tirto.id - Tiga minggu telah berlalu sejak pasukan Rusia pertama kali menginvasi Ukraina. Selama itu mereka telah menghancurkan permukiman warga, bangunan budaya-bersejarah, sampai rumah sakit. Lebih dari 800 warga sipil meninggal dunia.
Seiring perang berkecamuk, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah beberapa kali memohon kepada aliansi militer NATO dan pemerintah Amerika Serikat agar menerapkan kebijakan no-fly zone di langit Ukraina, dalam rangka melindungi warga sipil dari serangan udara oleh agresor. Zona larangan terbang merujuk pada area yang tidak boleh dilalui oleh beberapa jenis pesawat. No-fly zone tidak mesti mencakup seluruh wilayah suatu negara.
Meskipun secara teori terkesan praktis, implementasi zona larangan terbang dalam konteks Ukraina-Rusia berisiko menimbulkan bentrokan berskala lebih luas.
Pakar pertahanan Christopher Faulkner dan Andrew Stigler mengatakan diperlukan “ancaman kredibel dari tindakan militer” agar negara target tidak berani membawa pesawatnya masuk zona larangan terbang. Artinya, negara atau pihak-pihak yang mau menegakkan aturan tersebut harus benar-benar menerapkannya, mulai dari konsisten memonitor situasi di langit sampai bersedia memakai cara brutal seperti menembak jatuh pesawat yang melanggar aturan.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan mereka perlu menghancurkan landasan pacu hingga pesawat atau helikopter yang sedang diparkir di hanggar agar itu semua tidak bisa difungsikan oleh kubu penyerang.
Di samping berisiko meningkatkan eskalasi antara NATO dan Rusia, larangan zona terbang dianggap kurang efektif untuk mengurangi potensi kehancuran yang ditimbulkan oleh Rusia. Pasalnya, Rusia selama ini lebih menggencarkan operasi militer di darat. Sejumlah serangan udara oleh jet tempur Rusia juga dilakukan dari teritori langit mereka sendiri.
Di mata pemerintah AS dan NATO, penerapan zona larangan terbang akan membuka peluang konfrontasi langsung dengan Rusia. “Seruan terhadap zona larangan terbang adalah seruan agar Amerika Serikat menembaki pesawat-pesawat Rusia,” kata dosen filsafat di Morehouse College, Ben Burgis. Sementara senator konservatif dari Partai Republikan di AS, Marco Rubio, mengatakan zona larangan terbang bisa menjadi “permulaan Perang Dunia III.”
Melansir pandangan mantan Dubes AS untuk NATO, Ivo Daalder, alih-alih memperdebatkan apakah NATO-AS perlu menerapkan zona larangan terbang di langit Ukraina untuk menghalau pasukan Rusia, yang perlu ditanyakan adalah, “Sejauh mana [NATO dan pemerintah AS] bersedia dan siap untuk membantu rakyat Ukraina dengan terlibat langsung dalam konfrontasi militer dengan Rusia?”
Menurut Daalder, perlu dipahami betul bahwa NATO dan AS sebenarnya sudah mengambil keputusan-keputusan eksplisit terkait sikap mereka pada Ukraina. Pertama, sampai hari ini mereka memutuskan untuk tidak menerima negara eks-Soviet tersebut sebagai anggota. Kedua, karena Ukraina bukan anggota, sudah tentu NATO tidak akan memakai Pasal 5 tentang pertahanan kolektif untuk membela negara tersebut.
Singkat kata, NATO tidak bersedia terlibat langsung dalam konflik Ukraina-Rusia—dan zona larangan terbang sudah tentu bukan pilihan bagi mereka.
Sejauh ini partisipasi NATO dan AS dalam konflik sebatas menyuplai Ukraina dengan senjata seperti rudal dan drone. Upaya lain adalah membombardir Rusia dengan sanksi-sanksi ekonomi yang diperkirakan bakal menciptakan kondisi keuangan paling buruk di sana sejak Perang Dingin berakhir. Segala hal yang berkaitan dengan operasional di medan perang, termasuk transfer teknologi pesawat tempur, tidak diperhitungkan sebagai bantuan.
Kebijakan Era 90-an
Kebijakan no-fly zone sebelumnya hanya diberlakukan ketika terjadi konflik sipil atau internal di suatu negara. Ia adalah konsep yang tergolong baru, diperkenalkan tak lama setelah Perang Dingin usai.
Kebijakan ini pertama kali diterapkan dalam konteks Perang Teluk 1991, ketika AS dan sekutunya melakukan intervensi militer setelah Irak menginvasi Kuwait.
Ketika kediktatoran Saddam Hussein diyakini bakal segera runtuh, pihak-pihak yang direpresi semakin berontak, terutama minoritas Kurdi. Untuk meredamnya, tentara Irak membombardir mereka dari udara dengan peluru sampai senjata kimia.
Pada April 1991, Badan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi UNSCR 688 yang mengutuk represi Irak terhadap sipil dan minoritas Kurdi. Tak lama kemudian, pemerintah AS di bawah administrasi George H. W. Bush menyerukan larangan terbang bagi pesawat Irak di utara yang berbatasan dengan Turki. Tujuannya untuk melindungi pesawat-pesawat sekutu yang sedang berpartisipasi dalam Operation Provide Comfort, misi kemanusiaan untuk menyelamatkan orang-orang Kurdi yang terpaksa mengungsi.
Langkah ini tak hanya melibatkan pemerintah AS, melainkan juga sobat kental mereka: Inggris dan Prancis.
Represi oleh pemerintah Irak terhadap minoritas Kurdi dipandang sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan. Dengan demikian, sesuai Pasal 42 Bab VII di Piagam PBB, penggunaan kekerasan pun diizinkan. Artinya, pesawat-pesawat Irak yang masuk zona terlarang boleh diserang. Selain itu, merujuk pada Pasal 51, pesawat sekutu yang berpatroli di zona larangan terbang punya hak untuk mempertahankan diri, termasuk diperbolehkan menyerang pesawat Irak yang kelihatannya mengancam keselamatan.
Zona larangan terbang juga diterapkan di kawasan selatan Irak pada 1992 dalam misi yang disebut Operation Southern Watch. Kali ini tujuannya untuk melindungi komunitas Syiah yang juga melawan Baghdad.
Kedua zona larangan terbang di utara dan selatan Irak ini berlaku sampai 2003, ketika pasukan AS mengarang hoaks tentang senjata pemusnah massal sebagai dalih menginvasi Irak untuk menggulingkan Saddam Hussein.
Dilansir dari BBC, saat ituIrak kerap mempertanyakan legitimasi dari aturan zona larangan terbang. Pasalnya, tidak pernah ada resolusi dari Dewan Keamanan PBB yang terang-terangan memberikan mandat tentang penerapannya. Ketika area larangan terbang di selatan Irak diperluas pada 1996, Saddam Hussein memutuskan tidak mau lagi mengakui zona-zona tersebut dan akhirnya mendorong pasukannya untuk menembak jatuh pesawat-pesawat AS.
Sepanjang 1993-1995, NATO dengan dukungan PBB juga mengimplementasikan zona larangan terbang di Bosnia-Herzegovina, negara eks-Soviet yang terjerembap dalam perang sipil. Dalam misi yang disebut Operation Deny Flight tersebut, NATO ingin mencegah serangan udara dari etnis Serbia yang beragama Kristen Ortodoks terhadap orang-orang Bosniak Islam.
Zona larangan terbang juga diterapkan oleh NATO dan PBB di Libya pada 2011. Kala itu tujuannya untuk melindungi rakyat sipil dari karut-marut yang timbul setelah diktator Muammar Khadafi berusaha melindas gerakan oposisi. Para oposan menuntutnya mundur setelah empat dekade lebih berkuasa.
Terlepas dari kontroversi dan kebrutalan yang timbul dari keputusan AS-NATO tentang zona larangan terbang di Irak, Bosnia, dan Libya, dampak geopolitiknya bisa dibilang tidak terlalu masif. Di samping itu, pihak-pihak yang disasar oleh aturan zona larangan terbang dapat dikategorikan pula bukan entitas dengan kemampuan militer besar.
Situasinya tentu berbeda apabila aturan tersebut diterapkan kepada Rusia, negara pemilik senjata nuklir dengan militer terbesar kedua di dunia.
Kepentingan Industri Pertahanan?
Meskipun larangan terbang berisiko menimbulkan bentrokan berskala luas jika diterapkan di Ukraina, seruan untuk menerapkannya cukup lantang digaungkan di AS. Survei mengungkapkan 74 persen warga AS mendukung kebijakan tersebut, entah mereka paham betul maknanya atau tidak.
Selain itu, dukungan juga disuarakan oleh 27 pengamat kebijakan luar negeri, termasuk di dalamnya eks-dubes, mantan pejabat, dan figur militer. Dalam surat terbuka untuk administrasi Joe Biden dan para pemimpin NATO, mereka menulis bahwa invasi Rusia sudah menciptakan “bencana kemanusiaan parah” dan oleh karenanya segala upaya, termasuk mengerahkan militer, dipandang mendesak untuk dilakukan. Kebijakan zona larangan terbang—termasuk membekali Ukraina dengan pesawat jet tempur—dianggap sebagai langkah tepat untuk “melindungi koridor humanitarian.”
Tidak semua percaya para pengamat tergerak semata karena alasan kemanusiaan. Menurut kolumnis Jacobin Branko Marcetic, beberapa pihak bekerja atau punya hubungan dengan lembaga riset, think tank, atau perusahaan yang disokong oleh industri yang diuntungkan oleh perang: pertahanandan energi. Dengan kata lain, ada motif ekonomi dari seruan tersebut.
Beberapa yang disorot adalah: Ian Brzezinski (mantan kontraktor Pentagon yang kini mengepalai Brzezinski Group, badan konsultan di sektor keuangan, energi, pertahanan), John Kornblum (penasihat CSIS yang didanai oleh perusahaan pertahanan Northrop Grumman dan menerima donasi dari sektor energi-pertahanan General Atomics, Lockheed Martin, sampai Boeing), serta Ben Hodges dan Kurt Volker (dari Center for European Policy Analysis, think tank yang pernah disponsori oleh perusahaan pertahanan BAE Systems, General Dynamics, General Atomics, Lockheed).
Ada pula eks-pejabat Pentagon yang sedari dulu dikenal punya pandangan keras terhadap Rusia, Evelyn Farkas—kini menjabat sebagai analis keamanan nasional di Farkas Global Strategies, lembaga yang disinyalir berkecimpung di industri teknologi dan pertahanan. Farkas juga berafiliasi dengan Project 2049 Institute, think tank yang menyerukan pendekatan diplomatik lebih agresif terhadap Cina dan mendukung penjualan senjata yang gencar kepada negara-negara Asia-Pasifik yang bersengketa dengan Cina.
Selama ini, kebijakan luar negeri Washington memang kerap tumpang tindih dengan kepentingan orang-orang berduit. Elite dari korporat pertahanan seperti Lockheed dan Raytheon Technologies, misalnya, menyayangkan keputusan administrasi Biden untuk menarik mundur pasukan AS dari Afganistan tahun lalu. Mereka, bersama perusahaan General Dynamics, menurut Marcetic juga tampak berharap dapat meraup untung dari gesekan geopolitik antara AS dengan Cina (yang sebenarnya bisa dihindari) dan ketegangan Ukraina-Rusia.
Karut-marut konflik Ukraina-Rusia bahkan dianggap sebagai peluang bagus untuk menarik minat publik agar mau menyokong perkembangan sektor senjata dan pertahanan. Langkah tersebut dipandang etis, setidaknya menurut analis korporat investasi perbankan Citigroup, Charles J. Armitage dan Samuel Burgesspe.
Mereka mencoba meyakinkan publik bahwa menanam saham di industri pertahanan itu adalah investasi yang “bertanggung jawab secara sosial” karena membantu menyelamatkan “demokrasi liberal” dan “menjaga perdamaian serta stabilitas dunia” dari musuh-musuh geopolitik seperti Cina dan Rusia.
Editor: Rio Apinino