tirto.id - Kashmir memanas. Wilayah dekat Himalaya yang diperebutkan India dan Pakistan ini menjadi ladang pertempuran antara kepolisian India dengan kelompok gerilyawan. Dilansir The Guardian, pertarungan kedua kubu menyeruak ke permukaan pada Jumat (23/6) silam selama kurang lebih tujuh jam. Korban tewas total sebanyak enam orang.
Bentrokan itu merupakan yang ketiga kalinya sejak akhir Ramadan manakala kedua kubu bersepakat untuk melakukan gencatan senjata, dengan harapan dapat mengakhiri instabilitas politik dan keamanan wilayah serta memulai babak baru lewat dialog intensif guna menentukan masa depan Kashmi. Pilihannya: merdeka atau bergabung di bawah Pakistan.
Kepala Polisi Jammu dan Kashmir, Shesh Paul Vaid, mengatakan bahwa gerilyawan yang terlibat dalam bentrokan berafiliasi dengan ISIS. Pernyataan Shesh dibenarkan oleh jaringan berita ISIS, Amaq, yang menyebut para gerilyawan itu adalah anggota mereka. Sementara sebagian analis berpendapat sebaliknya. Mereka meyakini gerilyawan yang turun gelanggang dalam bentrokan Jum’at kemarin adalah pasukan Negara Islam Jammu dan Kashmir (ISJK) yang bercita-cita memisahkan diri dari India.
Kerusuhan tersebut seperti merangkum keruwetan yang menyelimuti lembah Kashmir. Tiga hari sebelumnya, Selasa (19/6) mengutip Deustche Welle, Partai Bharatiya Janata (BJP) memutuskan untuk menyudahi koalisinya bersama gerbong politik lokal, Partai Demokrasi Rakyat (PDP). Koalisi yang dibangun sejak 2015 itu kandas dengan alasan PDP dinilai gagal mengatasi terorisme, kekerasan terhadap warga sipil, serta gelombang radikalisasi yang masif bermunculan di Kashmir. Selain itu, BJP menganggap PDP terlalu condong ke kelompok gerilyawan yang bermukim di Kashmir seperti ISJK hingga Joint Resistance Leadership (JRL).
Selepas persekutuan tersebut tak berlanjut, pemerintah pusat, seperti yang dituturkan salah satu petinggi BJP, Ram Madhav, bakal menunjuk gubernur pelaksana untuk mengurusi pemerintahan di Kashmir, sesuai Pasal 92 Konstitusi Jammu dan Kashmir. Sedianya, gubernur bakal memerintah selama kurang lebih enam bulan sampai pemerintahan baru terbentuk.
Peralihan kekuasaan tersebut tidak berarti meniadakan campur tangan pemerintah pusat di Kashmir. Sebagaimana diwartakan NDTV, pemerintah pusat masih akan mengintervensi situasi di Kashmir dengan sejumlah langkah seperti memperkuat kamp keamanan, mengenyahkan teroris yang masih beredar, hingga menempuh jalan preventif guna mencegah jatuhnya para pemuda ke pengaruh separatisme, terorisme, serta radikalisme. Upaya-upaya itu ditempuh guna “menegakkan kedamaian wilayah” yang tengah bergejolak.
Sengketa Sejak dalam Rahim Kemerdekaan
Kashmir adalah wilayah yang terlahir untuk sengketa.
Semua bermula pada Oktober 1947 ketika gerilyawan Pakistan berupaya merebut Kashmir dari cengkeraman kekuasaan Maharaja Hari Singh. Upaya mendongkel Singh dari singgasana ditujukan untuk mengakhiri dominasi monarki yang sudah bertakhta sekian lama, di samping juga merangkul mayoritas masyarakat Kashmir yang beragama Islam guna bergabung ke Pakistan.
Melihat situasi itu, Singh lantas meminta bantuan militer ke India. Sebagai imbalannya, Singh meneken persetujuan yang intinya menyerahkan Kashmir ke pangkuan India, pada 26 Oktober 1947.
Perang pun tak bisa dihindarkan. Dalam rentang waktu 1947 sampai 1948, pasukan India dan Pakistan saling menyerang untuk menguasai tanah Kashmir. Tak lama kemudian PBB mengambil sikap dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 13 Agustus 1948. Isi resolusi tersebut ialah meminta kedua negara menarik pasukannya serta menyediakan kesempatan bagi masyarakat Kashmir untuk menentukan pilihannya: bergabung ke India atau Pakistan.
Tapi, resolusi PBB rupanya dianggap angin lalu. Baik India maupun Pakistan sama-sama melanggar pakta resolusi; India tidak memberi kesempatan pemungutan suara bagi masa depan Kashmir dan Pakistan tetap menyemburkan api perang.
Situasi yang kacau kembali memaksa PBB turun tangan pada tahun baru 1949. Atas dorongan PBB, kedua negara bersedia mengadakan gencatan senjata. Hasilnya: 65% wilayah Kashmir dikendalikan India dan sisanya diatur Pakistan. Sayang, sama seperti resolusi terdahulu, gencatan senjata itu hanya berlangsung seumur jagung. Kedua negara kembali bergumul dalam konflik yang disebabkan rasa tidak terima Pakistan atas pembagian wilayah dan keputusan sepihak India tatkala mengakui seluruh teritori Khasmir sebagai bagian dari teritorinya.
Sikap saling ngotot kedua kubu membuat perundingan damai maupun penentuan masa depan Kashmir terus berjalan di tempat. Tahun 1960an, di tengah Perang Dingin, konflik kembali meletus. Militer Pakistan mencoba merebut paksa Kashmir dari India dan gagal. Untuk kesekian kalinya PBB turun tangan menengahi rivalitas berdarah kedua negara dengan mengeluarkan Resolusi 211, yang lagi-lagi sia-sia.
Memasuki akhir 1980an, kondisi tak berubah. Satu per satu kelompok pemberontak Kashmir di India bermunculan dengan membawa misi memerdekakan diri. Pemerintah India sontak murka dan menuduh Pakistan mendukung keberadaan kelompok pemberontak lewat pasokan senjata hingga pelatihan militer. Namun, Pakistan menolak tudingan tersebut. Mereka mengaku hanya “memberikan dukungan moral terhadap kelompok pemberontak.”
Inisiatif untuk mengakhiri sengketa sempat merekah pada 1997 manakala petinggi pemerintahan kedua negara bertemu guna menyikapi ketegangan regional di Kashmir. Akan tetapi, pertemuan tersebut buyar dua tahun kemudian, ketika tentara India meluncurkan serangan udara terhadap pasukan Pakistan yang berupaya menerobos batas wilayah Kashmir yang dikuasai India, di sebelah utara Kargil.
Serangan pada 1999 itu memantik konflik terbuka di antara dua negara. Kondisi kian diperburuk dengan munculnya serangkaian teror yang menyasar teritori masing-masing dalam rentang waktu sepanjang 2001. Konsekuensinya sudah bisa ditebak: baik Pakistan maupun India saling tuduh dan satu-satunya tujuan yang diapungkan hanyalah berperang, tak peduli fakta bahwa korban tewas dalam semesta konflik ini mencapai 40 ribu orang.
Derita Warga Sipil
Yang bisa dipastikan dari konflik tak berkesudahan di Kashmir adalah nasib warga sipil yang senantiasa jadi korban.
Keberadaan Kashmir sebagai pusat sengketa tak pelak menimbulkan aksi-aksi kekerasan yang tak pernah berhenti bergulir. Bentrok yang melibatkan kelompok pemberontak dan aparat baru-baru ini hanyalah segelintir contoh. Pemerintah India selalu berdalih bahwa kelompok pemberontak yang berlindung di tanah Kashmir merupakan biang keladi atas prahara yang terjadi. Ironisnya, mereka seolah menutup mata saat aparatnya melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap warga sipil di Kashmir.
Human Rights Watch mencatat, dalam menangani gejolak di Kashmir, aparat India acapkali menggunakan jalan kekerasan: menembaki demonstran, menangkapi mereka yang dianggap penghasut, serta memenjarakannya tanpa adanya pengadilan yang bersih.
Temuan Human Rights Watch dibenarkan Amnesty International. Contohnya, pada April 2017, menurut laporan Amnesty, delapan orang dibunuh pasukan keamanan India saat mereka memprotes penyelenggaraan pemilu parlemen.
Aksi brutal aparat memperoleh justifikasinya dengan keberadaan Undang-Undang Kewenangan Khusus Angkatan Bersenjata yang membolehkan mereka menempuh tindakan force majeur—yang berarti bebas menciduk penduduk sipil maupun menghujaninya dengan peluru—apabila terjadi aktivitas-aktivitas yang dinilai “mengganggu keamanan serta ketertiban wilayah.”
Tak cuma "melindungi" aparat saat membantai warga sipil, aturan tersebut juga memberikan impunitas bagi mereka yang dituduh melakukan pelanggaran HAM. Para perwira nyaris tak tersentuh hukum, seperti yang terjadi tatkala dua tentara pembunuh pemuda berusia 16 tahun, Sheikh Zahid Farooq, tak dijatuhi hukuman sama sekali atas perbuatan biadabnya pada 2010 silam. Mereka melenggang bebas begitu saja seakan nyawa-nyawa yang hilang itu hanyalah seonggok daging tak berharga.
Pun jika para pasukan ini diproses secara hukum, maka bisa dipastikan pengadilan tak bakal serius menindaklanjutinya. Alasannya macam-macam: dari kasus yang dianggap kadaluwarsa hingga menolak pengusutan tanpa alasan yang jelas.
PBB, melalui laporannya yang didasarkan pantauan dan penelitian organisasi kemanusiaan, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia, menyebut bahwa pemerintah India telah menggunakan kekuatan bersenjata, kontrol, serta kewenangan yang berlebihan dalam menangani konflik di Kashmir, sehingga menimbulkan korban dari warga sipil sejak 2016. PBB juga menyerukan penyelidikan secara internasional atas apa yang terjadi di wilayah tersebut. Mendengar pernyataan itu, pemerintah India segera menolaknya seraya menganggap laporan PBB tak lebih dari informasi “omong kosong, menyesatkan, dan tendensius.”
Bagaimanapun juga, kondisi di Kashmir akan bertambah buruk jika terus dibiarkan begitu saja. Pemerintah India harusnya paham bahwa pelbagai langkah yang mereka tempuh dengan dalih “mendukung keamanan wilayah” nyatanya berdampak buruk bagi masyarakat sipil. Dalam “Why India Must Change Its Kashmir Policy” yang terbit di The Diplomat, Ikram Ullah menulis sebagai berikut:
“Akan lebih bijaksana bagi India untuk mengubah kebijakan Kashmir sekarang juga ketika situasinya masih dapat dikendalikan. India harus benar-benar memulai proses dialog secara damai, baik dengan Hurriyat [partai di Kashmir] maupun Pakistan, dengan tujuan mencapai solusi yang layak yang nantinya mampu memastikan perdamaian dan stabilitas di kawasan ini. India harus menunjukkan niat baiknya dengan mengambil tindakan atas laporan PBB dan memastikan bahwa para pelaku pelanggaran hak asasi manusia dihukum dan tidak dilindungi di balik asap penyangkalan dan pemecatan.”
Memang betul. Apabila situasi semacam ini diteruskan, maka sudah pasti warga sipil akan terus jadi korban pertarungan dua kubu yang tak ada ujungnya.
Editor: Windu Jusuf