tirto.id - Pemerintah memasang target penerimaan perpajakan dalam Rancangan APBN 2019 sebesar Rp1.781 triliun. Angka ini lebih tinggi dari target penerimaan perpajakan di APBN 2018 yang senilai Rp1.618,1 triliun dan diproyeksikan terealisasi Rp1.548,5 triliun.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira Adhinegara khawatir kenaikan target penerimaan pajak tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk membiayai sejumlah program populis pemerintahan Joko Widodo di tahun politik.
"Belanja sosial, dana desa dan transfer daerah, fokus ke peningkatan SDM itu yang disebut dengan belanja-belanja populis di tahun politik," ujar Bhima kepada Tirto pada Jumat (17/8/2018).
Dia menilai sejumlah program populis pemerintahan Jokowi itu akan menjadi beban berat bagi APBN 2019. Apalagi, defisit RAPBN 2019 ditargetkan 1,84 persen dari PDB. Angka itu lebih rendah dari target defisit APBN 2018, yakni 2,12 persen dari PDB.
Bhima juga berpendapat target pertumbuhan penerimaan pajak 10 persen dalam RAPBN 2019 tidak realistis. Sebab, target pajak semestinya disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi. Sementara RAPBN 2019 justru menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen atau lebih rendah dari patokan APBN 2018, yakni 5,4 persen.
"Pertumbuhan pajak harusnya enggak terlalu jauh dari pertumbuhan ekonomi, kalau pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, penerimaan pajak paling enggak tumbuh 6 persen. Itu masih cukup rasional," ujar Bhima.
Selain itu, kata dia, target pajak RAPBN 2019 terlihat tidak realitis karena kinerja industri manufaktur sedang menurun. Pada kuartal II/2018, pertumbuhan industri manufaktur hanya 3,9 persen. Padahal, kontribusi industri manufaktur cenderung yang terbesar dari sektor penerimaan pajak lainnya.
"Program industrialisasi prematur karena share (kontribusi) dari industri manufaktur sekarang tinggal 20 persen terhadap PDB. Kalau [kondisi itu] berlanjut ke 2019, maka kurang rasional pemerintah menaikkan penerimaan pajak 10 persen," ujar Bhima.
Lonjakan harga komoditas minyak dan gas bumi (migas) saat ini, kata Bhima, memang bisa mendorong peningkatan penerimaan pajak melalui Pajak Penghasilan (PPh) migas.
Namun, dia mencatat kontribusi PPh migas selama ini lebih kecil dari pada PPh nonmigas, Pajak Penambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewa (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom