tirto.id - Gosip jamak dilakukan manusia. Bergosip sangat lumrah dilakukan, baik dengan teman, pasangan, tetangga, atau bahkan dengan anak sendiri. Dengan media komunikasi yang terus berkembang saat ini, bergosip tidak hanya dapat dilakukan secara langsung melainkan melalui telepon genggam baik ketika sedang telepon atau bertukar pesan.
Sementara itu, media televisi juga telah lama menghadirkan acara-acara gosip dengan isu-isu terkini mengenai artis, tokoh masyarakat, atau kelompok tertentu. Bahkan, banyak akun sosial media dibuat untuk memenuhi kebutuhan “ingin tahu” masyarakat soal permasalahan orang lain seperti akun Lambe Turah, Lamber Nyinyir, dan lain-lain.
Sebagai makhluk sosial, manusia telah membuat bergosip sebagai salah satu sarana interaksi sosial dengan sesama. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk bergosip dengan berbagai motif termasuk agar diterima masyarakat atau hanya sebagai hiburan.
Di sisi lain, bergosip tidak hanya disukai oleh orang berkepribadian terbuka dan agresif. Individu yang cenderung tertutup juga memiliki keinginan bisa diterima di kelompok lingkungannya yang dapat dilakukan dengan bergosip.
Mengetahui informasi dan ikut bergosip akan membuat orang merasa dianggap dalam suatu kelompok. Berpartisipasi dalam obrolan di sebuah lingkungan dapat dijadikan modal sosial seseorang dan menjadi tolok ukur penerimaan yang baik dalam suatu kelompok.
Modus Gosip
Sebuah rangkuman penelitian dalam jurnal Frontiers menunjukkan bahwa gosip dapat diberikan oleh seseorang dengan motif yang bermacam-macam. Semua orang dapat melakukannya, tidak pasti dilakukan untuk tujuan yang baik atau buruk. Situasi yang berbeda dapat membuat seseorang “mengaktifkan” motif yang berbeda untuk bergosip.
Meski demikian, orang-orang cenderung menganggap gosip sebagai rumor buruk, atau cemoohan. Namun para peneliti sering mendefinisikannya sebagai membicarakan seseorang yang tidak hadir dalam sebuah pertemuan kelompok. “ [Gosip] adalah sesuatu yang datang secara alami, bagian integral dari percakapan, berbagi informasi, dan bahkan pembangunan komunitas,” ungkap Megan Robbins, asisten professor psikologi di The University of California, Riverdale, dikutip dari Time.
Profesor psikologi di Georgia Gwinnett College David Ludden pun mengatakan demikian. “[Gosip] tidak selalu negatif, itu bisa positif atau netral,” lanjutnya. Hal ini pun diungkapkan dalam penelitian yang terbit di jurnal Social Psychological and Personality Science bahwa tiga perempat gosip sebenarnya adalah berita netral.
Selain menghibur, gosip juga dapat digunakan untuk membangun ikatan sosial apalagi jika ikatan sosial tersebut muncul dari ketidaksukaan bersama. Rasa tidak suka itu terbukti dapat menciptakan ikatan lebih kuat daripada kegemaran bersama. Dua orang yang tidak saling kenal akan merasa lebih dekat ketika bergosip tentang orang lain daripada ketika mereka berbincang hal-hal baik tentang diri mereka sendiri.
Gosip yang Paling Diminati
Lantas, apa yang paling diminati orang saat bergosip? Francis T. McAndrew dan rekan-rekan pernah menyodorkan 12 skenario gosip yang berbeda saat penelitian mereka. Skenario tersebut diberikan kepada 140 responden yang terdiri dari 42 pria dan 98 wanita berusia 17-23 tahun. Keseluruhan responden berlatar belakang mahasiswa seni di Amerika Serikat.
Hasilnya, responden lebih menyukai berita tentang orang-orang yang sedang jatuh cinta serta berita dari individu yang berjenis kelamin sama. Sementara itu, penelitian tersebut juga mengungkap bahwa gosip cenderung lebih cepat disebarkan ketika menyangkut informasi positif tentang kelompok mereka dan informasi negative tentang rival mereka.
Bahan-bahan gosip cenderung dibagikan kepada teman satu kelompok, dan obyek gosip yang paling menarik adalah membicarakan masalah pada pasangan lain.
Wanita cenderung senang bergosip dengan teman wanitanya dari pada lawan jenis. Sedangkan laki-laki memilih lawan jenis sebagai teman bergosip.
Tak hanya itu, penelitian tersebut juga mengungkapkan gosip dapat berfungsi sebagai mekanisme peningkatan status individu, serta mekanisme kontrol sosial terhadap individu atau kelompok lain yang terlihat berbeda.
Di sisi lain, Psikoanalisis Virginie Meggle mengatakan anak-anak telah mengetahui bergosip. Hal ini dilakukan anak-anak untuk tetap membanggakan diri di hadapan orang tua sehingga mereka rela berbohong dan menjelek-jelekkan temannya.
“Untuk meyakinkan diri mereka normal, mereka mengatakan hal buruk tentang siapa saja yang berbeda,” kata Meggle.
Meski motif bergosip tidak selalu buruk dan menghibur, bergosip menimbulkan dampak buruk bagi obyek yang digosipkan. Ketika reputasi seseorang rusak karena gosip, akan sangat sulit untuk memperbaikinya.
Cara Otak Merespons Gosip
NPR--media non profit berbasis di AS--melaporkan, otak manusia cenderung menelan informasi negatif lebih banyak dari pada informasi positif. Sementara itu, informasi buruk juga bertahan lebih lama.
Sebuah percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa otak merespons informasi negatif dari pada informasi netral maupun positif. Responsen diminta melihat beberapa wajah yang dipersepsikan dengan gosip negatif, netral, dan positif.
Hasilnya, wajah yang dipersepsikan gosip negatif lebih lama mendominasi dalam kesadaran visual otak manusia. Itulah sebabnya manusia lebih mudah mendeteksi wajah-wajah para penjahat, pencuri, maupun pembohong.
Penelitian Peng X dalam jurnal Social Neuroscience menunjukkan hal lain. Penelitian tersebut mengamati keadaan emosional seseorang ketika mendengar gosip positif dan negatif tentang pesohor, diri sendiri, dan sahabat mereka. Hasilnya, responden lebih senang mendengar gosip positif dan lebih jengkel mendengar gosip negatif tentang diri mereka sendiri dari pada tentang pesohor atau sahabat mereka.
Penelitian tersebut juga mengungkap bahwa sel saraf manusia lebih mudah memproses gosip positif tentang diri sendiri dan gosip negatif tentang pesohor. Aktivitas syaraf di korteks prefrontal orbital akan meningkat secara linear karena rasa gembira terhadap gosip diri sendiri, sebagaimana ketika mendengar gosip negatif tentang para pesohor.
===================
Artikel ini disarikan dari: "Alasan Orang Bergunjing dan Gosip Lambe Turah Dinanti", https://tirto.id/coaF
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Agung DH