Menuju konten utama
Edusains

Hubungan Asmara Bisa Bikin Laki-laki Lebih Sadar akan Seksisme

Ketika pasangan diperlakukan tidak adil, rasa marah dan kecewa terasa seperti menimpa diri sendiri. Setelah itu, sulit untuk kembali bersikap acuh tak acuh.

Hubungan Asmara Bisa Bikin Laki-laki Lebih Sadar akan Seksisme
Ilustrasi Seksisme. foto/istockphoto

tirto.id - Ketidakadilan tidak akan terasa seperti ketidakadilan sampai hal itu benar-benar dialami atau disaksikan sendiri.

Banyak laki-laki tidak memahami betapa sulitnya menjadi perempuan. Mereka mungkin tak pernah merasakan pendapatnya tidak digubris hanya karena anggota dari "gender yang lain". Mereka barangkali tidak pernah menerima komentar-komentar "menjurus" dari lawan jenis yang tidak mereka inginkan. Dan mereka bisa jadi tidak pernah merasakan betapa menyebalkannya kebijakan yang tidak mengindahkan kondisi fisiologis mereka.

Namun, itu semua bisa berubah dan para laki-laki tersebut tidak perlu membaca buku teori atau mengikuti seminar yang ndakik-ndakik untuk mulai memahami apa sebenarnya yang dirasakan perempuan. Perubahan itu bisa hadir lewat sebuah hubungan asmara.

Bayangkan situasi seperti ini. Sepulang kerja, seorang laki-laki mendapatkan cerita dari pasangannya tentang apa yang terjadi di kantor sepanjang hari. Sang pasangan bercerita bahwa, dalam sebuah rapat, usulan yang dia sampaikan dianggap angin lalu, tetapi ketika ada usulan lain dari seorang laki-laki, pimpinan rapat menanggapinya dengan serius.

Awalnya, si laki-laki mungkin bakal menanggapinya dengan biasa saja. Dia mungkin berusaha mencari penjelasan lain. Akan tetapi, semakin sering cerita semacam itu mereka dengarkan, lambat laun perubahan bakal terjadi hingga akhirnya sebuah pertanyaan muncul: Mengapa sampai bisa ada perbedaan perlakuan seperti itu?

Di titik inilah jarak antara “isu orang lain” dan “masalah kita” mulai menghilang. Kedekatan dalam hubungan membuat cerita itu masuk lebih dalam seraya menggerakkan empati yang sebelumnya tak pernah terpicu. Dan sering kali, momen-momen sederhana inilah yang menjadi awal bagi laki-laki untuk benar-benar melihat seksisme.

Mengapa Laki-Laki Sering Tidak Melihat Seksisme?

Benjamin J. Drury dan Cheryl R. Kaiser (2014) menjelaskan bahwa seksisme sebenarnya lebih mudah diperangi dengan kehadiran sekutu laki-laki. Ketika laki-laki berbicara menentang seksisme, dampaknya sering kali lebih besar daripada ketika perempuan yang melakukannya. Pasalnya, konfrontasi yang dilakukan laki-laki cenderung dianggap lebih valid, terutama oleh audiens laki-laki lainnya.

Di tempat kerja, seorang perempuan yang menegur candaan seksis bisa dilabeli terlalu sensitif. Sebaliknya, jika seorang rekan laki-laki mengajukan keberatan yang sama, komentarnya lebih mudah diterima sebagai kritik yang masuk akal. Posisi ini memberi mereka peluang strategis untuk mengubah norma, meski mereka sendiri bukan korban langsung. Yang jadi masalah, masih menurut Drury dan Kaiser, banyak laki-laki yang gagal mendeteksi seksisme sejak dini. Mengapa?

Ilustrasi Seksisme

Ilustrasi Seksisme. foto/istockphoto

Ya, karena seksisme tidak selalu datang dengan wajah yang mudah dikenali. Ia memang bisa muncul sebagai hinaan terang-terangan, tetapi lebih sering hadir dalam bentuk yang halus: komentar sambil lalu, lelucon menjurus yang dibungkus keramahan, atau kebiasaan lama yang dibiarkan begitu saja.

Bentuk seksisme yang paling sering terlewat adalah benevolent sexism, yaitu perlakuan yang di permukaan tampak sopan atau melindungi, tetapi pada dasarnya merendahkan posisi perempuan. Contohnya, memuji rekan kerja perempuan karena “membawa energi positif” sambil menepikan perannya dalam pengambilan keputusan.

Bagi yang tidak pernah menjadi target, situasi seperti ini nyaris tak terlihat. Norma sosial yang diwariskan turun-temurun membentuk keyakinan bahwa perbedaan perlakuan terhadap perempuan adalah hal wajar. Ditambah lagi, banyak orang meyakini sistem yang ada sudah adil, sehingga ketimpangan menjadi seperti bisik-bisik di tengah ruangan bising; selalu ada, tapi jarang terdengar oleh mereka yang tak terbiasa mendengarnya.

Pentingnya Romansa dan Perspective-Taking

Salah satu cara paling efektif untuk memahami pengalaman orang lain adalah membayangkan dunia dari sudut pandangnya. Adam R. Todd dan Adam D. Galinsky (2014) menyebut ini sebagai perspective-taking. Yakni, sebuah latihan mental untuk masuk ke dalam pikiran dan perasaan orang lain, mencoba melihat apa yang mereka lihat, dan merasakan apa yang mereka rasakan.

Ketika kita melakukannya dengan sungguh-sungguh, batas antara “aku” dan “dia” mulai kabur. Apa yang sebelumnya tampak seperti reaksi berlebihan kini terlihat masuk akal, bahkan wajar. Di sinilah peran hubungan asmara menjadi signifikan.

Penelitian Cross, DeBlaere, dan Muise (2025) menguji skenario di mana laki-laki diminta membayangkan seorang perempuan menjadi korban komentar seksis di tempat kerja. Hasilnya jelas: ketika yang dibayangkan adalah pasangan mereka, tingkat perspective-taking melonjak, dan 37 persen dari mereka lebih mampu mengidentifikasi situasi itu sebagai seksisme dibanding saat membayangkan orang asing atau teman.

Efek ini juga terlihat di dunia nyata. Dalam studi yang sama, 76 persen laki-laki yang sedang berada dalam hubungan heteroseksual melaporkan pernah mendengar langsung cerita pasangan tentang seksisme. Semakin tinggi tingkat perspective-taking mereka, semakin besar pula kesadaran terhadap diskriminasi gender secara umum, dan semakin sering mereka bertindak sebagai sekutu, mulai dari mendukung pasangan secara terbuka hingga menegur perilaku merendahkan di lingkungan sosial atau pekerjaan.

Seperti yang dijelaskan laporan PsyPost, “Mendengar tentang seksisme dari seseorang yang Anda cintai membuatnya menjadi urusan pribadi. Hal ini meruntuhkan sikap defensif dan mengubah isu tersebut dari konsep abstrak menjadi kepedulian yang langsung dirasakan.” Artinya, ketika hubungan asmara membuat seksisme tidak lagi sekadar cuitan orang di media sosial karena kini ia punya wajah, suara, dan emosi yang Anda kenal betul.

Hubungan romantis, lewat kedekatan dan keterikatan emosional, menciptakan kondisi untuk terjadinya self–other merging. Ketika pasangan diperlakukan tidak adil, rasa marah dan kecewa yang muncul sering kali terasa seperti menimpa diri sendiri. Begitu perasaan itu muncul, sulit untuk kembali bersikap acuh tak acuh.

Pada akhirnya, hubungan asmara bisa menjadi jendela yang membuka pandangan laki-laki terhadap realitas yang sebelumnya nyaris tak terlihat. Kisah-kisah yang dibagikan pasangan, baik yang terjadi di tempat kerja, ruang publik, maupun lingkaran sosial, mengubah seksisme dari sekadar konsep menjadi sesuatu yang memiliki dampak emosional langsung.

Inilah momen ketika empati tak lagi lahir dari teori, melainkan dari keterlibatan pribadi. Dan ketika kesadaran itu sudah terbentuk, kesempatan untuk berdiri sebagai sekutu pun terbuka lebar. Bukan hanya demi pasangan, tetapi demi setiap perempuan yang selama ini harus berjalan di dunia yang sering kali tidak memihak pada mereka.

Baca juga artikel terkait SEKSISME atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Edusains
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi