tirto.id - Bergosip adalah hal lumrah manusia. Bahkan, bagi sebagian orang, tiada hari tanpa gosip. Media bergosip pun banyak bentuknya. Dari gosip dengan teman sekelompok, menonton acara infotainment di layar kaca, hingga yang paling populer sekarang: akun-akun gosip di jejaring sosial Instagram.
Manusia memang makhluk sosial. Dan karena bergosip adalah salah satu kegiatan bersosialisasi, setiap orang memiliki kecenderungan untuk bergosip. Ada motif agar bisa diterima lingkungan, bisa juga sekadar hiburan.
Bergosip tak cuma digemari orang-orang yang terbuka dan agresif. Orang introvert sekalipun tetap memiliki keinginan bisa diterima di kelompok lingkungannya. Mengetahui suatu informasi dan ikut bergosip akan membuat seseorang merasa dianggap. Berpartisipasi dalam obrolan di lingkungan dapat dijadikan modal sosial seseorang dan menjadi tolok ukur penerimaan yang baik dalam suatu kelompok.
Terkadang, bergosip juga bisa membuat seseorang lebih terlihat manusiawi. Ini berlaku untuk para selebritas ataupun tokoh-tokoh besar lain yang tampak tak terjamah masyarakat umum dan terlihat sempurna di layar kaca. Dengan mengetahui celah maupun sedikit aibnya, para tokoh sempurna ini akan terlihat sama seperti individu kebanyakan.
Mengenai berita gosip yang paling diminati, Francis T. McAndrew dan rekan-rekan pernah menyodorkan 12 skenario gosip yang berbeda saat diteliti. Skenario itu disodorkan pada 140 responden, terdiri dari 42 pria dan 98 wanita berumur 17-23 tahun. Latar belakang mereka adalah mahasiswa seni di Amerika Serikat.
Hasilnya, responden lebih menikmati berita tentang orang-orang yang sedang jatuh cinta serta berita dari individu yang berjenis kelamin sama. Gosip cenderung lebih cepat disebarkan ketika menyangkut informasi positif tentang kelompok mereka dan informasi negatif tentang rival mereka.
Bahan-bahan gosip lebih cenderung dibagikan kepada teman satu kelompok, dan obyek gosip paling menarik adalah membicarakan masalah pada pasangan lain.
Untuk kecenderungan memilih teman bergosip, wanita tiga kali lebih tertarik bergosip dengan teman wanitanya dibanding lawan jenis. Sebaliknya, para pria memilih lawan jenis sebagai teman bergosip.
Penelitian ini mengungkapkan gosip dapat berfungsi sebagai mekanisme peningkatan status individu, serta mekanisme kontrol sosial terhadap individu atau kelompok lain yang terlihat berbeda.
Selain menghibur, gosip dapat membangun ikatan sosial, terlebih jika ikatan sosial itu muncul dari ketidaksukaan bersama. Rasa ketidaksukaan bersama terbukti dapat menciptakan ikatan lebih kuat daripada kegemaran (yang bersifat positif) bersama.
Dua orang tidak saling mengenal akan merasa lebih dekat ketika bergosip tentang orang lain daripada ketika mereka berbincang hal-hal baik tentang diri mereka. Bergosip tentang orang lain bisa menjadi cara untuk menunjukkan kebersamaan dan rasa humor mereka.
"Sekitar 60 persen percakapan antara orang dewasa adalah tentang seseorang yang tidak ada di situ," kata psikolog sosial, Laurent Bègue, seperti dikutip Psychologies.
Antropolog Robin Dunbar menyatakan gosip adalah faktor menentukan dalam pengembangan otak manusia. Bahasa muncul karena kebutuhan untuk menyebarkan gosip; bukan sebaliknya.
Dan ternyata, bergosip tidak hanya dilakukan para orang dewasa. Kegemaran ini sudah dipupuk sejak anak-anak.
Psikoanalis Virginie Megglé mengatakan terkadang untuk tetap membanggakan diri di hadapan orangtua, anak-anak rela berbohong dan menjelek-jelekkan temannya.
“Untuk meyakinkan diri mereka normal, mereka mengatakan hal buruk tentang siapa saja yang berbeda,” kata Meggle.
Bagaimana Gosip Direspons Otak?
Walaupun menghibur, tapi bergosip tetap menimbulkan dampak buruk bagi obyek yang digosipkan.
Begitu reputasi seseorang rusak karena gosip, akan sangat sulit untuk memperbaikinya. Seperti ditulis NPR, otak manusia cenderung menelan informasi negatif lebih banyak daripada informasi positif dan bertahan lebih lama.
Sebuah percobaan menunjukkan otak lebih merespons informasi negatif ketimbang informasi netral maupun positif. Responden diminta melihat beberapa wajah yang dipersepsikan dengan gosip negatif, netral, dan positif. Hasilnya, wajah yang dipersepsikan gosip negatif lebih lama mendominasi dalam kesadaran visual otak manusia.
Itulah mengapa terkadang kita dapat mendeteksi wajah-wajah para penjahat, pencuri, maupun pembohong. Dengan menatap wajah mereka, otak akan dominan memprioritaskan kesadaran lebih lama dan membuat kita mengumpulkan informasi lebih banyak tentang perilaku orang itu.
Penelitian Peng X, dkk, yang diterbitkan dalam jurnal Social Neuroscience, mengamati keadaan emosional seseorang ketika mendengar gosip positif dan negatif tentang pesohor, diri sendiri, dan sahabat mereka.
Hasilnya, responden lebih senang mendengar gosip positif dan lebih jengkel mendengar gosip negatif tentang diri mereka sendiri daripada tentang pesohor atau sahabat mereka.
Sel saraf kita lebih mudah memproses gosip positif tentang diri sendiri dan gosip negatif tentang pesohor. Aktivitas syaraf di korteks prafrontal orbital meningkat secara linear karena rasa gembira terhadap gosip positif diri sendiri. Sel saraf kita juga sangat gembira mendengar gosip negatif tentang pesohor.
Artinya, kita tetap terhibur dengan segala macam gosip. Tak mengherankan jika Lambe Turah punya jutaan pengikut di Instagram, bukan?
=======
Artikel ini dirilis perdana pada 6 Mei 2017. Disunting minor dan dipublikasi ulang karena relevan dengan tema In-Depth.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani