Menuju konten utama

Gibah yang Diperbolehkan dan Tidak dalam Islam

Gibah yang diperbolehkan dan tidak dibolehkan dalam agama Islam, apa saja?

Gibah yang Diperbolehkan dan Tidak dalam Islam
Ilustrasi Bergosip. foto/istockphoto

tirto.id - Pada dasarnya, gibah tergolong dosa besar dan diimbau agar tidak dilakukan umat Islam. Namun, tidak selamanya gibah itu dilarang.

Ketika dipandang bahwa membicarakan keburukan orang lain itu mendatangkan maslahat, ia diperbolehkan untuk dibeberkan ke publik.

Secara definitif, gibah adalah membicarakan kejelekan seseorang. Jika yang jelek itu tidak ada, bukan lagi tergolong gibah, tapi jatuh ke dalam kategori fitnah.

Karena itulah, kendati benar-benar terjadi, fakta keburukan pada orang lain sebaiknya ditutup rapat-rapat.

Larangan melakukan gibah ini tertuang dalam firman Allah SWT di surah Al-Hujurat ayat 12:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang,” (Q.S. Al Hujurat [49]: 12).

Di masa sekarang, gibah dapat terjadi dalam pelbagai bentuk, misalnya melalui tayangan Infotainment di televisi, sampai dengan akun gosip di media sosial. Karena itulah, baik MUI dan NU mengharamkan Infotainment karena dianggap bagian dari gibah.

Gibah yang Mubah

Kendati muasal hukum gibah adalah haram, terdapat beberapa kondisi ketika gibah diperbolehkan. Jika membicarakan keburukan orang lain dan itu bermanfaat bagi kepentingan publik, ia boleh dibincangkan dengan orang lain.

Apa saja jenis gibah yang dibolehkan itu? Laman NU Online merincinya sebagai berikut:

1. Sidang di Pengadilan

Ketika sedang melakukan sidang perkara di depan hakim, menceritakan keburukan atau tindak kriminal yang dilakukan seseorang diperbolehkan.

2. Pelaporan ke Polisi

Ketika seseorang ingin melaporkan tindak pelanggaran hukum kepada polisi, menceritakan pelanggaran tersebut diperbolehkan, dengan maksud untuk mengubah kemungkaran itu.

3. Meminta Fatwa atau Arahan dari Alim Ulama

Ketika meminta fatwa dari mufti atau arahan dari alim ulama, seseorang diperbolehkan menceritakan masalahnya, termasuk membeberkan keburukan, jika diperlukan untuk memberikan gambaran kepada mufti atau alim ulama tersebut.

4. Peringatan Publik

Dalam kondisi ini, biasanya keburukan seseorang tertera di kertas DPO (Daftar Pencarian Orang). Orang yang melakukan kejahatan, ketika belum tertangkap, disebutkan keburukannya agar publik terhindar dari perilaku jahat individu bersangkutan.

Hal ini juga dilakukan oleh perawi-perawi hadis ketika menyebutkan keburukan perawi lainnya untuk mencegah tersebarnya hadis palsu.

5. Gibah Kejahatan Publik

Jika seseorang sudah terang-terangan melakukan dosa dan keburukan, misalnya dengan mengunggah foto atau video mabuk-mabukan di media sosial, bergaul bebas dengan lawan jenis, serta sudah diperlihatkan di muka publik, dan lain sebagainya.

Maka, dalam keadaan tersebut, seseorang diperbolehkan menyebutkan keburukan orang bersangkutan, sesuai dengan dosa dan keburukan yang diperlihatkannya secara terang-terangan.

6. Sebagai Penanda, Bukan Olok-olok

Seseorang juga dibolehkan untuk menyebut kekurangan orang lain, misalnya kekurangan fisik atau gelar buruknya sebagai penanda.

Misalnya, ketika di suatu tempat banyak orang dengan nama Agus, maka diperbolehkan memanggilnya dengan sebutan Agus yang pendek, Agus yang tunanetra, Agus yang bisu, dan lain sebagainya.

Namun, perlu diingat, menyebut yang demikian bukan dengan niat mengolok-olok atau mengejeknya, melainkan sebagai penanda dan pembeda dari orang lain.

Alangkah baiknya juga, penanda itu sudah disetujui oleh orang bersangkutan (consent) dan tidak menjadikannya tersinggung.

Sebenarnya apa yang membuat gibah itu haram dan diperbolehkan ialah soal bagaimana kita menggunakan dan menafsirkan informasi tentang orang lain, alih-alih isi dari informasi itu sendiri.

Selain itu, keenam jenis gibah mubah di atas juga menjadi tidak diperbolehkan jika dilakukan secara berlebihan.

Membicarakan keburukan orang lain pun, dalam konteks yang mubah, punya batasan proporsinya agar tidak meluber ke mana-mana dan melebihi batasnya.

Baca juga artikel terkait GOSIP atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno