tirto.id - Praktik culas politisasi bantuan sosial (bansos) demi meraup perolehan suara dan simpati konstituen, diprediksi masih berpotensi terjadi pada Pilkada 2024. Lemahnya regulasi dan replikasi dugaan praktik-praktik curang dalam pemilu presiden, jadi celah yang bakal dimanfaatkan kandidat kepala daerah.
Terlebih, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, tak yakin bansos dari pemerintah dapat mempengaruhi suara pemilih.
Seperti diberitakan sebelumnya, MK menolak seluruh permohonan sengketa Pilpres 2024 kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Dalil yang diajukan kedua pemohon tidak terbukti di persidangan, termasuk soal bansos yang dituding dimanfaatkan untuk kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
MK tidak dapat mengetahui intensi atau niat lain di luar tujuan penyaluran dana perlinsos sebagaimana yang disampaikan para menteri kabinet Presiden Joko Widodo yang bersaksi dalam persidangan. Mahkamah juga tak menemukan relevansi penyaluran bansos dengan kenaikan suara salah satu pasangan calon tertentu di Pilpres 2024.
Dalam gugatan kubu Anies-Muhaimin, MK menilai pembacaan atas hasil survei oleh ahli dinilai tidak dipaparkan atau diserahkan secara utuh/lengkap/komprehensif sebagai alat bukti. Karenanya, hal itu tidak memunculkan keyakinan bagi Mahkamah akan korelasi positif antara bansos dengan pilihan pemilih secara faktual. MK juga menilai mekanisme pengalokasian anggaran bansos sudah diatur secara jelas, mulai tahapan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban.
Pertimbangan tak jauh berbeda juga dipaparkan MK dalam gugatan kubu Ganjar-Mahfud soal bansos. Maka menurut MK, dalil pemohon terkait adanya bansos yang berkorelasi dengan perolehan suara salah satu pasangan capres-cawapres tidak terbukti sehingga tidak beralasan menurut hukum.
Namun, MK sendiri mengakui bahwa aturan bansos harus diperjelas, terutama bantuan yang dibagikan pada periode pemilu. Dalam catatan MK, kekhawatiran soal penyalahgunaan bansos di kontestasi Pilkada juga mereka kemukakan. Mahkamah mengkhawatirkan praktik demikian menjadi preseden lantas diikuti oleh para petahana atau pejabat publik pengelola APBD dalam perhelatan Pilkada kelak.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, menilai terkait dugaan politisasi bansos yang terjadi saat Pilpres, bisa kembali terulang dalam Pilkada 2024. Calon yang didukung oleh penguasa, kata dia, bisa diguyur dengan proyek bansos untuk mendapatkan insentif elektoral.
“Dari pilkada sebelumnya, klientelisme politik terjadi melalui proyek-proyek nasional dan daerah yang diarahkan untuk mendapatkan insentif elektoral,” kata Yance kepada reporter Tirto, Rabu (24/4/2024).
Bila tidak diantisipasi, apa yang terjadi dalam palagan Pilpres akan membuat politik klientelistik semakin masif. Menurut Yance, praktik ini seharusnya dapat dicegah oleh Kemenkeu dan Kemendagri agar penyusunan anggaran ketika pilkada berlangsung, bisa terhindar dari proyek manipulasi bansos.
Pendapat senada diungkapkan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran (Unpad), Susi Dwi Harijanti. Menurut dia, putusan MK dalam sengketa pilpres harus ditindaklanjuti agar bansos tidak dimanfaatkan sebagai permainan politik elektoral. Terutama mengatur soal metode dan waktu pemberian bansos.
“Putusan MK jika tidak ditindaklanjuti dengan pembentukan aturan tentang bansos, berpotensi digunakan [juga] oleh calon kepala daerah,” kata Susi kepada reporter Tirto, Rabu.
Persoalannya, bentuk aturan seperti apa yang akan efektif dibuat oleh pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti putusan MK. Dia juga heran, mengapa aturan yang ada saat ini masih belum dapat menghentikan politik gentong babi (pork barrel politic).
“Jika materi [regulasi] yang diatur bersifat teknis, maka bentuknya [bisa setingkat] PP ke bawah,” sambung Susi.
Politik gentong babi adalah istilah dalam ilmu politik yang mengacu pada praktik penyaluran bantuan materi dalam bentuk kontrak, hibah, bansos, atau proyek pekerjaan umum di daerah pemilihan untuk merebut suara konstituen. Dalam konteks Pilkada, tindakan lancung itu memanfaatkan uang yang berasal dari dana publik atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Politisasi Bansos di Pilkada
Bansos sendiri merupakan bentuk bantuan negara kepada rakyat yang mengalami kesulitan ekonomi. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang diubah menjadi UU No 14/2019 tentang Pekerja Sosial. Disebutkan, bansos merupakan bagian dari skema perlindungan sosial yang bertujuan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan sosial.
Bansos dimaksudkan agar seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat yang mengalami kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar. Sayangnya, bansos juga kerap ditunggangi sebagai kendaraan politik demi keuntungan elektoral. Dugaan politisasi bansos dalam pemilu bukan hal yang baru muncul belakangan ini.
Pada pemilu serentak 2020, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengungkap dugaan politisasi bansos di masa penanganan pandemi COVID-19. Temuan ini terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pemilihan saat itu.
Modus yang dilakukan dengan menempelkan gambar kepala daerah petahana pada bansos yang diberikan kepada masyarakat. Metode lainnya, bansos dibungkus dengan simbol atau jargon yang identik dengan kandidat kepala daerah. Bansos diklaim sebagai pemberian personal kepala daerah dan bukan program yang diberikan pemerintah.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Mutaqin Pratama, menilai meski aturan UU Pilkada sudah mengatur secara spesifik soal bentuk-bentuk pelanggaran, nyatanya praktik curang masih terjadi di daerah. Misalnya, soal politisasi bansos, hal ini terjadi karena dalam konteks politik keuangan negara, hal ini sudah dianggarkan sebelum tahapan pemilu dimulai.
“Problemnya adalah itu didistribusikan ketika momentum pemilu terjadi. Yang kemudian ada personalisasi dana publik, anggaran publik dalam bentuk-bentuk bantuan sosial tadi, yang kemudian dipersonalisasi oleh calon petahana dengan tujuan untuk meningkatkan elektabilitasnya,” ujar Heroik ditemui di Bakoel Coffee, Jakarta Pusat.
Heroik menyoroti memang dalam Pilkada 2024, ada sedikit perbedaan karena banyaknya penjabat (Pj) yang saat ini memimpin di daerah. Namun, hal itu tidak berarti politisasi bansos dalam kontestasi pilkada akan hilang sama sekali. Bisa saja, kata dia, justru penjabat daerah itu yang akan maju atau dia mendukung kandidat petahana.
“Ini yang saya kira satu titik rawan yang perlu diantisipasi ke depan mengenai penyalahgunaan sumber daya negara. Khususnya soal konteks politik gentong babi tadi,” ujar Heroik.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti dari Perludem yang lain, Fadli Ramadhanil menyatakan memang ada kekhawatiran dari putusan MK soal bansos. Hal ini dapat dipersepsikan oleh masyarakat dan kandidat Pilkada bahwa kecurangan adalah hal yang wajar dalam kontestasi pemilu.
“Ketika pemungutan suara selesai, selesai suaranya jauh, tinggal dibangun persepsi dan opini bahwa sebaiknya ini kita selesaikan dengan baik, pemilu sudah selesai, demi efektivitas, demi stabilitas, demi keamanan, ini dimaafkan saja kita bicara ke depan. Wah enak sekali kalau begitu, berdemokrasi seperti itu,” tutur dia.
Fadli mendesak adanya regulasi bansos yang lebih ketat dan jelas mengatur dalam periode pemilu. Meskipun, kata dia, perbaikan aturan ini agak sulit dilakukan dalam waktu dekat dengan pelaksanaan Pilkada 2024.
“Misalnya atur bansos dibagikan oleh kepala desa setempat, oleh camat setempat, itu saja. Pejabat politik itu tidak boleh membagikan bansos, membagikan bantuan di timeline waktu pemilu tertentu,” kata Fadli.
Di sisi lain, peneliti Transparency International Indonesia (TII) Sahel Alhabsy menilai, MK tidak bisa disebut membuka celah, karena politisasi bansos dalam Pilkada sudah terjadi jauh sebelum putusan PHPU Pilpres 2024. Tetapi MK, kata dia, gagal mengkorelasikan politisasi bansos terhadap hasil elektoral Pilpres.
“Itulah yang menjadi berbahaya. Karena dengan begitu pola politisasi bansos bisa terus berlanjut dengan kepercayaan bahwa kecurangan TSM ini tidak bisa dibuktikan, apalagi membatalkan kemenangan,” ujar Sahel kepada reporter Tirto, Rabu.
Sahel berpandangan, dari rekam jejak Pilkada sebelumnya, indikasi bahwa bansos dipolitisasi untuk kepentingan elektoral selalu terjadi. Misalnya Januari 2014, karena bukti nyata persoalan itu, KPK sampai mengeluarkan imbauan kepada kepala-kepala daerah dan Mendagri saat agar pembagian bansos tidak dikaitkan dengan Pilkada.
“Jadi bansos as a pork barrel politics bukan hal baru dalam Pilkada,” tutur dia.
Dalam artikel di The Conversation yang ditulis peneliti dari Crawford School of Public Policy, Australian National University, Fakhridho Susilo, politisasi bansos juga memantik ketimpangan sosial. Pasalnya, penyaluran bansos dilakukan di wilayah yang berpotensi meningkatkan capaian elektoral, dan mendayagunakan patronase serta hubungan kekerabatan. Penyaluran bansos jadi tidak mengindahkan akurasi data penerima, mekanisme verifikasi dan validasi, serta kesesuaian indikator penerima manfaat.
Memang sudah waktunya klientelisme politik dibabat agar pesta demokrasi tak jadi arena nepotisme. Kontestan pemilu perlu menahan diri agar tidak menjadi rendahan dan menasbih diri sebagai politisi kacangan sebab menggunakan cara-cara culas untuk menang. Konstituen perlu didorong pendidikan politik yang layak dan benar agar tidak dicekoki terus-menerus dengan praktik yang pragmatis.
Mewaspadai politisasi bansos jelang Pilkada, Bawaslu berjanji akan melakukan pengawasan terhadap pembagian bantuan. Selain bansos, Bagja mengatakan aspek kendala geografis, netralitas aparatur sipil negara (ASN), dan implementasi program pemerintah, turut menjadi poin pengawasan dalam pilkada serentak mendatang.
“Iya, pasti akan jadi pengawasan. Yang penting kan tidak boleh ada bantuan sosial yang digunakan pemerintah untuk kepentingan peserta pasangan calon tertentu ya,” kata Bagja di Gedung Bawaslu RI, Jakarta.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang