Menuju konten utama
Miroso

Gurih dan Pedas: Aceh di Antara Kuliner dan Desing Peluru

Kuliner Aceh dan karinya seperti menjadi jejak kuliner yang lumrahnya banyak dipengaruhi daerah lain seperti India.

Gurih dan Pedas: Aceh di Antara Kuliner dan Desing Peluru
Header Miroso Masakan Aceh yang Kaya Bumbu. tirto.id/Tino

tirto.id - Gia Panji Puetera, seorang kawan lama bercerita tentang masa kecilnya di Aceh. Kenangannya berkisar di antara: terjebak di tengah pertempuran GAM dan TNI ketika pulang sekolah, gule pliek, keumamah, dan masakan Aceh.

Di tengah kesibukannya yang mondar mandir Jakarta, Bandung, dan Bali sebagai DJ dan aktivitas pekerjaan lainnya, malam itu kami berbincang tentang kenangannya saat SD dan SMP-nya di Meulaboh. Tempat ini bikin saya teringat tempat Teuku Umar wafat karena pengkhianatan, dan adegan heroik Cut Nya Dhien --dalam film garapan Eros Djarot-- yang berhasil memasuki kawasan tersebut dengan menyamar, dan kemudian disuguhi makanan kesukaan Cut Nya; ikan kerling. Ini adalah sejenis ikan air tawar yang tergolong besar, mirip seperti gurami.

Masyarakat Aceh, biasanya mengolah ikan kerling menjadi masakan asam keueng, asam pedas dengan sensasi rasa yang beragam; dari asam, asin, pedas, yang menjadi satu dengan bercampur kuah yang kekuningan.

Bagi Panji, rasa gulai pliek yang lezat jadi seperti ironi dengan suasana perang yang mencekam. Ironi itu hadir ketika suatu hari, dia terjekbak di tengah pertempuran GAM melawan aparat bersenjata. Saat itu, Panji yang baru pulang sekolah jadi panik, sepedanya dilempar, lalu tiarap di got.

Panji secara detail menceritakan kisah tersebut sebagai peristiwa menjelang wacana referendum Aceh, dan ketika GAM sedang berusaha menyerang kantor Polres Aceh Barat. Peristiwa berbalas rentetan senapan yang berlangsung kurang lebih 15 menit itu, dia rasakan nyaris seperti satu jam.

Namun di Aceh, suara letusan senjata seperti makanan sehari-hari. Saking biasanya, anak-anak seusianya sangat mudah mengenal jenis-jenis senapan yang biasa dipakai GAM atau TNI, dan membicarakannya seperti sedang membicarakan mainan.

Untung ingatan tentang perang bisa digantikan oleh ingatan tentang gulai pliek. Sampai sekarang, dia masih ingat komposisinya. Menurutnya, bahan baku gulai pliek ini bisa sampai puluhan jenis. Mulai dari melinjo, daging/kikil sapi, udang, kacang tanah, kacang panjang, nangka muda, jantung pisang, bawang merah dan putih, cabai merah, cabai rawit, jahe, ketumbar, jinten, lada, kunyit, lengkuas, serai, daun jeruk, bunga kencong, daun kari, kelapa, dan masih banyak lagi.

Gulai pliek ini juga kerap disebut sebagai kuah pliek-u. Nama “pliek-u” itu sendiri di Aceh dikenal juga dengan patarana; sebagai sisa atau ampas kelapa yang minyaknya sudah diperas, bahan salah satu bumbu dasar dalam pembuatan gulai pliek ini.

Panji menuturkan, gulai pliek ini dulunya adalah sejenis makanan para raja di Aceh. Ia juga kerap disantap saat jamuan acara keluarga. Aceh juga seperti beberapa daerah di Nusantara lainnya, mempunyai beberapa tradisi kuliner. Jika dalam tradisi Jawa ada nyadran yang merupakan ritual menjelang bulan Ramadan, Aceh mempunyai tradisi meugang. Ini adalah tradisi makan bersama setelah memotong sapi sebagai menu utama dalam perayaan.

Biasanya hari tersebut akan diisi dengan kesibukan dari pagi buta mengolah hidangan, sementara saat menjelang siang, hasil masakan tadi dibawa beramai-ramai untuk dinikmati bersama dengan suasana syahdu, disantap di pinggir pantai.

Selain gulai pliek, Panji juga menggemari keumamah.

Hidangan gulai keumamah kerap juga dikenal sebagai eungkot kayee. Ini adalah olahan daging ikan tongkol yang direbus, kemudian dikeringkan dengan cara diasap hingga keras seperti kayu. Karena itu banyak yang menyebut ikan ini sebagai ikan kayu (eungkot kayee).

Yang khas selain dari pengolahan ikannya, keumamah juga mempunyai satu bumbu kunci yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu asam sunti (belimbing wuluh yang dikeringkan). Bumbu lainnya serupa bumbu gulai; juga ditambahkan santan kelapa, bawang merah dan putih, kemiri, jahe, kunyit, tomat, ketumbar, serai, cabai, daun salam koja, dll. Untuk membuat kenyang, gulai keumamah biasanya juga akan dicampur dengan kentang, kacang panjang, atau terong.

Dalam buku 100 Maknyus; Makanan Tradisional Indonesia, Bondan Winarno memasukkan gulai keumamah ini sebagai salah satu pilihan kulinernya dari Aceh. Rumah makan pilihan Bondan saat menikmati gulai keumamah di Aceh adalah RM Ujong Batee, di jalan Teuku Hasan Dek, Jambo Tapee, Banda Aceh.

Bagi Panji, ingatan tentang Aceh berisi banyak hal. Makanan favoritnya, rasa yang melekat di lidah dan otak. Namun di sana juga ada perang yang mencekam.

Aceh, India, dan Kari

Daging sapi mempunyai tempat tersendiri untuk masyarakat Aceh. Olahan daging sapi hadir, antara lain, dalam racikan kuah beulangong; kuah kari sapi khas dari Aceh Besar, yang biasanya juga hadir dalam perayaan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Salah satu jurnalis senior asal Aceh, yang juga veteran aktivis 98, Nezar Patria, menyebutkan: politik mungkin bisa memisahkan, tapi itu hanya urusan dunia yang hanya sebentar. Namun kuah beulangong, akan menyatukan kembali semua perbedaan, kuah beulangong adalah ukhuwah.

Infografik Miroso Masakan Aceh yang Kaya Bumbu

Infografik Miroso Masakan Aceh yang Kaya Bumbu. tirto.id/Tino

Kuliner Aceh dan karinya, seperti kuah beulangong tadi, sepertinya menjadi jejak kuliner yang lumrahnya banyak dipengaruhi daerah lain seperti India.

Madhur Jaffrey, penulis dan pembawa acara memasak, dalam tayangan dokumenter Ugly Delicious, episode "Don't Call It Curry", mengatakan, bahwa perjalanan kari yang mendunia, mempunyai sejarah panjang terkait hubungannya dengan Inggris sebagai bangsa yang menjajahnya.

Menurut Madhur, sejak 1600 bangsa Inggris menyebut kari untuk menyebut makanan India. Kala itu, kongsi dagang Hindia Timur Britania dibentuk untuk mencari rempah di India. Di sana, orang Inggris mau tidak mau ya makan hidangan India, mereka suka, dan mengirim resepnya ke Inggris.

Hitung maju ke 1950, ada sepuluh restoran India di seluruh Inggris, dan terus bertambah, hingga kini mencapai 10.000 lebih restoran India di Inggris, yang memperkerjakan hampir 80.000 orang. Hingga bisa dipastikan, dua pertiga orang Inggris saat makan di luar, mereka akan pergi ke restoran India.

Madhur, memungkasi wawancara dalam dokumenter tersebut dengan pernyataan yang menarik;

“Inggris menjajah kami, kami benci itu. Namun kini, kami menjajah mereka dengan makanan (kari) kami” ungkapnya sambil tertawa.[]

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Husni Efendi

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono