tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan saat ini ia sedang mempelajari murahnya biaya operasional pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dimiliki oleh Uni Emirat Arab (UEA). Ia mempelajari hal tersebut ketika menghadiri sidang OPEC di Wina, ia bertemu dengan menteri bidang energi UEA dan berbicara secara bilateral mengenai perkembangan energi masing-masing negara.
"Mataharinya kita kan sama antara Indonesia dan UEA, kenapa biaya di Indonesia bisa mahal sekali untuk tenaga surya? ini yang harus diefisiensikan," kata Jonan, seperti dikutip Antara, Rabu (21/12/2016).
Dua pembangkit listrik tenaga surya di UEA masing-masing diketahui menghasilkan 150 MW dan 200 MW. Hal yang membuat Jonan takjub adalah biaya per Kwh dari pembangkit 150 MW memiliki biaya operasional kisaran 2 sen lebih, dan untuk hasil 200 MW mempunyai biaya sekitar 2,24 sen.
Sedangkan jika dibandingkan dengan di Indonesia, biaya per Kwh bisa lebih dari 10 sen. Ia masih penasaran dengan besarnya margin antara biaya operasional di UEA dan Indonesia bisa terlalu jauh, padahal berpatokan dari matahari yang sama. Jonan mengaku sudah mengagendakan pertemuan langsung dengan menteri bidang energi UEA untuk mempelajari lebih lanjut secara detail mengenai proses pengembangan tenaga surya di UEA.
"Biar bagaimana, jika menghasilkan energi besar namun biaya operasional juga besar, berarti hal tersebut tidak efisien serta menjadikan industri tidak kompetitif," kata Jonan yang juga pernah menjadi Menteri Perhubungan tersebut.
Jonan pada tahun 2017 menekankan sektor energi menjadi sektor yang fokus terhadap efisiensi produksi. Segala bentuk pemborosan serta arus distribusi yang rumit akan ia benahi sesuai dengan kebutuhan dan potensi energi masing-masing wilayah.
Mantan Dirut PT KAI tersebut sebelumnya juga mengatakan bahwa industri minyak dan gas bumi akan memfokuskan pada efisiensi berbasis hasil produksi. "Hingga saat ini produksi belum efisien. Karena itu kebijakan migas ke depan yang pertama adalah soal efisiensi produksi," kata Jonan ketika menghadiri diskusi out look migas 2017 di salah satu hotel kawasan Jakarta.
Alasan berfokus pada efisiensi produksi adalah karena harga migas tidak menentu dan tidak ada yang memiliki takaran untuk menentukan. Selanjutnya yang kedua adalah migas Indonesia harus belajar lebih menjadi industri kompetitif dan memahami pasar.
Mantan Menteri Perhubungan tersebut juga menyampaikan bahwa berdasarkan data, pada 2016 kapasitas kilang (refinery) pemerintah sebesar 1.169 juta barel. Dan kurun waktu ke depan pemerintah memiliki rencana merevitalisasi kilang yang sudah ada dan juga akan membangun enam kilang baru.
"Kilang baru ini akan dibangun oleh Pertamina dan swasta, jika ingin cari partner ya, bisa dicari atau diatur sendiri, yang penting paham kondisi pasar," kata Jonan.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora