Menuju konten utama

Rusia dan Kegagalan Mahkamah Kriminal Internasional

Rusia keluar dari Mahkamah Kriminal Internasional. Gertak sambal simbolis karena Rusia belum meratifikasi Statuta Roma.

Rusia dan Kegagalan Mahkamah Kriminal Internasional
Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan pidato saat upacara peringatan 70 tahun pembebasan kamp konsentrasi Nazi Jerman Auschwitz yang dibebaskan oleh Tentara Merah Rusia di Pusat Toleransi dan Museum Yahudi di Moskow, Rusia, Selasa (27/1). ANTARA FOTO/REUTERS/Alexander Zemlianichenko

tirto.id - Presiden Rusia Vladimir Putin kembali menjadi pusat perhatian dunia. Kali ini, Putin memutuskan menarik Rusia dari perjanjian Statuta Roma yang menjadi landasan hukum Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC). Hasilnya, Rusia kini tidak lagi terikat dengan berbagai ketentuan hukum dalam ICC.

Selayaknya koboi bercitra maskulin, gambaran yang biasa ditampilkan Putin di berbagai kesempatan, Rusia berdalih bahwa tidak ada gunanya terikat dengan hukum ala ICC. Hukum itu, menurut rilis resmi Rusia, terlalu bias kepentingan, khususnya bias kepentingan negara-negara Barat.

“ICC tidak dapat memenuhi harapan yang dibebankan kepada mereka. ICC juga tidak bisa sepenuhnya menjadi lembaga yang independen dan otoritatif,” papar rilis resmi pemerintah Rusia. Rilisan tersebut juga menggambarkan hasil-hasil laporan ICC yang cenderung “sepihak dan tidak efisien”.

Rusia tak lupa turut mengkritik kinerja ICC selama ini yang dituding sangat tidak profesional. Mereka menuding bahwa sepanjang 14 tahun perjalanan ICC, lembaga ini sudah menghabiskan nyaris $ 1 miliar dolar hanya untuk menghasilkan 4 tuntutan saja.

Kekecewaan akibat isu Crimea

Kekecewaan Putin dan Rusia berpangkal saat ICC mengeluarkan laporan tentang keterlibatan aktif Rusia dalam konflik di Crimea, Ukraina Timur. ICC menuding bahwa Rusia menjadi inisiator yang paling bertanggung jawab atas peperangan yang hingga saat ini masih berkecamuk di wilayah itu.

ICC selanjutnya menjabarkan hasil penyelidikan mereka atas kasus invasi Rusia ke Crimea pada 2014 lalu :

“Konflik bersenjata internasional di Krimea dimulai pada 26 Februari saat Federasi Rusia mengirimkan anggota militernya untuk menduduki sebagian wilayah Ukrania tanpa persetujuan pemerintah Ukraina. [...]Pada pagi hari 27 Februari 2014, sekelompok pasukan bersenjata namun tidak mengenakan atribut militer apapun (pasukan“little green men”) menduduki parlemen Crimea dan menunjuk pejabat-pejabat Pro-Rusia, yang akhirnya memilih seorang perdana menteri baru—seorang gangster lokal—serta merancang referendum untuk bergabung dengan Federasi Rusia. Dua hari kemudian, Crimea sudah dinyatakan bergabung dengan Rusia.”

Laporan ICC selanjutnya menyimpulkan bahwa otoritas Rusia telah menyediakan dukungan secara langsung bagi kelompok bersenjata pro Rusia di Crimea. Dukungan itu berwujud pada peralatan, pendanaan, dan pasukan, serta ikut terlibat dalam perencanaan tindakan-tindakan perebutan kekuasaan di wilayah itu.

Laporan ICC tidak hanya menyoroti kasus dugaan invasi Rusia ke Crimea semata. Mereka mengeluarkan daftar tentang berbagai pelanggaran yang diduga melibatkan peran Rusia. Beberapa pelanggaran itu di antaranya : penindasan terhadap minoritas Tatar, penghilangan atas 400 orang, penahanan dan penyekapan ilegal, pembunuhan dan penculikan warga setempat, serta kejahatan seksual.

Salah satu peristiwa yang turut disorot ICC adalah kasus penembakan pesawat Malaysian Airlines MH 317 di Ukraina timur. Sebuah investigasi oleh tim ahli dari Belanda menunjukkan bahwa pesawat berpenumpang 298 orang itu jatuh akibat ditembak rudal buatan Rusia yang dipakai oleh milisi pro-Rusia di Crimea.

Keterlibatan Rusia dalam peperangan di Crimea membuat konflik ini didefinisikan oleh ICC sebagai “konflik bersenjata internasional” (international armed conflict).

“Informasi yang diperoleh tim menunjukkan bahwa situasi yang terjadi di wilayah Crimea dan kota Sevastopol masuk dalam kriteria 'konflik bersenjata internasional' (international armed conflict) antara Ukraina dan Federasi Rusia,” papar Jaksa Penuntut ICC, Fatou Bensouda, seperti dikutip dari Report on Preliminary Examination Activities (2016).

Tudingan ICC ini mengandung konsekuensi yang sangat besar bagi Rusia. Status “konflik bersenjata internasional” telah menempatkan mereka dalam posisi sebagai agresor sekaligus pelanggar kedaulatan negara lain.

Menurut Palang Merah Internasional, konflik bersenjata internasional didefinisikan sebagai konflik yang terjadi antara “dua negara atau lebih”. Definisi “dua negara atau lebih” tersebut membawa konsekuensi bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik merupakan entitas yang memiliki kedaulatan masing-masing. Hal itu berarti, konflik bersenjata internasional muncul karena ada salah satu pihak yang melanggar kedaulatan pihak lain.

“Berdasarkan peraturan dari Statuta Roma, sebuah konflik berkembang menjadi konflik bersenjata internasional jika satu negara atau lebih menduduki sebagian atau keseluruhan wilayah negara lain, baik pendudukan tersebut dihadapi dengan perlawanan bersenjata atau tidak,”papar laporan ICC itu.

Konsep “kedaulatan” (souvereignity) merupakan konsep dasar dalam etika dunia internasional yang harus dihormati oleh siapa pun. Selanjutnya, pelanggaran kedaulatan lewat pencaplokan wilayah merupakan salah satu pelanggaran terbesar dalam konteks hubungan antarnegara. Dalam konteks konflik Crimea ini, Rusialah yang dicap sebagai “penjahat” karena dianggap melakukan pencaplokan wilayah (aneksasi) Crimea milik Ukraina.

Infografik Rusia Keluar dari Mahkamah Internasional

Apa kata Rusia?

Rusia tentu saja menepis tudingan bahwa mereka adalah agresor di Crimea. Negara Beruang Merah ini berkilah bahwa apa yang terjadi di Crimea adalah “perang sipil” yang melibatkan unsur-unsur masyarakat Ukraina dan Crimea sendiri". Rusia mengaku bahwa posisi mereka hanya sebagai “innocent bystander” yang tak memiliki kepentingan apapun di Crimea.

Alasan Rusia didasarkan kepada fakta bahwa menjelang keterlibatan militer mereka, Crimea telah melakukan referendum dan menyatakan diri sebagai bagian dari Rusia, meskipun banyak pihak masih meragukan keabsahan referendum ini hingga kini.

“Penjabaran kejadian di Crimea oleh ICC tentu saja membalikkan kenyataan yang sebenarnya, membalikkan iktikad baik Rusia, dan yang paling disayangkan, laporan ini menghadirkan kontradiksi bagi keinginan rakyat Crimea untuk bergabung dengan kami, seperti yang tertuang dalam referendum mereka,” tandas juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov seperti dikutip daari NPR.

Tak cukup hanya mengelak, Rusia pun berbalik mempertanyakan komitmen ICC dalam memproses kasus hukum secara adil, non-partisan dan tidak memihak. Dalam pernyataan resmi untuk mengumumkan keluarnya negara ini dari ICC, kementerian luar negeri Rusia menuding bahwa ICC alpa mengusut kasus pelanggaran serupa yang terjadi atas pasukan mereka dalam konflik Ossetia Selatan, Georgia.

Kementerian Luar Negeri Rusia menuding ICC tidak melakukan penyelidikan yang berarti atas peristiwa penyerangan rezim Saakashvili terhadap Tshinval serta pembunuhan pasukan penjaga keamanan Rusia. Rusia menuding bahwa ICC justru menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus ini kepada mekanisme hukum di Georgia yang sarat impunitas sekaligus tidak transparan.

Keluarnya Rusia dari ICC sebenarnya tidak membawa konsekuensi hukum apapun bagi negara ini. Rusia memang ikut menandatangani Statuta Roma sejak 13 September 2000. Namun, pemerintah Rusia belum meratifikasi dan mengaplikasikan peraturan ini dalam hukum positif mereka. Alhasil, tindakan Putin ini bisa dianggap sebagai gertakan simbolis semata.

Meskipun begitu, Rusia telah mengirimkan pesan yang cukup gamblang: ICC masih harus bekerja keras untuk meningkatkan legitimasinya di hadapan negara-negara di dunia.

Baca juga artikel terkait RUSIA atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Politik
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Zen RS