tirto.id - Konflik internal Hanura bisa berujung pada memburuknya elektabilitas partai itu pada Pemilu 2019. Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar mencatat, berdasar hasil survei lembaganya pada Januari 2018, elektabilitas Hanura hanya 0,7 persen.
Rully menilai, sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Hanura selama ini gagal mengasosiasikan program partainya dengan kebijakan pemerintah. Akibatnya, ketika Golkar dan PDIP memperoleh pengaruh positif dari elektabilitas Jokowi, partai ini justru tidak mendapatkannya.
Karena itu, nasib Hanura bisa menjadi lebih buruk apabila tidak segera meredakan konflik di internal partai itu. Dengan angka elektabilitas 0,7 persen di awal 2018, Hanura diperkirakan menghadapi tantangan berat untuk memenuhi ambang batas parlemen saat berebut suara pemilih di Pemilu 2019. Sementara ambang batas parlemen, yang telah disepakati dalam UU Pemilu baru, adalah 4 persen.
"Jika situasi Hanura tidak segera islah (damai), bisa benar-benar terlempar dari parlemen," kata Rully di Kantornya, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2018).
Rully berpendapat Hanura berbeda dengan Golkar. Keduanya memang sama-sama sempat dilanda konflik internal. Tapi, sebagai partai besar, Golkar lebih mudah memulihkan konsolidasi internalnya sekaligus lekas mengubah citranya untuk mengerek elektabilitas partai.
"Kalau Hanura paling cuma untuk diketahui masyarakat saja. Kalau (konflik) untuk menaikkan elektabilitas, saya pikir tidak bisa," kata Rully soal spekulasi bahwa konflik di internal partai itu demi mengerek popularitas.
Upaya menaikkan kembali elektabilitas Hanura bergantung pada langkah Wiranto. Rully mengatakan sosok Wiranto sebagai pendiri Hanura lebih bisa menarik simpati massa ketimbang Oesman Sapta Odang (OSO) maupun Daryatmo—dua tokoh yang sebelumnya saling mengklaim sebagai ketua umum Hanura.
"Sudah benar Pak Wiranto ambil alih konflik Hanura. Katanya juga sudah mau islah," kata Rully.
Wiranto memang sudah berupaya menengahi pertikaian kubu OSO dan Daryatmo dengan menggelar pertemuan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, pada Selasa kemarin. Pertemuan itu menyepakati pembentukan tim inventarisasi masalah untuk merumuskan solusi mendamaikan kedua kubu.
Usai pertemuan itu, Wiranto mengklaim konflik di partainya sudah selesai. Dia memastikan posisi Ketua Umum Hanura tetap dipegang oleh OSO. Akan tetapi, belum ada jaminan kubu Daryatmo legawa menerima keputusan ini. Daryatmo sempat menyatakan hasil pertemuan itu baru “Menuju islah”.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi berpendapat konflik di internal Hanura terlalu beresiko apabila sengaja diciptakan untuk kepentingan publisitas. Dia menilai konflik itu terjadi karena ada kontrol buruk terhadap kesolidan internal partai.
“Terutama masalah manajemen di bawah OSO (Oesman Sapta Oedang),” kata Burhanuddin pada hari ini.
Dia menambahkan tudingan penyelewengan dana partai dan mahar politik, yang mengiringi pertikaian dua kubu di Partai Hanura, merupakan tampilan iklan yang buruk.
“Menjadi selesai, dugaan saya karena peran Wiranto. Kalau Wiranto hanyut dalam perselisihan, tentu makin berlarut-larut konfliknya,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin mengatakan perdamaian dua kubu di Hanura demi kepentingan partai itu mengingat posisinya belum tentu aman untuk lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2019. Kualitas konsolidasi internal Hanura akan memastikan nasib penyelesaian konflik kubu OSO dan Daryatmo.
“Sehebat apapun intervensi dari luar, kalau internalnya kokoh pasti akan kuat menahan godaan maupun perpecahan. Jadi sangat tergantung oleh seberapa kokoh internal mereka,” ujar Burhanuddin.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom