tirto.id - Awalnya tidak ada yang berbeda dari kehidupan masyarakat Peru pada Minggu, 31 Mei 1970—tepat hari ini 52 tahun lalu. Mereka menjalani akhir pekan seperti biasa: berlibur, berolahraga, dan berkumpul bersama keluarga. Tidak sedikit pula yang nobar laga perdana sepakbola Piala Dunia 1970.
Namun, itu semua berubah ketika jam menunjukkan pukul 15.23 waktu setempat.
Tiba-tiba gempa bumi mengguncang wilayah Ancash dan La Libertad, bagian utara Peru. Bangunan-bangunan bergoyang hebat. Masyarakat berhamburan mencari perlindungan. Namun, kuatnya guncangan menyulitkan mereka untuk berjalan atau berlari menyelamatkan diri.
Pada saat bersamaan, bangunan-bangunan ambruk, jalanan terbelah, pohon-pohon dan tiang listrik roboh dalam sekejap. Debu beterbangan menyelimuti langit kota. Di daerah pergunungan, gempa membuat tanah longsor dan mengubur ribuan orang. Situasi ini baru berakhir 45 detik kemudian.
Kuburan Massal
Seperti Indonesia, Peru adalah negara rawan bencana alam. Gempa bumi dan gunung meletus adalah dua bencana yang kerap melanda. Negara ini berada di kawasan Pasific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik. Kawasan ini berada pada pertemuan dua lempeng tektonik aktif, yakni Lempeng Nazca dan Lempeng Amerika Selatan, yang terus bergerak setiap tahun dan disebut zona subduksi.
Laporan resmi dari United States Geological Survey (1970: 4), kekuatan gempa bumi Ancash sekitar 7,7-7,9 Richter. Berpusat 25 km dari Pantai Barat Peru atau di lautan Pasifik dengan kedalaman 56 km.
Meski kekuatannya bukan yang paling besar, guncangan gempa ini yang terparah dalam sejarah Peru dan salah satu yang paling merusak di dunia. Sekitar 67 ribu orang meninggal, 150 ribu lainnya terluka, lebih dari satu juta penduduk mengungsi, dan 500 ribu bangunan rusak. Kerugian materi ditaksir mencapai 530 juta dolar AS.
Banyaknya korban timbul karena gempa disusul dengan longsornya Gunung Huascarán dengan tinggi 6.788 meter di atas permukaan laut. Sementara di kaki gunung terdapat banyak desa dan kota dengan penduduk puluhan ribu jiwa.
Ketika gempa terjadi, guncangannya memicu pergesaran tanah dan es dalam skala besar di Huascarán. Dikutip dari BBC, dari sisi barat puncak yang tingginya 5.500 meter, 25 juta meter kubik tanah, es, dan bebatuan meluncur dengan kecepatan 160 km/jam. Longsoran itu menyapu permukiman penduduk dalam waktu kurang dari lima menit.
Akibatnya, banyak penduduk yang tidak bisa menyelamatkan diri. Mereka terkubur hidup-hidup. Kerusakan paling besar terjadi di dua kota yang terletak di kaki gunung, yakni Ranrahirca dan Yungay. Di Ranrahirca 20 ribu orang meninggal dan hanya menyisakan 400 orang selamat. Sedangkan di Yungay, seluruh bangunan berserta isinya hancur akibat gempa dan longsor. Lebih dari 25 ribu penduduk dinyatakan hilang terkubur di bawah tanah. Kota ini sempat hilang sementara dari peta dan menjadi kuburan massal terbesar.
Melansir Britanica, mayoritas rumah penduduk tidak memiliki struktur yang tahan guncangan gempa. Mereka yang rumahnya hancur adalah penduduk kelas menengah ke bawah yang membangun rumah dengan konstruksi batako atau batu bata dari lumpur yang dikeringkan. Mereka tidak memiliki uang lebih untuk membangun rumah dari beton atau kayu, dan tidak mengetahui jika struktur tersebut sangat berbahaya jika terjadi gempa. Terlebih, tanah-tanah yang menjadi lokasi pendirian bangunan bersifat tidak stabil, khususnya yang terletak di kaki gunung.
Sementara orang-orang kaya membangun rumah berbahan dasar kayu. Maka ketika gempa melanda, bangunan kaum kelas atas itu relatif aman dan hanya mengalami sedikit kerugian.
Pemerintah Lamban
Selepas bencana, seperti dilaporkan New York Times dalam “Peru's Rubble Cleared, but Rebuilding Is Another Story” (8/12/1970), jurnalis Malcolm W. Browne mengungkap bahwa pemerintah Peru tidak serius dalam menjalankan pemulihan dan perbaikan. Enam bulan setelah kejadian, pemerintah belum mulai melakukan rekonstruksi pascabencana. Musim hujan dijadikan alasan oleh mereka.
Salah seorang warga yang diwawancarai media ternama AS itu menceritakan bahwa itu adalah bualan semata. Pemerintah sebetulnya tidak pernah berbuat banyak menangani bencana. Selain itu, Malcolm juga mengungkap bahwa bantuan dari negara-negara lain tidak sampai kepada para korban.
“Saya tahu Anda orang Amerika dan banyak negara lain mengirim banyak bantuan ke Peru, tetapi apa yang terjadi dengan itu semua? Kami tidak pernah melihatnya di sini, tidak sebanyak paku bangunan. Jika Anda ingin membantu kami, beri tahu Duta Besar Anda untuk membawa barang-barang kepada kami secara pribadi, dengan tangannya sendiri,” ujar informan dalam laporan Malcolm.
Di luar hal itu, kemunculan gempa dahsyat memantik perhatian masyarakat terhadap isu kebencanaan. Mereka perlahan meninggalkan struktur bangunan lama ke struktur baru yang menggunakan tiang pancang dan beton, meski harus menelan biaya yang tidak murah. Tindakan ini mengisyaratkan semangat baru masyarakat Peru. Suatu tindakan nyata untuk belajar berdamai dengan alam karena mereka hidup di negeri yang tak bisa mengelak dari aktivitas seismik.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi