tirto.id - Negara demokrasi terbesar di dunia, India, berusaha tampil netral terhadap invasi Rusia ke Ukraina meskipun sebenarnya tidak. Ketika Dewan Keamanan PBB melangsungkan rapat pada akhir Februari, mereka sekadar menggaungkan istilah-istilah aman seperti dialog dan diplomasi sebagai satu-satunya cara meredakan ketegangan alih-alih ikut menegur secara terbuka kekerasan militer Rusia.
Mereka juga abstain dari pemungutan suara resolusi untuk mengutuk tindakan Rusia sebagai “agresi” di Majelis Umum PBB awal Maret kemarin—yang hasilnya diserukan oleh 141 dari 193 negara.
India belum sekalipun menyinggung nama Rusia saat bersuara di forum internasional. Pernyataan paling maksimal disampaikan perwakilan India untuk PBB T. S. Tirumurti yang mengatakan bangsanya mengakui “tatanan dunia kontemporer” dibangun oleh “respek terhadap kedaulatan dan integritas teritorial semua negara” (ungkapan bermakna personal bagi India, yang puluhan tahun terlibat sengketa perbatasan dengan Cina). Sementara dalam pembicaraan via telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Narendra Modi dilaporkan hanya memintanya “berbicara langsung” dengan Ukraina karena langkah tersebut akan “sangat membantu upaya damai yang tengah berjalan.”
Meskipun elite politik tampak berhati-hati agar sikapnya tak kelihatan pro-Kremlin, sejumlah warganet India di lini masa Twitter justru gencar memopulerkan tagar “I stand with Putin” atau “I stand with Russia”. Di mata mereka, Putin adalah pemimpin heroik: berani menentang sikap semena-mena Amerika Serikat dan Eropa karena sudah menginvasi Afganistan atau melindas rezim-rezim di Timur Tengah.
Ketergantungan India
Sikap yang ditunjukkan oleh pejabat India sebenarnya tidak mengejutkan. Pasalnya, Rusia—atau dulu Uni Soviet—merupakan salah satu kawan paling lama mereka. Ikatan diplomatik dan kerja sama pertahanan serta militer keduanya telah terjalin mapan selama setengah abad.
Relasi tersebut dijaga betul oleh Modi yang terpilih untuk memimpin India pada 2014. Dapat dipahami mengapa ia tampak bersemangat mempertahankan relasi baik dengan penguasa Rusia hari ini, Putin, sebab salah satu ambisi politikus nasionalis ini adalah memperkuat keamanan nasional terutama di daerah perbatasan.
Bromance di antara mereka berdua tak hanya dipamerkan lewat aksi bergandengan tangan di taman St. Petersburg, melainkan juga melalui keputusan membeli sistem rudal S-400 Rusia yang nominalnya bombastis: 5,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp77 triliun pada 2018. Langkah tersebut dipuji Rusia sebagai simbol kedaulatan India dan sebaliknya, bikin gusar pemerintah AS. AS mengancam India dengan sanksi ekonomi karena mereka lebih memilih senjata produksi Rusia ketimbang teknologi serupa buatan Paman Sam (Patriot PAC 3).
Rusia selalu ada, tak terkecuali ketika puncak gelombang Covid-19 menyapu India pada April 2021. Rusia-lah yang bergegas mengirim bantuan logistik termasuk vaksin Sputnik V meski mereka baru memvaksin 7 persen penduduknya sendiri.
Desember silam, Putin dan Modi berjumpa untuk kesekian belas kalinya dalam India-Russia Annual Summit ke-21. Mereka mengukuhkan kerja sama pertahanan dan pengembangan produksi senjata militer bersama. Relasi tersebut ditargetkan bisa berlanjut sampai 2031. Kala itu, Putin memuji India sebagai “kekuatan besar, bangsa yang ramah, kawan yang sudah diuji waktu.”
Mereka juga membuat kontrak baru untuk investasi di sektor besi, konstruksi kapal, batu bara, sampai energi. Pada kesempatan sama, Rusia menekankan bahwa mereka serius untuk senantiasa mendukung misi luar angkasa India dan melatih astronaut-astronaut mereka (warga India yang pertama ke luar angkasa, Rakesh Sharma, ikut serta dalam program Interkosmos milik Soviet pada 1984 silam).
Selama satu dekade terakhir, India tercatat sebagai importir senjata terbesar Rusia. Memang terdapat penurunan volume seiring India menggencarkan atmanirbharta, program pengembangan senjata oleh industri di dalam negeri. Kendati demikian, mereka tetap importir senjata terbesar di dunia, diikuti Arab Saudi, Mesir, Australia dan Cina. Mereka berlima menguasai 38 persen pembelian senjata global.
Menurut studi berjudul “The Influence of Arms: Explaining the Durability of India–Russia Alignment” (2021) oleh Sameer Lalwani dkk., diperkirakan sampai 85 persen keperluan militer dan senjata India dipenuhi oleh Rusia—jauh di atas perkiraan yang biasa disebutkan dalam berbagai riset, 60 persen. Ketergantungan ini pada akhirnya menciptakan efek “lock-in”: dukungan Rusia “sudah menimbulkan tingkat hutang budi dan kepercayaan yang relatif tinggi.”
Dukungan Soviet
India mulai dipandang penting oleh Kremlin sejak pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, meninggal pada 1953 dan proses de-Stalinisasi dimulai. Pemimpin baru Soviet Nikita Khrushchev dan Menteri Pertahanan Nikolai Bulganin memutuskan untuk memperluas jangkauan kebijakan luar negeri sampai ke negara-negara Dunia Ketiga di luar blok sosialis—merujuk pada negara bekas koloni yang baru saja merdeka dan tergabung dalam gerakan non-blok—yang salah satunya tak lain adalah India.
Pada 1955, pemimpin India dan Soviet mulai bertukar kunjungan. Kedatangan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru di Soviet disambut meriah dengan hujan bunga sampai-sampai jenderal Soviet, Vasily Kuznetsov, merelakan tangannya terluka untuk melindungi Nehru dari duri-duri mawar (kelak Kuznetsov mendramatisasi betapa dirinya sudah rela menumpahkan darah demi persahabatan India-Soviet).
Ketika melakukan kunjungan balasan ke India, Khrushchev memberikan pernyataan yang menyentuh: “Kami sangat dekat sehingga jika kalian memanggil kami dari puncak gunung kami akan langsung muncul di samping kalian.”
Pernyataan tersebut dianggap sebagai bukti kuatnya dukungan Soviet terhadap India pada isu sengketa wilayah perbatasan Kashmir dengan Cina. Moskow memang sehati dengan Beijing dalam menjalankan misi-misi strategis untuk melawan dominasi ekonomi dan politik AS, akan tetapi mereka berbeda pandangan tentang sengketa perbatasan dengan India. Selama Perang Dingin, Soviet konsisten memveto resolusi yang diajukan Dewan Keamanan PBB (1957, 1962, 1971) untuk mengintervensi perkara Kashmir.
Kremlin mempertahankan posisinya bahkan setelah Soviet bubar. Hari-hari ini Rusia terus menyerukan bahwa isu perbatasan India-Cina adalah perkara internal atau domestik yang tidak perlu diusung sampai panggung internasional. Mereka paham bahwa India ingin punya peran geopolitik di Asia Tengah dan Eurasia dan Kashmir dipandang sebagai alat yang dapat mengatrol daya tawar Delhi di kawasan tersebut.
Aliansi India-Soviet kelak diresmikan dalam “Treaty of Peace, Friendship and Co-operation” pada 1971. Dilansir dari tulisan eks-diplomat Vivek Katju yang terbit di The Tribune, pakta tersebut punya andil signifikan secara diplomatis dan strategis. Sebab, berkat kesepakatan itulah India jadi terbantu dalam menghadapi tantangan-tangan keamanan terbesarnya selama ini.
Katju menjabarkan pula bahwa aliansi tersebut tidak bisa dipisahkan dari konteks perang India-Pakistan. Kala itu India kedatangan gelombang pengungsi besar-besaran dari Pakistan timur dan kewalahan menghadapinya. Mereka, yang memiliki aspirasi memisahkan diri (merdeka), menjadi korban kebrutalan militer dan elite politik Pakistan barat. India di bawah administrasi PM Indira Gandhi kemudian memutuskan menyokong Pakistan timur dan berperang melawan Pakistan barat.
AS di bawah komando Presiden Richard Nixon memilih menutup mata terhadap pembantaian sipil dan memihak pada integrasi teritorial Pakistan. Kabarnya saat itu salah satu alasannya adalah karena Nixon punya sentimen personal terhadap Gandhi yang dianggap agak mulai dekat dengan kubu sosialis.
Selain AS, di pihak Pakistan juga ada Inggris dan Cina—yang mulai menormalisasi hubungan dengan AS.
Dalam situasi seperti itulah perjanjian dengan Soviet pada 1971 memberikan semacam jaminan keamanan bagi India dari intervensi militer AS dan sekutunya. Kelak, berkat senjata dan perlengkapan militer Soviet, India berhasil memenangkan perang tersebut dan Pakistan timur merdeka jadi Bangladesh.
Pro-Kremlin
Seiring terikat dalam kemitraan strategis dengan Soviet, India mulai rutin menunjukkan sikap pro-Kremlin di forum-forum internasional. Pada 1956, ketika tentara Soviet menggilas gerakan revolusi Hungaria, India tidak berani mengecamnya secara terbuka. Sikap serupa ditunjukkan India ketika Soviet menginvasi Praha, Ceko pada 1968. PM Indira Gandhi memang sempat berpidato di parlemen India untuk menyuarakan keberatan, akan tetapi hal tersebut tidak sampai disuarakan di depan publik internasional.
Ketika Soviet menduduki Afganistan pada akhir 1979 dan PBB membuka pemungutan suara resolusi untuk mengecamnya, India jadi satu-satunya negara nonblok yang abstain.
Meskipun Uni Soviet akhirnya runtuh, relasi Moskow-Delhi terus bertahan karena memang dibina dengan baik. Tak lama setelah terpilih sebagai presiden, Putin dan PM Atal Bihari Vajpayee menandatangani “Declaration of Strategic Partnership” untuk mendorong kerja sama dari bidang politik, ekonomi-perdagangan, pertahanan, sains-teknologi sampai budaya—meskipun relasi tersebut diklaim bukan “aliansi militer-politik”. Satu dekade kemudian, kerja sama India-Rusia levelnya ditingkatkan jadi “Special and Privileged Strategic Partnership”.
Tak heran jika kemudian Delhi tetap menunjukkan sikap pro-Kremlin dalam rapat-rapat PBB. Pada awal 2000-an ketika Perang Chechen II meletus, India termasuk satu dari segelintir negara yang menolak resolusi untuk mengecam “pengerahan kekerasan secara tak imbang dan pelanggaran HAM serius” oleh pasukan Rusia. Mereka juga memutuskan abstain dari resolusi untuk mengkritisi rezim Bashar al-Assad di Suriah yang disokong oleh Rusia.
Menilik rekam jejak di atas, tidak mengherankan ketika India abstain lagi saat Rusia mencaplok Krimea pada 2014 dan menginvasi Ukraina awal tahun ini.
Teman selain Rusia
India sebetulnya berusaha memperluas lingkaran pertemanan. Menariknya, di bawah kepemimpinan nasionalis PM Modi, sejumlah teman baru tersebut adalah populis sayap kanan, misalnya mantan Presiden AS Donald Trump. Dalam pertemuan 2020 silam, Trump sesumbar berhasil mencapai kesepakatan transaksi senjata dengan India meski nilainya masih jauh di bawah transaksi senjata buatan Rusia.
Modi juga punya relasi mesra dengan eks-PM Israel Benyamin Netanyahu. Modi adalah PM India pertama yang mengunjungi Israel seiring terjalin kerja sama antarnegara di sektor pertahanan dan intelijen. New York Timesmelaporkan India dan Israel pernah menyepakati transaksi dagang senilai 2 miliar dolar AS, di dalamnya meliputi sistem rudal dan aplikasi mata-mata Pegasus.
India juga menjalin ikatan nonformal dengan negara-negara demokratis mapan lain seperti dalam Quadrilateral Security Dialogue atau QUAD. Forum dialog bersama AS, Jepang, dan Australia ini digagas oleh eks-PM Jepang Shinzo Abe pada 2007 silam untuk menjawab tantangan dari ekspansi ekonomi dan militer Cina. Setelah mati suri beberapa waktu, QUAD dibangkitkan kembali oleh Presiden AS Joe Biden pada awal 2021. Melansir dokumen resmi, mereka dipersatukan oleh cita-cita untuk menciptakan dunia yang “bebas, terbuka, inklusif, sehat, disokong oleh nilai-nilai demokratis, dan tidak diikat oleh paksaan.”
Terlepas dari lingkup pertemanan di atas, India tetap melihat Rusia sebagai kawan yang paling bisa diandalkan. Mengutip pandangan mantan diplomat India untuk PBB, Vijay Nambiar, hal itu dilandasi oleh dukungan setia dan awet dari Rusia terhadap isu-isu keamanan nasional India, terutama perkara perbatasan Jammu dan Kashmir. Menurutnya, meski relasi India-AS sudah berkembang pesat dan itu perlu dihargai, tetap saja AS perlu paham juga bahwa dalam hal membela kepentingan India, “Moskow-lah yang selalu maju, bukan Washington.”
Editor: Rio Apinino