tirto.id - Generasi Z (Gen Z) didorong untuk menyesuaikan sikap kerja dengan karakteristik dunia usaha dan industri. Penyesuaian ini penting mengingat banyak perusahaan masih enggan merekrut Gen Z akibat masalah soft skill, meski kualifikasi pendidikan mereka memadai.
Kepala Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Surya Lukita, menyoroti fenomena perilaku Gen Z di tempat kerja yang dinilai 'ajaib', seperti kasus dua pekerja asal Malaysia yang baru masuk kerja, langsung izin sakit, lalu mengundurkan diri dengan surat tulisan tangan.
"Jadi Gen Z ini juga harus menyesuaikan dengan pekerjaan yang akan dia kerjakan nanti. Mau nggak mau harus. Jadi bukannya pekerjaan yang menyesuaikan karakternya Gen Z, jangan dibalik," kata Surya Lukita, di Kantor Pasar Kerja, Jakarta, Jumat (26/9/2025).
Menurutnya, meski perusahaan melalui HRD berusaha memahami karakter Gen Z, harapan agar dunia kerja sepenuhnya menuruti keinginan generasi tersebut adalah keliru. "Jangan berharap perusahaan itu akan menyesuaikan keperluan. Gen Z-nya sendiri yang harus menyesuaikan," ujarnya.
Surya menilai, perbedaan sikap kerja Gen Z sebagian dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang lebih mapan dibanding generasi sebelumnya, seperti generasi baby boomers, yang lebih banyak berjuang.
"Kalau sekarang ya ekonomi agak mapan. Mungkin kalau ini ya (tidak cocok) masih ada backup dari orang tua. Jadi ya kalau keluar (kerjaan) aja masih ada backup," tambahnya.
Ia menyarankan agar Gen Z yang tidak ingin beradaptasi mencari pekerjaan yang sesuai karakternya, seperti host live streaming atau konten kreator. Namun, untuk sektor formal seperti manufaktur dan perbankan, penyesuaian diri mutlak diperlukan.
Surya mengungkapkan, keluhan utama perusahaan terhadap Gen Z bukan terletak pada kemampuan teknis, melainkan pada soft skill yang dinilai kurang. Hal inilah yang menyebabkan banyak perusahaan enggan mempekerjakan Gen Z.
"Isunya di istilahnya soft skill yang agak kurang. Kalau kualifikasi pendidikan sebenarnya match-match saja," jelasnya.
Berdasarkan data, lowongan kerja untuk lulusan SMA dan SMK masih mendominasi. Namun, banyak pencari kerja yang gagal pada tahap wawancara karena ketidaksiapan soft skill.
"Mungkin interview biasanya pada saat interview enggak siap anak-anak kita. Ini butuh intervensi," ucap Surya.
Di sisi lain, Kemnaker juga menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja secara keseluruhan. Sekitar 55-56 persen penduduk Indonesia hanya berpendidikan SMP ke bawah. Targetnya adalah mendongkrak angka lulusan SMA hingga mencapai 70 persen
Selain itu, otomatisasi dan teknologi seperti dalam revolusi industri 4.0 yang telah digaungkan sejak 2019 juga menjadi tantangan eksternal yang harus diantisipasi oleh para pekerja.
“Ini yang menjadi isu bagaimana ini didongkrak lebih banyak di angka SMA itu bisa di angka 70 persen lah,” ucapnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































