tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta aparat penegak hukum melindungi korban terkait kasus dugaan pelecehan seksual di lingkungan lingkungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK).
Terduga pelaku kasus ini, Syafri Adnan Baharuddin sudah menyatakan mundur dari Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan karena ingin fokus pada perkaranya. Ia juga akan melaporkan korban, Dina (bukan nama sebenarnya) ke polisi.
"Dalam konteks ini, ICJR mengingatkan agar Aparat Penegak Hukum (APH) termasuk Kepolisian dapat berhati-hati dalam memproses kasus ini," kata Anggara, Direktur Eksekutif ICJR, dalam keterangan tertulis pada Senin (31/12/2018).
“Kasus-kasus serupa bukan pertama kali terjadi di Indonesia, kondisi di mana terduga korban kekerasan seksual atas tuduhannya memperoleh serangan balik dari tertuduh banyak terjadi,” lanjut Anggara.
Anggara menegaskan, korban dalam kasus ini harus mendapatkan hak-hak perlindungan dari aparat penegak hukum. Hak tersebut dijelaskan pada Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Salah satunya hak untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Korban dalam proses hukumnya juga berhak untuk memperoleh perlindungan keamanan, bebas dari pertanyaan menjerat dan berhak mendapatkan perlindungan," kata Anggara.
Terkait dengan rencana pelaporan pencemaran nama baik yang dilakukan terduga pelaku kepada korban, ia mengatakan, dalam aturan Pasal 310 ayat (3) KUHP, dinyatakan bahwa “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri".
"Sehingga, dalam konteks RA [Dina], jika nanti SAB [Syafri] melaporkan RA atas dugaan pencemaran nama baik, maka kepolisian harus secara profesional mampu menggali kebenaran tentang dugaan bahwa RA adalah korban kekerasan seksual yang sedang membela diri dan fakta bahwa korban telah melakukan upaya untuk memproses kasusnya di internal BPJS Ketenagakerjaan," jelas Anggara.
Anggara juga menyampaikan, perlindungan korban harus menjadi prioritas dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Pasalnya, kekerasan seksual memberikan dampak traumatis bagi korban.
"Penting bagi negara lewat aparat penegak hukumnya untuk menjamin keberlangsungan hidup korban, baik dalam proses hukum dalam bentuk penyediaan layanan pendampingan korban yang memadai, maupun setelah proses hukum berlangsung dengan menjamin korban memperoleh haknya berupa penggantian kerugian ataupun pendampingan psikososial yang berkelanjutan," kata Anggara.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto