tirto.id - Film Tilik yang digarap oleh Ravacana Films sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial. Film yang didanai Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini mengisahkan perjalanan ibu-ibu menggunakan truk yang hendak menjenguk Bu Lurah di rumah sakit. Bu Tejo, tokoh utama, bergosip soal gadis desa bernama Dian sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Yu Ning, sebagai saudara jauh Dian, tidak suka mendengar segala perkataan Bu Tejo soal Dian. Sebab menurut Yu Ning, apa yang dikatakan Bu Tejo belum ada buktinya. Oleh kerenanya, Bu Tejo dan Yu Ning berdebat sepanjang perjalanan.
Sebagian orang menilai, film Tilik mencerminkan realitas sosial. Yaitu soal ibu-ibu yang gemar menggosip ditambah dengan kemajuan teknologi yang mendukung kegiatan bergosip. Kritik soal film yang berdurasi 32 menit itu juga bermunculan dari berbagai kalangan lantaran menonjolkan karakter ibu-ibu yang doyan bergosip sehingga memperkuat stereotip bahwa ibu-ibu atau perempuan adalah kalangan yang pandai bergosip.
Merujuk pada KBBI, gosip berarti obrolan tentang orang lain; cerita negatif tentang seseorang, dan pergunjingan. Bergosip dicap sebagai kegiatan negatif oleh masyarakat. Padahal, bergosip merupakan hal yang sangat wajar dilakukan oleh manusia, sebab berbagi informasi merupakan bagian dari hidup manusia sebagai makhluk sosial. Bagi beberapa peneliti berpendapat bahwa manusia perlu bergosip sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup. Dorongan untuk membagikan informasi menarik merupakan bagian dari diri kita dan karakteristik alami dari spesies kita.
Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Humankind (2017)menyebutkan sejarah panjang kebiasaan Homo sapiens untuk bergosip seiring dengan evolusi Homo sapiens. “Bahasa kita berevolusi menjadi cara bergosip,” catat Harari. Lebih lanjut, Harari menjelaskan kerja sama sosial menjadi salah satu kunci bertahan dan reproduksi karena pada dasarnya manusia adalah binatang sosial.
Harari mencatat, “tidak cukup bagi laki-laki dan perempuan untuk tahu keberadaan singa dan bison. Yang jauh lebih penting bagi mereka adalah tahu siapa membenci siapa, siapa tidur dengan siapa, siapa yang jujur, dan siapa yang penipu”. Keterampilan linguistik yang didapat oleh Homosapiens modern sekitar tujuh puluh milenium lalu memungkinkan mereka bergosip selama berjam-jam.
Cara Bertahan Hidup
Menurut Harari, seiring berkembangnya Revolusi Kognitif (perkembangan kemampuan berpikir yang hanya dialami oleh spesies Homo sapiens sejak 70.000 tahun silam), gosip membantu Homo sapiens membentuk kawanan yang lebih besar dan lebih stabil. Revolusi kognitif kemudian berperan untuk memberikan Homo sapiens kemampuan untuk bisa bekerja sama dengan cara yang sangat fleksibel dengan orang asing dalam jumlah yang tidak terbatas. Ini berbeda dengan semut dan lebah yang juga bekerja sama dalam jumlah besar. Namun, semut dan lebah bekerja dengan cara yang jauh lebih kaku dibanding Homo sapiens.
Merujuk penjelasan Harari, tidak mengherankan jika otak membantu kita untuk mengasah kemampuan bergosip. Studi berjudul “Dynamic Neural Architecture for Social Knowledge Retrieval” (2017) yang dilakukan oleh Yin Wang, dkk, mengidentifikasi bagaimana pengetahuan seseorang direpresentasikan, diatur, dan direkonstruksi oleh otak. () “Kami menemukan bahwa anterior temporal lobe (ATL) menyimpan representasi identitas abstrak seseorang yang biasanya tertanam dalam berbagai sumber (misalnya wajah, nama, pemanadangan dan objek pribadi),” ungkapnya. ATL berfungsi sebagai “switchboard saraf” yang berkoordinasi dengan jaringan wilayah otak lain untuk mengkoordinasikan informasi dengan cara yang tepat dan spesifik.
Yin Wang melakukan penelitian terhadap lima puluh peserta yang membaca biografi tentang beberapa orang fiktif. Tiga hari kemudian, mereka diminta untuk mengingat informasi biografi tersebut saat menjalani pemindaian fMRI. Serangkaian analisis multivariat dan konektivitas menunjukkan bahwa ATL menyimpan representasi identitas atau ciri-ciri abstrak seseorang, seperti afiliasi politik, pekerjaan, tempat tinggal, dan status perkawinan misalnya. Itu artinya, ATL memiliki peran penting dalam merepresentasikan dan merekonstruksi pengetahuan kita tentang seseorang.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai penelitian soal efek positif dari bergosip. Gosip oleh para ilmuwan dipertimbangkan sebagai cara untuk belajar tentang norma budaya, sosialisasi atau menjalin ikatan dengan orang lain, meningkatkan kerja sama, hingga mengukur kesuksesan dan status sosial mereka sendiri.
Psikolog evolusioner Robin Dunbar mengatakan dalam studinya “Gossip in Evolutionary Perspective” (2004, PDF) bahwa ketika manusia berkembang biak, kita mulai hidup dalam kelompok yang lebih besar dan menjadi sulit untuk kita mengetahui apa yang orang lain lakukan dengan hanya mengamati mereka. Jadi, kita membutuhkan bahasa. Bahasa memungkinkan kita mengetahui apa yang dilakukan orang lain, bahkan ketika kita tidak ada di sana untuk menyaksikannya.
Topik sosial seperti hubungan pribadi atau anekdot tentang aktivitas sosial menjadi dua per tiga dari semua percakapan, merujuk analisis Dunbar. Sepertiga sisa waktu mereka yang tidak dihabiskan untuk membicarakan orang lain digunakan untuk membahas berbagai hal seperti olahraga, musik, politik, dan lain sebagainya.
Menurut penelitian Dunbar, bergosip—aktivitas di mana percakapan soal topik sosial dan pribadi berlangsung—adalah syarat mendasar keberadaan kondisi manusia. “Jika kita tidak dapat terlibat dalam diskusi tentang masalah (sosial dan pribadi) ini, kita tidak akan dapat mempertahankan jenis masyarakat yang sekarang sedang kita huni,” tulisnya.
Robb Willer, profesor sosiologi dan Direktur Laboratorium Polarisasi dan Perubahan Sosial di Stanford University menyebutkan hasil empat penelitian menunjukkan bahwa banyak gosip memiliki efek positif dan motivasi moral. Penelitian Willer, dkk, berjudul “The Virtues of Gossip: Reputational Information Sharing as Prosocial Behavior” yang dimuat di Journal of Personality and Social Psychology (2012) menyebut bahwa seseorang yang lebih murah hati dan bermoral di antara kita kemungkinan besar akan menyebarkan rumor tentang orang yang tidak dapat dipercaya, dan mereka melaporkan hal itu karena mereka peduli dan ingin membantu orang lain. Willer menyebut jenis gosip semacam itu sebagai "gosip prososial" karena berfungsi untuk memperingatkan orang lain. Willer juga menemukan bahwa terlibat dalam gosip dapat meredakan beberapa rasa frustrasi dan emosi negatif lain yang kita rasakan.
Gosip tidak lantas terlepas dari sisi atau dampak negatif. Terence D. Dores Cruz, dkk, dalam “The Bright and Dark Side of Gossip for Cooperation in Groups” (2019) menjelaskan bahwa dari sudut pandang target gosip, sisi gelap gosip terlihat lebih dominan; lebih buruk lagi, seiring waktu, hal itu dapat merugikan seluruh anggota kelompok. Menjadi sasaran gosip negatif (benar atau salah) mengurangi niat kerjasama anggota kelompok terhadap kelompok mereka.
Sebenarnya apa yang membuat gosip baik, buruk atau netral ialah soal bagaimana kita menggunakan dan menafsirkan informasi tersebut alih-alih isi dari informasi itu sendiri. Penggosip yang baik akan menggunakan informasi yang didapatkannya dengan cara yang bertanggung jawab. Namun, tentu ada penggosip yang buruk atau tidak bijak di sekitar kita. Gosip bisa menjadi strategi yang digunakan oleh individu untuk meningkatkan reputasi dan kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Bergosip bukanlah suatu perbuatan atau kegiatan yang memalukan. Bergosip merupakan kemampuan sosial. Karena pada kenyataannya, bergosip merupakan cara kita, manusia sebagai makhluk sosial, untuk bertahan hidup. Berbagi cerita dan rahasia adalah salah satu cara manusia mengikat hubungan sosial. Dengan kata lain, bergosip adalah cara kita membangun pertemanan. Gosip bisa memberikan contoh kepada orang tentang apa yang dapat diterima secara sosial dan apa yang tidak. Dalam hal ini berarti gosip dapat berfungsi untuk membangun tatanan sosial di dalam kehidupan masyarakat.
Berbagi gosip dengan orang lain adalah tanda kepercayaan yang mendalam kita kepada orang yang bersangkutan. Gosip menjadikan manusia berbeda dengan kingdom hewan lainnya. Kita hanya perlu berhati-hati dalam bergosip, perlu bijak dalam bergosip agar tidak merugikan orang lain dan diri kita sendiri.
Editor: Windu Jusuf