raba saya saat saya sedang berlutut melakukan pengakuan dosa di sebelahnya. Waktu itu perasaannya, ‘Aduh kok aneh, ya? Kayaknya enggak bener, nih,” kenang perempuan yang kini berusi 38 tahun itu. “Cuma saat itu karena masih anak-anak, belum bisa membahasakannya.”

Siswa Katolik dari Sang Timur punya tradisi melakukan dua kali pengakuan dosa dalam setahun, sebelum Natal dan Paskah, kata Sisca. Jumlah siswa yang melimpah dan kotak pengakuan dosa yang cuma dua, membuat pengakuan dosa di kamar capel jadi hal biasa. “Kalau ruang pengakuan dosa itu ada sekatnya. Capel enggak ada. Karena pengakuan dosa sifatnya rahasia, jadi ruangannya ditutup,” kenang Sisca. Selama pengakuan dosa tak lebih 10 menit itu, sang imam—“yang dulu umurnya sekitar 60-an, sekarang mungkin 80-an”—menyentuh pinggul dan tubuh Sisca.

Seiring bertambah umur, ada rasa mual ketika Sisca mengingat kejadian itu. “Digerayangi itu jijik banget,” ungkapnya. Perasaan itu berubah trauma. Sudah belasan tahun Sisca tak melakukan pengakuan dosa—kegiatan rohani bagi pemeluk Katolik.

“Saya sempat kasih tahu Mama, yang akhirnya melaporkan ke gereja, tetapi saya enggak lihat perubahan. Imam masih melayani di gereja, bahkan sampai sekarang,” cerita dia.

Sisca berani membagikan kisahnya kepada tim kolaborasi Tirto dan The Jakarta Post karena melihat romo pelaku itu masih berkeliaran di Sang Timur. Ia masih sering melihat romo itu memberkati anak-anak yang datang pagi ke sekolah, saat mengantar anaknya yang kini bersekolah di sana.

Ellen, kawan Sisca di sekolah yang sama, yang juga namanya kami samarkan, pernah dilecehkan oleh romo yang sama.

Kejadian pertama saat Ellen masih SMP. Ada tugas wawancara di sekolah, Ellen dan seorang sahabatnya memutuskan mewawancarai romo itu karena berpikir akan dapat nilai yang bagus. Mereka mendatangi kantor romo tersebut.

“Setelah selesai wawancara, diberkati, habis itu dia cium. Biasanya dia cium jidat terus di pipi. Saat itu dia rada kepinggir dikit kena bibir. Waktu itu aku positive thinking saja, ‘Ah, mungkin enggak sengaja.’ Enggak ada pikiran jelek lah,” cerita Ellen.

Pastor itu sempat dipindahkan dari Paroki Maria Bunda Karmel Tomang, tapi Ellen tak tahu alasannya.

Kejadian kedua saat Ellen SMA. “Nah, aku suka berdoa di gereja, kali itu gue yakin dia emang sengaja karena pas banget di bibir,” kenang Ellen.

Ellen takut melaporkan kejadian itu karena berpikir akan berdampak kepada nilai di sekolah. Tapi, seorang kawan yang diceritakan Ellen mengadu kepada seorang suster.

“Enggak tahu juga apa tanggapan suster. Tiba-tiba, romonya menelepon ke rumah. Gue pikir dia menelepon mau minta maaf, tapi enggak. Dia malah tanya, ‘Lagi ngapain?’—jadi kayak orang pacaran. Aku bilang, ‘Tolong jangan ganggu hidup saya lagi’,” cerita Ellen, kini berusia 37 tahun.

Romo yang dimaksud Ellen dan Sisca sepemantauan kami masih ada di Sang Timur, meski kini sudah pensiun.

Romo Kepala Paroki Maria Bunda Karmel Tomang Andreas Yudhi Wiyadi berkata tak pernah mendengar laporan apa pun mengenai pelecehan seksual oleh romo itu, setelah kami mengonfirmasi kasus yang dialami Sisca dan Ellen.

Swear, selama saya di sini, saya tidak tahu ada kejadian begitu. Dan, capel tidak pernah digunakan buat pengakuan dosa. Pengakuan dosa selalu dilakukan di bilik pengakuan dosa,” katanya kepada kami di kantornya pada Februari 2020.

Romo Yudhi bersikeras bahwa ia tidak pernah mendengar kasus kekerasan atau pelecehan seksual terjadi di gerejanya. “Itu, kan, sudah terjadi lama, dan kalau memang terjadi, pasti laporannya masuk ke saya. Tapi, saya tidak pernah dapat laporan.”

Mungkin karena korban takut melapor?

“Kejadian begitu harusnya bisa dilaporkan kepada kami. Dan kami pasti akan bertindak tegas. Kalau tidak, susah menanganinya,” ungkap Romo Yudhi.

Warta Minggu, majalah paroki tempat tugas Romo Yudhi, pernah mengangkat kasus paling sensitif di gereja mengenai pelecehan seksual pada Desember 2019. Laporan itu mengutip data yang dipaparkan Romo Joseph Kristanto dalam satu diskusi di Jakarta. Data itu kemudian disangkal oleh Kardinal dan Uskup Keuskupan Jakarta Romo Ignatius Suharyo, pemimpin tertinggi Katolik di Indonesia, dalam jumpa pers tahunan Natal 2019 di Katedral Jakarta. Kardinal Suharyo berkata Romo Kristanto “tertunduk-tunduk minta maaf” karena menyampaikan data tersebut.

Tak lama setelah laporan Warta Minggu, Romo Yudhi, pembina mingguan itu, kini dipindahkan ke Keuskupan Palembang. Koleganya, Romo Andreas Dedy Purnawan, pendamping majalah itu, dimutasi ke Malang. Romo Yudhi berkata kepada kami bahwa kepindahan dia dan Romo Dedy tak ada kaitannya dengan laporan majalah itu, melainkan masa tugasnya di Maria Bunda Karmel Tomang telah berakhir.

Korban Perempuan Dewasa

Dea, yang namanya kami samarkan, adalah korban perempuan dewasa dari seorang Romo berinisial M dari Gereja Katolik Aloysius Gonzaga Paroki Cijantung di Jakarta Timur. Romo M memanipulasi Dea untuk melakukan hubungan seksual dengan janji akan menikahinya.

Dea bercerita perkenalannya dengan Romo M pada Juni 2008 saat rutin bertemu dalam proyek pekerjaan bersama. Dea berkata Romo M mengatakan hal semacam “cium aku”, “Wah kalau sering pergi berdua begini, kita bisa pacaran”, atau menyenggol-nyenggol kaki Dea di bawah meja pada hari kesembilan pertemuan mereka.

Hari berikutnya, Romo M berani mengajak Dea melakukan hubungan seksual.

“Kamu enggak sadar kamu siapa?” kata Dea. “Kamu itu pastor. Kamu enggak boleh menggoda perempuan.”

“Tapi aku yakin kamu mau. Kamu suka, kan, sama aku? Kamu sayang, kan, sama aku?” kata Romo M, dari cerita Dea kepada kami.

“Memang kalau sayang harus melakukan hal tersebut, memang kalau cinta harus melakukan itu? Enggak, kan?” tegas Dea.

“Ayolah… aku tahu kamu mau, aku sudah pengin, nih.”

Romo M berusaha membuka baju Dea. Dea menolak. Romo M hampir membuka celana Dea. Dea memprotes.

“Kamu jahat sama aku,” kata Romo M.

“Jahat kenapa?”

“Kamu enggak mau kasih. Aku pengin, nih,” Romo M berbisik kepada Dea, kembali berusaha membuka baju Dea.

“Aku pulang.” Hari itu Dea berhasil menolak.

Tapi, usaha memanipulasi bukan sekali itu saja. Beberapa kali, kata Dea, Romo M menjanjikan akan menikahinya; berjanji akan menanggalkan jabatan imam.

Romo M dan Dea melakukan hubungan seksual beberapa kali. Gelagat Romo M berubah setelah curiga Dea hamil. Romo M menghindari Dea dan keluarganya. Dea menuntut tanggung jawab Romo M.

Kabar itu sampai ke telinga para pemimpin imam di Congregatio Sanctissimi Redemptoris (CSsR)—Kongregasi Sang Penebus Mahakudus—di Indonesia, yang kemudian mengunjungi Dea dan menanyakan kebenaran kabar tersebut.

“Namun, mereka tidak memberi saya solusi apa pun,” kata Dea, kini berusia 38 tahun. Dea menangkap kesan bahwa pejabat gereja menyembunyikan Romo M dari Dea dan tuntutan keluarganya.

Tak lama setelah itu, Romo M dipindahkan ke Markas CSsR Indonesia di Sumba, Nusa Tenggara Timur, ujar Dea. Ia berharap Romo M kelak diberhentikan sebagai imam untuk menghindari lebih banyak korban di masa depan.

Kami berusaha mengonfirmasi kabar mutasi Romo M kepada Romo Wilhelmus Ngongo Palla, Provinsial CSSR. Tapi tidak ada respons hingga laporan ini dirilis.

Kami juga berusaha mengonfirmasi usaha Dea mencari keadilan kepada sejumlah nama yang ia sebut mengetahui cerita ini. Tapi, sebagian orang sudah tidak aktif di Paroki Cijantung; ada yang pindah ke Vatikan; ada yang sudah meninggal.

Saat kami ke Paroki Cijantung, kami bertemu dengan Romo Kepala Paroki Handrianus Mone, yang berkata “cuma pernah dengar” peristiwa yang dialami Dea. Romo Handrianus mengaku mengenal Romo M. “Tapi, saya tidak ada ketertarikan untuk mendalami kasus itu,” katanya kepada tim kolaborasi pada Februari 2020. (Romo Kepala Paroki Cijantung saat kasus Dea adalah Romo Wiryowardoyo, yang telah meninggal pada 2018.)

Romo Handrianus berkata sampai saat ini tidak pernah ada kasus serupa terdengar lagi di gerejanya.

Saya menghubungi Romo M, yang kini aktif di sebuah yayasan pemerhati masyarakat lokal dan lingkungan hidup di Sumba. Namun, pesan yang saya kirim lewat WhatsApp cuma bercentang dua biru, tanpa balasan.

Ada Relasi Kuasa

Aktivis perjuangan keseteraan perempuan Mike Verawati Tangka berkata ada relasi kuasa tak terbantahkan antara laki-laki dan perempuan, apalagi pemimpin agama laki-laki dan jemaat perempuan. Relasi kuasa yang timpang inilah sering berperan penting dan dipakai oleh orang yang lebih berkuasa untuk memanipulasi korbannya.

“[Hubungan seperti itu] tidak akan pernah terjadi di tempat pertama jika ulama, yang merupakan pihak yang kuat, tidak memulainya,” kata Mike.

Ia juga mencatat, dalam situasi demikian, seringkali perempuan jadi pihak yang harus disalahkan ketika mereka akhirnya menemui masalah seperti pelecehan dan pemerkosaan dalam hubungan.

“Orang-orang akan selalu mengatakan itu adalah kesalahan wanita karena bersedia memiliki hubungan dengan para pemimpin agama, sementara pada kenyataannya wanita-wanita ini adalah yang rentan.”

Damairia Pakpahan, aktivis perempuan yang mendampingi kasus-kasus kekerasan seksual termasuk di lingkungan gereja, menegaskan permasalahan relasi kuasa yang sering membuat korban kesusahan mendapatkan “penyelesaian yang adil” untuk pelecehan seksual.

Dalam beberapa kasus, para korban yang melaporkan penganiayaan seperti itu kepada para pemimpin atau lembaga pelaku dibungkam dengan cara apa pun, sementara imam yang dituduh hanya akan menghadapi hukuman ringan seperti dipindahkan ke paroki lain.

“Itu bukan solusi. Itu hanya berarti memindahkan masalah ke tempat lain,” kata Damairia.

Mutasi Romo Bermasalah bak Lagu Lama

Praktik mutasi “romo yang bermasalah”, bagaimanapun, bak lagu lama di Katolik. Novelis Felix K. Nesi, harus menanggung risiko sebagai tersangka pada awal Juli kemarin karena memprotes institusi gereja yang lambat mengurusi “pastor bermasalah”.

Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 untuk Orang-orang Oetimu ini mengungkap kekecewaan dan kemarahannya atas pihak pastoran SMK Bitauni di Nusa Tenggara Timur—hanya sekitar 700 meter dari rumah Felix—yang mau menerima “Romo A” dari Paroki Tukuneno (masih satu Keuskupan Atambua) sejak sekitar awal tahun ini.

Romo A, tulis Felix, “bermasalah dengan perempuan dan berbuat salah kepada perempuan.”

Felix mengisahkan ia mendatangi Romo Kepala SMK Bitauni Vinsen Manek agar memindahkan Romo A dari “sekolah menengah yang penuh dengan perempuan.” Romo kepala berkata kehadiran Romo A “hanya sementara.” Lalu, sekitar Maret atau April, Felix kembali lagi ke pastoran dan menagih janji. Ia juga bertemu dengan Romo A dan berkata: “carilah tempat sepi untuk berefleksi sebelum berkarya kembali.” Pembicaraan itu macet.

Puncaknya, pada 3 Juli, saat Felix kembali ke pastoran dan mengetahui Romo A masih ada, ia meluapkan kekecewaannya dengan memecahkan jendelan pastoran dengan helm.

Romo Vinsen Manek tak merespons permintaan wawancara dari saya. Kepada The Jakarta Post, ia enggan memberikan komentar lebih. “Saat itu terjadi, saya tidak di sana. Saya sedang pulang kampung ke Malaka sejak 1 Juli, jadi tidak bisa berkomentar,” katanya.

Keuskupan Atambua, yang diwikili oleh Romo Mateus da Cruzz dan Romo Paulus Nahak, di sisi lain, memberikan tanggapan dengan menyebar rilis yang menganggap kasus Romo A “dengan soerang gadis” sudah diatasi sesuai Hukum Kanonik.

Masalah Romo A dianggap telah diselesaikan oleh kedua belah pihak (termasuk korban) secara hukum adat dan hukum Gereja. Lewat Surat Keputusan Uskup Atambua Nomor: 41/2020, Romo A “ditempatkan untuk sementara di SMK St. Pius XI Bitauni dalam rangka pengolahan diri, sambil menanti kesempatan kursus penyegaran rohani untuk pengambilan sikap selanjutnya,” demikian isi surat yang sama.

Saya sempat menghubungi Romo A via WhatsApp untuk mengonfirmasi cerita ini, tapi hanya dibaca tanpa ada respons. Ia juga tidak mengangkat telepon dari saya.

Budaya Menutup Kasus ‘demi Menjaga Nama Gereja’

Tim kolaborasi Tirto dan The Jakarta Post mengontak Dr. John Mansford Prior, misionaris dari Serikat Sabda Allah (SVD) atau Society of the Divine Word. Romo Prior, dosen di Ledalero, Flores, menulis pandangan progresifnya mengenai kasus-kasus pelecehan perempuan oleh pastor tertahbis pada awal Juli 2020, menyusul kasus yang dihadapi Felix Nesi setelah memprotes gereja.

Dalam balasan via email, Romo Prior mengkritik praktik mutasi “para imam yang bermasalah” ke tempat-tempat lain.

“Sebagai seorang pamong khalwat selama 40-an tahun di hampir semua keuskupan di Indonesia dan bagi sejumlah tarekat, serta bagi para katekis (juga di Singapura, Malaysia, Australia, Filipina, dan India),” tulis Romo Prior, “saya tahu bahwa soal pelecehan seksual oleh pastor tertahbis sangat umum di hampir semua Keuskupan Indonesia dan dulu banyak uskup memindahkan pastor yang bermasalah ke keuskupan lain—dan diterima. Kiranya, kebiasaan dulu itu sudah tidak belaku lagi.”

“Observasi saya ialah kira-kira 50 persen para pastor belum pernah ada kasus pelecehan seksual atau hubungan intim yang melanggar panggilannya. Ini cuma perkiraan berdasarkan observasi.”

Romo Prior juga menulis ada hubungan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat patriarkal Indonesia, yang membuat lebih mudah bagi laki-laki sebagai orang yang memiliki kekuatan lebih besar untuk melecehkan perempuan.

“Di negara di mana status orang tertahbis masih sangat tinggi, dan karena itu Gereja masih sangat hierarkis, jauh lebih mudah bagi seorang pastor tertahbis untuk memanipulasikan sasaran nafsunya. Entah waktu konseling, entah dalam Sakramen Pengakuan, entah dalam relasi harian,” ungkap Romo Prior.

Ia mendesak gereja mengungkap dan menyelesaikan semua dugaan kasus pelecehan.

“Salah satu cara untuk mengurangi kasus adalah dengan membongkarnya—biar pelaku punya status tinggi, misalnya sebagai seorang profesor di Seminari Tinggi. Budaya menutup kasus ‘demi menjaga nama Gereja’ memperpanjang skandal ini,” tulisnya.

Infografik HL Kekerasan Seksual di Gereja 2

Infografik Hl kasus peleceham dan kekerasan seksual di kalangan gereja selama 2020. tirto.id/Lugas

Persoalan ‘Kode Etik’

Perwakilan Gereja Katolik yang ditunjuk Kardinal Ignatius Suharyo dan terlibat dalam persiapan protokol perlindungan terhadap anak-anak dan orang dewasa rentan (Safeguarding for Minors and Vulnerable Adults), Romo Sunu Hardiyanta dari Serikat Yesus, dalam wawancara dengan tim kolaborasi, berkata kasus-kasus yang melibatkan wanita dewasa tampaknya lebih “terkait dengan kode etik” para klerus.

“Dan itu sebabnya tidak dimasukkan pada buku protokol perlindungan korban kekerasan seksual anak dan orang dewasa rentan,” tambahnya.

Jadi, orang yang memiliki wewenang, dalam hal ini ulama, akan diajari tentang bagaimana menggunakan kode perilaku dengan benar untuk menciptakan “kepemimpinan yang benar,” kata Romo Sunu.

“Sebetulnya relasi dewasa itu lebih ke etika. Code of conduct. Terutama relasi kuasa.”

“Saya kasih contoh kecil: orang mencari seorang pembimbing, kalau pembimbing kurang berpengetahuan, dia tidak tahu kapan terjadi proses transfer. Oleh karena itu, seorang pembimbing harus belajar sungguh-sungguh. Maka relasi kekuasaan itu perlu diatur,” ungkapnya.

Hukum (Cuma] Tajam kepada Pelaku di Luar Klerus?

Kolaborasi Tirto dan The Jakarta Post menelusuri dugaan pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik sejak awal Januari 2020. Empat dari lima korban yang diwawancarai oleh kami adalah anak-anak, salah satunya terjadi di Gereja Santo Herkulanus Depok, Jawa Barat.

Kasus Herkulanus meledak pada awal Juni 2020. Pelakunya adalah Syahril Parlindungan Marbun, seorang pembimbing misdinar (bukan klerus) yang melecehkan 21 putra altar, usia antara 11-15 tahun, sejak 2002.

Dimas, yang namanya kami samarkan dan salah satu korban Syahril, bercerita penanganan kasus di gerejanya cukup cepat. “Dan orang gereja emang peduli banget, tim investigasinya cepat untuk menangani,” ungkapnya.

Dimas, kini berusia 20-an, pernah dua kali dilecehkan oleh Syahril saat SMP dan SMA. “Saya berani cerita begini supaya adik-adik tidak ada yang kena lagi,” tambahnya.

Ada anggapan cepatnya penanganan kasus di Depok karena pelaku bukanlah dari kalangan klerus. Apakah hukuman pada pelaku kekerasan seksual akan lebih tumpul jika yang melakukannya imam? Apakah itu dilakukan karena gereja khawatir regenerasi para imam akan bermasalah jika hukumannya dipertajam?

“Lebih baik jumlah imam tidak banyak daripada tidak bermutu,” jawab Romo Sunu dalam wawancara dengan tim kolaborasi pada 23 Juli lalu. “Kalau terus begitu (melakukan kekerasan seksual atau menyalahgunakan profesi), lembaga kita malah bisa kolaps.”

Tentang sanksi mutasi yang berisiko bikin korban bertambah, Romo Sunu berkata timnya sadar akan hal itu.

Pattern itu akan berulang. Maka, kita harus bantu sungguh-sungguh. Saat ini, kita berjibaku untuk hentikan.”

Romo Sunu berkata sikap gereja bulat tentang sanksi atas kasus kekerasan seksual: “Siapa pun yang melanggar harus berhenti. Harus berhenti.”

“Enggak penting itu nama baik. Kalau memang baik, enggak perlu dijaga, namanya tetap baik. Enggak penting itu jaim—jaga citra,” katanya.

=========

Laporan ini terbit berkat kolaborasi antara Tirto dan The Jakarta Post. Tim mewawancarai sedikitnya 20 narasumber untuk seri laporan kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik.

*Kami mengoreksi informasi nama yang akurat untuk mantan kepala paroki Cijantung

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL DI GEREJA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam