tirto.id - Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.--Matius 5:38
Sepenggal kalimat Yesus itu menempel terus sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Manokwari, 13 Desember 2018. Saya bertanya-tanya, apakah penerapan Perda Manokwari Kota Injil akan membuat orang-orang di sana berlaku seperti yang dikatakan Yesus? Jika iya, saya ingin menampar salah satu orang begitu tiba di sana.
Rencana saya begini: Begitu tiba, saya akan mencari orang Papua warga Manokwari, lalu bertanya apakah setuju dengan Perda Manokwari Kota Injil? Jika dia menjawab setuju, saat itu juga saya akan menampar pipinya dengan sangat keras. Tentu saja sambil berharap ia tidak membalas.
Setibanya di Manokwari, saya merasa itu adalah ide konyol, lalu mengurungkan niat untuk melakukannya. Namun, hal itu tetap membuat saya penasaran.
Pada hari Sabtu, 15 Desember, diantar Frans dan Immanuel, kedua aktivis Kristen di Manokwari, saya bertamu ke rumah pendeta Marten Luther Wanma, salah seorang penggagas Perda Manokwari Kota Injil. Saya bertanya, mungkinkah apa yang ada dalam Injil dituangkan dalam aturan hukum positif ... termasuk hukum menampar pipi orang?
Pendeta Wanma mendengus, lalu menjawab, “Urusan seperti itu, moral tidak bisa diatur negara. Itu biar urusan gereja. Anda jangan coba-coba, bisa babak belur.”
Frans dan Immanuel tertawa. Saya merasa beruntung membatalkan ide menampar orang Manokwari.
Sejak awal dibikin, kata Wanma, Perda Manokwari Kota Injil memang didesain tidak untuk menampung hukum Allah dalam Injil. Sangat berbeda dari Perda Syariat Islam di Aceh. Perda ini hanya menampung isu sejarah masuknya Injil di Tanah Papua.
Karena itu, menurut Wanma, sebuah kesalahan besar bila menganggap Perda Manokwari Kota Injil akan membuat perilaku masyarakat menjadi lebih kristiani.
Perda Injili jadi 'Gimmick'
Wanma, meski semula penggagas Perda Manokwari Kota Injil, tapi kini menolak berurusan dengan itu. Baginya, perda itu sudah melenceng dari apa yang diinginkan pada awalnya. Ia tak melihat substansi Injil ada dalam perda itu. Perda ini justru terjebak pada "gimmick" ketimbang substansi.
Misalnya, pasal 13 yang mengatur soal aksesoris dan simbol. Nantinya akan banyak aksesoris dan simbol Kristen yang dipasang di ruang publik seperti salib. Termasuk juga nantinya penamaan jalan dengan nama-nama tokoh penginjil atau nama lain yang mencerminkan kekristenan.
“Kekristenan itu bukan agama simbol. Bagi saya, bagaimana menghayati itu, jauh lebih penting daripada mengedepankan simbol. Kehidupan itu yang lebih penting,” kata Wanma.
Pendeta Sherly Parinussa, ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Papua wilayah Papua Barat, salah satu tokoh yang mendorong kembali Perda Manokwari pada 2016, berpendapat berbeda. Ia justru mengatakan simbol keagamaan itu penting dan bukan sekadar gimmick saja.
“Kita hidup di Indonesia semua penuh simbol. Karena orang bertanya, kita lihat saja, orang pakai jilbab itu adalah simbol agama dan dipakai di ruang publik. Lalu, apa salahnya kalau kita menaruh simbol tertentu di area tertentu yang kita rasa untuk menghargai? Bagi saya sah-sah saja,” kata Parinussa.
Simbol menurutnya menjadi motivasi masyarakat untuk hidup lebih baik dengan berintegritas dan berkelakuan baik. “Kita akan merasa tidak elok pakai salib tapi kelakuan dan moral kita bejat,” tambah dia.
Penataan aksesoris dan simbol ini nantinya akan dilakukan dengan pembangunan dan pemeliharaan situs sejarah. Poin ini sesuai apa yang disebut pengusung perda ini "semangat melestarikan sejarah Manokwari sebagai kota tempat Injil masuk pertama kali di Papua."
Tapi, apakah benar demikian?
Pada 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan situs pekabaran Injil Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Situs itu berupa taman besar dengan Patung Yesus setinggi 30 meter di puncak Pulau Mansinam, sekitar 20 menit menumpang perahu dari Pelabuhan Manokwari.
Immanuel mengantar saya untuk melihat situs tersebut. Kondisi situs pekabaran Injil itu tidak terawat. Rumput-rumput liar tumbuh nyaris menutupi separuh badan jalan menuju Patung Yesus. Jalan kotor dan berlumut. Taman kecil dan bangku-bangkunya tidak layak untuk diduduki. Sampah-sampah bertebaran di sekitar Patung Yesus. Kolam kecil di bundaran menuju Patung Yesus kotor dan bau.
“Ini terakhir ramai waktu ada perayaan 160 tahun Injil masuk Papua tahun 2015. Ya, setiap tahun rutin ada acara perayaan,” kata Immanuel.
Menghakimi Lebih dari Yesus
Upaya untuk mengubah perilaku masyarakat melalui Perda Manokwari Kota Injil ditempuh pula dengan cara pemberian sanksi. Ada dua sanksi yang diatur dalam perda.
Pertama, sanksi administrasi yang diatur pada pasal 19; dan kedua, sanksi pidana yang diatur pada pasal 20.
Pasal 19 mengatur sanksi administrasi untuk pelanggaran pasal 14 tentang aktivitas publik. Ayat 1 pasal 14 menyebutkan setiap umat Kristen dilarang melakukan aktivitas bisnis, perdagangan dan/atau sejenisnya pada hari Minggu dan/atau hari raya orang kristen dari jam 6:00 s/d jam 13:00 WIT kecuali kegiatan peribadatan dan/atau pelayanan rohani.
Aturan itu selama ini sudah dilaksanakan secara kultural. Pada hari Minggu, toko-toko di Manokwari tutup dan baru buka pada siang hari. Saya sempat berkeliling Kota Manokwari pada Minggu siang, nyaris tak ada toko yang buka. Hanya beberapa warung makan yang buka. Jalanan pun lengang, semua aktivitas berfokus di gereja.
Sementara ayat 1 pasal 14 menyatakan setiap orang dan/atau badan yang berdomisili di daerah wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi/mengganggu umat Kristen melaksanakan ibadah pada hari Minggu dan/atau hari raya orang kristen.
Sanksi dari pelanggaran itu berupa teguran hingga peringatan tertulis. Bila sudah sudah tiga kali mendapatkan peringatan tertulis, sanksi selanjutnya adalah pencabutan izin usaha.
Sanksi itu belum seberapa. Pasal 20 perda ini mengatur soal ketentuan pidana bagi orang atau badan hukum yang melanggar pasal 15 dan 16. Dua pasal itu mengatur soal pendirian sarana peribadatan dan sarana pelayanan pendidikan yang bernuansa keagamaan yang harus mendapat izin dari pemerintah daerah. Bila melanggar, sanksinya maksimal 6 bulan penjara atau denda Rp50 juta.
Pendeta Wanma kaget mendengar sanksi itu tertuang dalam perda. Ia menegaskan aturan itu bukan hanya menyimpang dari gagasan awal, tapi juga menyimpang dari ajaran Injil.
“Yesus sendiri juga tidak pernah menampilkan diri sebagai penguasa, ‘Kalau kamu tidak ikuti saya punya perintah, saya hukum kamu’ tidak pernah ada seperti itu,” ujar Wanma.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam