tirto.id - Masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) sempat dibuat panik dan berduka, saat gempa besar berkekuatan 7 SR mengguncang "Pulau Seribu Masjid" ini pada Minggu malam (05/08). Kepanikan masyarakat itu terlihat dalam video yang direkam oleh salah seorang warga. Pada video itu, terlihat orang-orang berlarian, dan berkumpul di jalan. Terdengar juga orang-orang berteriak dan menangis. Korban jiwa pun tak terhindarkan.
Jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari gempa bumi ini tidaklah sedikit. Jumlah korban yang meninggal hingga Senin (6/8) mencapai sekitar 98 orang, dan 238 orang dilaporkan luka-luka. Selain korban jiwa, bencana alam ini juga menimbulkan kerusakan properti di berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal, rumah sakit, bandara, pusat berbelanjaan dan lainnya.
Bencana alam tak hanya berdampak kepada aspek sosial, tapi juga ke aspek ekonomi. Indonesia punya pengalaman bagaimana bencana alam memengaruhi kondisi ekonomi daerah yang terkena bencana. Contoh bencana gempa 5,9 SR di Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Berpusat di Samudera Hindia pada jarak sekitar 33 km di selatan Kabupaten Bantul, berdampak pada kerugian materi yang tak sedikit.
Berdasarkan kajian Bank Dunia (PDF), nilai kerusakan dan kerugian akibat gempa ditaksir mencapai Rp29,1 triliun. Sebanyak 66.000 orang terancam jatuh ke dalam kemiskinan, dan 130.000 orang kehilangan pekerjaan. Bangunan-bangunan sektor swasta dan aset-aset produktif juga rusak parah dengan nilai kerusakan mencapai Rp9 triliun. Belum lagi, menghitung potensi pendapatan yang hilang pasca-gempa.
Contoh lainnya, gempa berkekuatan 7,6 SR di Sumatera Barat pada 30 September 2009. Berdasarkan data Bank Dunia (PDF), nilai kerusakan dan kerugian di Sumatera Barat kala itu diperkirakan mencapai Rp21,6 trilliun. Gempa bumi memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor produktif dengan nilai kerusakan dan kerugian mencapai Rp2,4 trilliun. Dalam sektor ini, perdagangan dan industri mengalami dampak terparah.
Di sektor keuangan, lebih dari 2.000 peminjam terkena dampak, dan sebagian portofolio pinjaman di perbankan berpotensi menjadi kredit macet. Sektor pariwisata juga ikut kena, sekitar 70 persen bangunan hotel di Kota Padang rusak dan hancur.
Salah satu pengusaha nasional kala itu, Sofyan Wanandi sempat mengaku rugi ratusan miliar rupiah dari bisnis asuransi yang dikelolanya, Wahana Tata. Perusahaan asuransi ini harus menanggung klaim beberapa properti terutama hotel-hotel yang hancur karena gempa. "Kerugian minimal Rp200-300 miliar," ujar Sofyan awal Oktober 2009 lalu seperti dikutip dari Viva.
Di lain pihak, dampak gempa terhadap sektor pertanian agaknya lebih kecil ketimbang sektor usaha lainnya, meskipun infrastruktur seperti irigasi dan tambak ikan juga rusak, sehingga memengaruhi mata pencaharian penduduk di desa dan pesisir.
Peluang Pasca-Gempa
Dampak gempa skala besar bagi ekonomi cukup signifikan, tapi tidak menutup kemungkinan ada hal positif yang bisa diambil dari bencana. Pengalaman yang dirasakan Jepang setelah diterjang gempa berkekuatan 9 skala ritcher pada 11 Maret 2011, bisa jadi contohnya.
Menurut kajian Congressional Research Service yang bertajuk “Japan’s 2011 Earthquake and Tsunami: Economic Effects and Implications for the United States” (PDF) disebutkan nilai kerugian dari fisik maupun SDM yang dialami Jepang sangat besar. Untuk kerusakan fisik, nilai kerugiannya ditaksir mencapai US$195 miliar sampai dengan US$305 miliar. Untuk korban jiwa, lebih dari 27.000 orang meninggal atau hilang, dan lebih dari 202.000 rumah dan bangunan lainnya hancur atau rusak.
Dampak gempa kian parah menyusul terjadinya kecelakaan di pembangkit listrik Fukushima, sehingga menambah persoalan baru, mulai dari bocornya radioaktif, kekurangan pasokan listrik dan lain sebagainya. Saat itu, para ekonom semakin pesimistis dalam menilai ekonomi Jepang ke depannya. Ekonomi Jepang diperkirakan akan berkontraksi, dan tidak menutup kemungkinan menuju resesi.
Salah satu ekonom yang memperkirakan Jepang akan semakin tertekan ke depannya akibat bencana gempa dan tsunami tersebut adalah Takehide Kiuchi, selaku Kepala Ekonom dari Nomura Securities. “Setahun setelah gempa, ekonomi Jepang akan tertekan cukup dalam akibat bencana alam. Pandangan dampak ekonomi potensial pada saat bencana berkisar dari sangat optimis hingga sangat pesimistis,” jelas Kiuchi dikutip dari CNN.
Namun, ramalan ekonomi Jepang bakal anjlok, kerusuhan sipil yang meluas, pemecatan besar-besaran di antara perusahaan-perusahaan Jepang hingga kemerosotan dalam belanja konsumen ternyata tidak terjadi. Dalam kurun waktu setahun, perusahaan-perusahaan swasta ternyata mampu bergerak cepat dalam mengantisipasi dampak gempa. Persoalan rantai pasokan yang muncul, terutama di sektor komponen otomotif dapat segera diselesaikan.
Di samping itu, pola pikir konsumen juga berubah setelah terjadi gempa. Dari biasanya lebih menyukai menekan pengeluaran dan menabung, kini masyarakat Jepang setelah gempa justru lebih banyak berbelanja. “Setelah gempa, konsumen banyak berbelanja untuk mobil mewah,” kata Tsutomu Ishihara, Presiden of Mercedes dealership Yanase Tohoku yang mengklaim bahwa setahun setelah gempa bisnisnya tumbuh 50 persen, dikutip dari CNN.
Selain mobil mewah, bisnis hotel, bar dan restoran di Sendai—salah satu kota di Jepang yang terkena gempa—juga ikut meningkat. Bahkan, bisnis hotel kapsul tumbuh dua kali lipat. Kondisi yang sama juga dirasakan para pelaku ritel. Permintaan masyarakat untuk membangun kembali tempat tinggal juga tidak kalah besarnya. Perusahaan konstruksi di Jepang punya pekerjaan untuk dikerjakan hingga 10 tahun pasca-gempa besar.
Editor: Suhendra