tirto.id - Dua kubu yang berkonflik di Partai Hati Nurani Rakyat sepakat untuk berdamai, Selasa (23/1/2018). Kubu Oesman Sapta Oedang dan kubu Daryatmo bertemu dengan difasilitasi Ketua Dewan Pembina Partai Hanura Wiranto. Konflik di antara dua kubu ini sempat mencuri perhatian lantaran ada tudingan penyelewengan dana partai dan mahar politik.
Lantas, benarkah konflik ini merupakan rekayasa buat merebut perhatian publik ataukah sebaliknya, membikin Hanura berkeping-keping?
Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio melihat konflik antara dua kubu di Hanura hanya seperti dagelan. Ia sudah menduga akan ada penyelesaian oleh Wiranto. Menurut Hendri, Partai Hanura sengaja mencari peluang untuk diperhatikan publik jelang Pemilu serentak 2018 dan 2019.
“Kocak,” kata Hendri kepada Tirto, Rabu (24/1/2018).
Penilaian ini didasarkan konflik yang langsung tuntas begitu Wiranto turun tangan dan mempertemukan kedua belah pihak. Bila memang sejak awal Wiranto bisa menyelesaikan masalah, Hendri menyebut Menko Polhukam itu tak perlu menunda dan mengambil langkah penyelesaian konflik.
“Masalahnya sejak awal pernyataan Wiranto selalu bersayap. Saya sudah memprediksi ini sejak awal. Kenapa tidak memutuskan untuk bertindak kalau dia bisa memutuskan dari awal?” terangnya lagi.
Menurut Hendri, Hanura memang butuh panggung menjelang pemilu 2019. Selama ini, PDIP dan Golkar lebih banyak mendapat perhatian selaku bagian dari partai koalisi pemerintah, sementara Hanura tidak mendapat cukup sorotan dalam beberapa waktu belakangan.
Untuk partai yang memiliki tokoh sentral seperti halnya Partai Demokrat, PDIP, Gerindra, dan Hanura, konflik jarang terjadi. Adanya Wiranto di Hanura, semestinya bisa meredam potensi konflik sebelum meluas.
Oleh sebab itu, Hendri menduga ada upaya Partai Hanura mencari perhatian publik. “Wajar kalau publik menyangka kisruh kemarin ini hanya dagelan,” kata Hendri.
Ketua DPP Partai Hanura versi OSO, Andre Garu tak menjawab saat ditanya soal konflik sebagai upaya mencari panggung. Ia hanya menyebut, masalah ini meluas karena tidak ada penengah yang hadir sejak awal.
“Jika memang dari awal kita dikumpulkan, ada yang menengahi, kelar sudah,” katanya kemarin di hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta.
Oesman Sapta Odang bahkan sempat tertawa saat disinggung pihaknya sedang mencari panggung. Ia kemudian menegaskan tidak sedang mencari perhatian publik dan balik menuding media yang membesar-besarkan isu-isu konflik internal Partai Hanura.
"Kau yang bikin panggung untuk aku," katanya sambil tertawa.
Cara Hanura Cari Panggung Justru Bisa Bikin Hancur
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin punya pandangan berbeda. Ujang menilai, konflik Partai Hanura sebagai sesuatu yang serius lantaran jika konflik ini tidak diselesaikan, Hanura bisa hancur dalam waktu singkat.
Pernyataan Ujang merujuk pada jadwal verifikasi yang tengah dijalankan Komisi Pemilihan Umum. Menurutnya, momen ini sangatlah krusial dan Partai Hanura tidak bisa mendulang keuntungan dari konflik yang terjadi antara pengurus daerah dan pusat, jika verifikasi tidak berjalan.
“Ya kalau tidak berdamai, Hanura akan makin hancur. Hanura ini kan partai kecil, bukan partai kelas menengah,” kata Ujang.
Ujang melihat Hanura tidak punya daya gebrak besar meski memiliki 16 kursi di DPR. Ia menyampaikan bahwa konflik ini tidak akan memberikan angin segar pada Partai Hanura. Ia menyarankan Hanura memilih cara lain buat meningkatkan elektabilitas daripada menciptakan konflik dalam internal, apalagi Hanura tak punya relasi media yang kuat seperti Partai Nasdem dan Perindo. Jika Hanura membiarkan konflik dalam internalnya, hasilnya akan kontraproduktif dengan apa yang ia harapkan.
Analisis ujang juga sejalan dengan analisis Arya Fernandez, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lebih jauh, Arya menilai, konflik ini terlalu mahal jika digunakan untuk mencari panggung. “Bisa hancur dia,” terang Arya.
Peluang Konflik Hanura Setelah Verifikasi
Arya punya prediksi konflik di internal Hanura bisa kembali berulang setelah pemilu 2019. Ia beralasan, kepemimpinan OSO selama ini memang tidak cukup untuk merangkul semua pengurus Partai Hanura yang lama.
Ketika posisi Ketua Umum diberikan pada OSO, ia membawa beberapa orang dari kubunya sendiri, seperti mantan politisi Partai Demokrat I Gede Passek Suardika. Pengurus Partai Hanura yang lama menjadi kurang diperhatikan.
Hal ini juga diperparah dengan adanya Surat Keputusan (SK) ganda yang dikeluarkan OSO di berbagai daerah. Satu surat bertanda tangan OSO dan Sekretaris Jenderal Partai Hanura Sarifuddin Sudding itu kemudian ditarik dan diberikan lagi pada orang lain. Dalam satu wilayah, ada orang yang mendaftar dengan SK yang serupa.
“Tapi potensi konflik itu ada [saat OSO jadi ketua umum],” katanya lagi.
Untuk meredam potensi ini Ujang Komarudin menilai, kubu OSO harus bisa memberikan kesempatan buat kubu Daryatmo semisal dalam kebijakan menentukan calon yang diusung di daerah karena selama ini OSO dianggap terlalu bermain sendirian.
“Inilah yang jadi awal bibit perpecahan itu. Harusnya diajak bicara untuk keputusan-keputusan strategis,” ungkap Ujang.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih