tirto.id - Puluhan warga dilaporkan menggeruduk pondok pesantren Sabil Urrosyad di Desa Batu Kuwung, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (29/7). Mereka mencari seorang guru pesantren tersebut, karena diduga mencabuli para santriwati.
Dalam video yang diunggah media lokal, Bantennews tampak anggota kepolisian berjaga di sekitar pesantren. Di ponpes, ada warga yang telah berkumpul. Mereka menuntut agar guru berinisial JM (52) ditangkap.
Kasus tersebut bermula dari laporan warga terkait dugaan pencabulan yang sudah sebulan, akan tetapi belum ditindaklanjuti. Sebelumnya sejumlah warga telah datang ke kantor polisi untuk menanyakan kelanjutkan pelaporan pada Senin (27/7).
Salah satu keluarga korban, Sama'un (48) mengatakan pelaporan dugaan pencabulan bersama tiga keluarga korban lainnya. Mereka datang ke kantor polisi bersama petugas Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Serang.
"Kita sudah melakukan pelaporan sebulan yang lalu kepada Polisi. Sekarang saya mengawal prosesnya atas kejadian prihatin ini yang sedang terjadi di warga Mancak," kata Sam'un, melansir Antara.
Ia bercerita putrinya yang jadi korban telah menjalani pemeriksaan visum yang ditangani P2TP2A Kabupaten Serang. Selama ini, sudah setahun lebih anaknya menjadi santriwati di ponpes tersebut.
"Ada yang laporan dari orang desa ke saya, anak saya ditangani P2TP2A. Saya juga ampai kaget bisa seperti ini," katanya.
Perwakilan petugas P2TP2A Kabupaten Serang, Laela Purnama Sari kepada Antara mengatakan, pihaknya sejauh ini sudah melakukan pendampingan terhadap empat anak korban dugaan pencabulan tersebut.
"Kita bantu pendampingan hukum ke Mapolres, terus kita juga mendampingi visum ke Rumah Sakit," kata Laela.
Kasat Reskrim Polresta Serang AKP Indra Feradinata mengatakan, JM telah ditangkap. Hal itu terjadi setelah warga mendatangi kantor polisi, disusul dua hari berikutnya, warga menggeruduk pondok pesantren.
"Untuk kepentingan penyidikan, tersangka (JM) berikut barang bukti satu unit mobil merek Toyota Avanza warna silver, nopol A-1096-CW, ditangkap Satreskrim Polres Serang Kota," kata Indra.
Indra melanjutkan, pihaknya mendapatkan pelaporan terkait dugaan tindak pidana persetubuhan dan pencabulan yang terdaftar Nomor LPB/199/VII/2020/SPKT.A/ Res Serang Kota bertanggal 1 Juli 2020.
JM dijerat Pasal 81 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kasus di Jombang
Kasus kekerasan seksual di pondok pesantren juga terjadi di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur. Kasus tersebut berjalan sejak tahun lalu. Hingga pertengahan Juli, pelaku tidak ditahan. Semula Polres Jombang menangani kasus lalu Polda Jatim mengambil alih.
Pelaku Mochamad Subchi Azal Tsani (MSAT) telah jadi tersangka sejak 12 November 2019. Dalam aksi terakhir Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual, solidaritas pendukung korban kekerasan seksual di pesantren, pada 15 Juli, muncul desakan untuk menahan tersangka dan menuntaskan kasus.
Peserta aksi telah beraudiensi dengan jajaran kepolisian, tetapi ada ketidakjelasan. Di antaranya polisi mengklaim ada kejelasan pelimpahan kasus ke kejaksaan, tapi korban tidak mendapatkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP).
"Nah, perlu kawan-kawan ketahui, pada Juni korban tidak merasa menerima SP2HP. Ini menjadi catatan kami. Kemudian pertimbangkan dampak psikologis yang dihadapi korban ketika kasus ini terus berlarut. Sampai 15 Juli ini, berarti sudah 260 hari sejak diterimanya kasus," ujar dia salah satu anggota aliansi, Ana Abdillah, melansir Antara.
Saat dikonfirmasi Antara, pihak Polda Jatim mengaku masih melengkapi berkas. Kemudian, penahanan pelaku belum dilakukan. Polda berdalih, kewenangan penahanan ada di penyidik.
Kasus di pesantren Jombang terjadi pada mantan santriwati dan satriwati yang masih belajar. Nun Sayuti, salah satu pendamping korban, menyampaikan bahwa terdapat setidaknya tiga laporan ke Polres Jombang kasus pencabulan yang telah ia tangani dengan tiga korban yang berbeda-beda.
“Namun, karena dua korban sebelumnya adalah anak, jadi pasal yang digunakan berbeda,” jelas Nun awal tahun ini kepada Tirto.
Persetubuhan yang dilakukan dengan anak berusia 18 tahun ke bawah merupakan bentuk pelanggaran pidana yang telah diatur Pasal 76 D dan 76 E dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Pola untuk menjebak korbannya pun selalu sama, dengan mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki ilmu metafakta, dan bisa menikahi siapa pun,” ungkap Nun.
Laporan korban sebelumnya tiba-tiba diberhentikan oleh Polres Jombang pada 31 Oktober 2019, tak lama setelah masuknya laporan dari Ulfah. Dalam surat penghentian penyidikan tersebut, atau SP3, dijelaskan bahwa alasan penghentian adalah “tidak cukup bukti, atau peristiwa bukan tindak pidana”.
Editor: Rio Apinino